Kamis, 27 Juli 2017

KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Sumatera Selatan



KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di  PP. Nurul Huda Ds. Sukaraja Kec. Buay Madang OKU Timur.
Tanggal 29 Mei 2010 / 16 Jumadil Akhir 1431 H.
 

1.    Dalam rangka untuk mempermudah jama'ah dan memperlancar dalam melontar jumroh pada hari Tasyriq, banyak di antara jama'ah haji yang selama melempar jumroh melakukannya pada tengah malam sebelum fajar, padahal dalam kitab-kitab Fiqh Syafi'iyah dijelaskan bahwa waktu pelemparan jumroh tersebut adalah setelah zawal (turunnya matahari ke arah barat).
Pertanyaan:
Adakah pendapat ( lintas madzab ) yang membenarkan praktek seperti diatas[T1]  ?
(Dari: PWNU Sumatera Selatan)

Jawaban: Pelemparan jumroh pada tengah malam tidak sah, kecuali jika pelemparan pada malam hari itu adalah sebagai ganti dari pelemparan siang hari sebelumnya. Namun pendapat Imam Rofi’i yang dikuatkan oleh Imam Isnawi memperbolehkan pelemparan jumroh tersebut mulai terbitnya fajar.

مَذْهَبُ اْلإمَامِ الشَّافِعِيّ فِي الْعِبَادَاتِ وَأَدِلَّتُهَا: ص. 514
وَيَدْخُلُ وَقْتُ رَمْيِ كُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ بِزَوَالِ شمَسِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ، وَالْاَفْضَلُ فِعْلُهُ قَبْلَ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِنِ اتَّسَعَ اْلوَقْتُ لِلصَّلاَةِ. وَقَالَ الْكُرْدِيُّ نَقْلاً عَنِ التُّحْفَةِ: وَجَزَمَ الرَّافِعِيُّ بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ وَإِنِ اعْتَمَدَ اْلإِسْنَوِيُّ وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوْفُ مَذْهَبًا. وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِيْ جَوَازُهُ مِنَ اْلفَجْرِ. وَنَقَلَ السَّيِّدُ عَلَوِيّ: هَذِهِ الْعِبَارَةُ عَنِ التُّحْفَةِ.

Kitab Mazhab al-Imam al-Syafi’i Fi al-Ibadat Wa Adillatuh, hlm. 514:
“Masuknya waktu melempar Jumroh pada hari Tasyriq, menurut pendapat mu’tamad, dimulai pada saat zawal al-syamsi (condongnya/miringya matahari ke arah barat). Namun yang paling utama adalah melakukannya sebelum shalat dzuhur jika waktunya masih mencukupi untuk sholat. Dengan mengutip dari kitab al-Tukhfah, Al-Kurdi berkomentar bahwa Imam al-Rofi’i memperbolehkan melakukannya sebelum zawal al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, Al-Isnawi tetap berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, jika melihat pendapat terakhir ini, maka selayaknya juga diperbolehkan melakukannya mulai dari munculnya fajar. Menurut Sayyid ‘Alawi, pendapat ini bersumber dari kitab al-Tukhfah.

حَوَاشِي الشَّرْوَانِيّ عَلَى تُحْفَةِ الْمُحْتَاجِ : 4/ 155-156، مكتبة دار الفكر.
( وَإِذَا ) ( تَرَكَ رَمْيَ )، أَوْ بَعْضَ رَمْيِ ( يَوْمٍ ) لِلنَّحْرِ، أَوْ مَا بَعْدَهُ عَمْدًا، أَوْ غَيْرَهُ ( تَدَارَكَهُ فِي بَاقِي الْأَيَّامِ ) وَيَكُونُ أَدَاءً (فِي الْأَظْهَرِ) .... وَجَزْمُ الرَّافِعِيِّ بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ كَالْإِمَامِ ضَعِيفٌ، وَإِنْ اعْتَمَدَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوفُ مَذْهَبًا وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِي جَوَازُهُ مِنْ الْفَجْرِ نَظِيرَ مَا مَرَّ فِي غُسْلِهِ .


Kitab Hawasyi al-Syarwani ala Tukhfah al-Muhtaj, Juz 4, hlm. 155-156:
“Melempar jumroh pada hari nahr (10 Dzulhijjah) atau hari-hari setelahnya, jika ditinggalkan boleh disusul atau diganti pada hari berikutnya, dan menurut Qaul Adzhar tetap dihukumi ada’ (tepat waktunya)…..
Imam al-Rofi’i memperbolehkan melempar jumroh pada hari Tasyriq sebelum zawal al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, al-Isnawi tetap berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, selayaknya juga diperbolehkan melakukannya mulai dari munculnya fajar, karena disamakan dengan kesunahan mandi pada hari itu.”  

حَاشِيَةُ الْعَلاَمَةِ ابْنِ حَجَرٍ الهَيْتَمِيّ عَلَى شَرْحِ اْلإيْضَاحِ فِيْ مَنَاسِكِ اْلحَجِّ: 405
لاَ يَصِحُّ الرَّمْيُ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ اِلاَّ بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ وَيَبْقَى وَقْتُهُ إِلَى غُرُوْبِهَا وَقِيْلَ يَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ, وَاْلاَوَّلُ أَصَحُّ.

Kitab Hasyiyah al-Allamah Ibn Hajr al-Haitami ‘Ala Syarh al-Idhah Fi Manasik al-Hajj, hlm. 405:
“Melempar jumroh pada hari tasyriq hanya sah jika dilakukan setelah zawal al-syamsi, dan berakhir sampai terbenamnya matahari. Ada yang mengatakan bahwa waktunya berakhir sampai munculnya fajar hari berikutnya. Pendapat pertamalah yang paling shahih.”   

2.    Banyak sekali tradisi atau praktek pelaksanaan perawatan mayit/jenazah yang di antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama, seperti mewudlu’kan mayit,  ada yang dilakukan setelah memandikan mayit, ada yang dilakukan sebelum memandikan. Begitu juga dalam memposisikan kepala mayit, ada yang membedakan antara mayit laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan:
Sebenarnya bagaimana praktek yang benar menurut pandangan Ulama Fiqh?
(Dari: PCNU Banyuasin)

Jawaban: Adapun dalam mewudhukan mayit disunnahkan untuk dilakukan sebelum memandikan, namun jika tidak dilakukan sebelumnya maka tetap disunnahkan untuk mewudlu’kannya setelah memandikan. Sedangkan untuk posisi kepala mayit ketika disholati; kepala mayit laki-laki berada disebelah kiri orang yang mensholati, dan kepala mayit perempuan disebelah kanan orang yang mensholati.

اَلْفِقْهُ اْلإسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/251
 اِتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ عَلَى أَنَّ اْلغَاسِلَ يُوَضِّئُ الْمَيِّتَ غَيْرَ الصَّغِيْرِ كَالْحَيِّ بَعْدَ إِزَالَةِ مَا بِهِ مِنْ نَجْسٍ أَوْ وَسْخٍ، بِالسِّدْرِ أَوِ الصَّابُوْنِ، وَغَسَلَ سَوْأَتَيْهِ بِخِرْقَةٍ، لَكِنْ بِدُوْنِ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ عِنْدَ الْحَنَفْيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ لِلْحَرَجِ، ِلأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ اْلمَاءُ فِي اْلفَمِ وَاْلأَنْفِ، فَوَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ حَرَّكَ النَّجَاسَةَ. وَبِهِمَا قَلِيْلاً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ بِأَنْ يَضَعَ اْلغَاسِلُ اْلماَءَ فِي فَمِهِ عِنْدَ إِمَالَةِ رَأْسِهِ. فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ، فُعِلاَ اِتِّفَاقًا، تَتْمِيْمًا لِلطَّهَارَةِ. وَعَلَى هَذَا فَيُبْدَأُ باِلْوُضُوْءِ فيِ غُسْلِ الْمَيِّتِ.

Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 3, hlm. 251:
“Para Imam Mazhab sepakat bahwa mewudlu’kan mayit selain mayit anak kecil dilakukan seperti halnya orang yang hidup setelah membersihkan kotoran dan najis dengan air sabun dan dedaunan. Kemudian kubul dan duburnya dibersihkan dengan kain, namun menurut Hanafiah dan Hanabilah tidak perlu mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidung mayit, karena air yang masuk ke mulut dan hidung akan menyebabkan bergeraknya najis. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah boleh saja dengan sedikit memasukkan air di mulut mayit ketika menundukkan kepalanya. Dan jika mayit tersebut dalam kondisi junub, haid atau nifas maka secara sepakat perlu berkumur dan memasukkan air ke hidung mayit untuk menyempurnakan bersucinya. Dengan demikian, mewudlu’kan mayit dilakukan sebelum memandikannya.”         

فَتْحُ اْلمُعِيْنِ : 94
وَلَوْ تَوَضَّأَ أَثْناَءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ، لَكِنِ اْلاَفْضَلُ تَقْدِيْمُهُ، وَيُكْرَهُ تَرْكُهُ.

Kitab Fath al-Mu’in, hlm. 94:
“Jika berwudlu’ dilakukan di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, maka tetap mendapat kesunnahan, tetapi yang paling utama adalah mendahulukan wudlu atas mandi, dan makruh jika ditinggalkan.” 


اَلْبُجَيْرَمِيُّ عَلَى الْخَطِيْبِ : 6/97  
قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .

Kitab Al-Bujairimi ala al-Khatib, Juz 6, hlm. 97:
“Ketika shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”  

3.    Dewasa ini muncul kesimpangsiuran di tengah masyarakat, ada yang mengatakan bahwa karet, sawit, dan usaha sarang wallet adalah sesuatu yang harus dizakati, dan ada yang mengatakan tidak. Dalam pelaksanaanya pun prosentasenya tidak sama, ada yang mengeluarkan 2,5 %, dan  ada yang menyamakan dengan zakatnya tanaman.
Pertanyaan:
a.    Wajibkah karet, sawit, dan wallet dizakati ?
b.    Jika wajib berapa persen dan bagaimana cara pengeluarannya?
( Dari: PCNU OKI )


Jawaban:
a.    Untuk karet dan sawit wajib dizakati menurut Madzhab Abu Hanifah. Sedangkan untuk usaha walet tidak wajib dizakati, kecuali apabila uang  yang berlaku dianggap sama seperti emas atau perak (mata uang rupiah dijadikan sebagai alat transaksi yang senilai dengan emas atau perak) maka hasil penjualan walet, atau karet dan sawit wajib dizakati sebagaimana zakat emas atau perak.

إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا

Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.”

إثمد العين: ص.47-48
مسألة : أفاد أيضا أن مذهب أبي حنيفة وجوب الزكاة في كل ما خرج من الأرض إلا حطبا أو قصبا أو حشيشا، ولا يعتبر نصابا وعند الإمام أحمد ولابد من النصاب عند مالك كالشافعي اهـ.
اَلْمَوْسُوْعَةُ الْفِقْهِيَّةِ: 2 / 13459  المكتبة الشاملة
وَاتَّّفَقَ الْجَمِيْعُ عَلَى جَرْيَانِ الرِّبَا فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ , وَمَا يَحِلُّ مَحَلَّهُمَا مِنَ اْلأَوْرَاقِ النَّّقْدِيَّةِ عَلَى الصَّحِيْحِ.

Kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 2, hlm. 13459:
“Semua ulama sepakat bahwa perbuatan riba bisa masuk ke dalam sistem pertukaran emas dan perak serta barang yang statusnya disamakan dengan emas dan perak seperti uang kertas. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih.”

b.    Cara pengeluarannya; untuk karet dan sawit wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen sebagaimana zakat tanaman, hanya saja Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan nishob, sehingga berapapun hasilnya wajib dikeluarkan zakatnya seperti persentase zakat tanaman. Sedangkan hasil dari usaha walet, apabila uang rupiah -yang diperoleh dari penjualan-dianggap sama seperti emas dan perak, maka nishob dan cara pengeluaran zakatnya sebagaimana zakatnya emas dan perak. Hanya saja boleh zakat itu dikeluarkan setiap waktu memanen sarang walet asalkan sudah mencapai satu nishob. Hal ini disebut sebagai ta’jil al-zakat qabl al-haul (mempercepat pengeluaran zakat sebelum masa setahun).

إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا

Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.



رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ. ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ اْلعَيْنِيَّةِ.

Kitab Raudhah al-Thalibin, Juz 1, hlm. 219:
Mempercepat (ta’jil) dalam pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut pendapat yang benar dan dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang menerima dari Abu Ubaid ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang mempercepat pembayaran zakat ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi harta yang wajib dizakati, maka terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul (satahun) dan harta yang tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta yang pertama boleh mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya, tetapi bagi zakat yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum sempurnanya nishab.    

4.    Mayoritas masjid atau musholla di Indonesia, meletakkan Shof jama'ah putri disebelah kanan atau kiri jama'ah putra dengan diberi penghalang (satir) atau dinding.
Pertanyaan:
Adakah keterangan yang membenarkan praktek Shof seperti diatas ?
(Dari: PCNU Muara Enim)

Jawaban: Praktek tersebut dibenarkan jika memang jama’ah putri berada pada tempat tersendiri dan mereka tetap mendapat fadhilahnya jama’ah.

الشَّرْحُ الْمُخْتَصَرُ عَلَى بُلُوْغِ الْمَرَامِ:  3/ 244
أَنَّ النِّسَاءَ يُشْرَعُ لَهُنَّ الصُّفُوْفُ كَالرِّجَالِ فَإِذَا كَانَتِ النَّسَاءُ فِي مَكَانٍ خَاصٍّ كَمَا يُوْجَدُ اْلآنَ فِي كَثِيْرٍ مِنَ الْمَسَاجِدِ فَإِنَّ خَيْرَ صُفُوْفِهِنَّ أَوَّلُهَا لِبُعْدِهِنَّ عَنِ الرِّجَالِ.

Kitab Al-Syarh al-Mukhtashar ala Bulugh al-Maram, Juz 3, hlm. 244:
Sesungguhnya ketentuan shaf dalam shalatnya sama seperti laki-laki, jika berada di dalam tempat tersendiri, seperti yang banyak ditemui sekarang di berbagai masjid. Dan shaf yang terbaik bagi perempuan dalam hal ini adalah shaf yang pertama karena jauh dari barisan laki-laki.

5.    Seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh bahwa tanaman padi jika pengairannya tidak menggunakan biaya, maka zakatnya 10 %. Dan bila menggunakan biaya maka zakatnya 5% tanpa mempertimbangkan pupuk dan lain-lainnya, meskipun biayanya lebih besar. Sedangkan praktek yang terjadi pada umumnya begitu selesai panen, petani langsung mengeluarkan zakat, walaupun pada panen pertama itu belum sampai satu nishob, sebab mereka yakin nanti akan sampai satu nisob, ketika dikumpulkan dengan panen kedua.
Pertanyaan:
a.    Adakah pendapat yang mengatakan bahwa pupuk dll, bisa mempengaruhi jumlah nishob dan prosentase zakatnya padi ?
b.    Sahkan mengeluarkan zakat sebelum mencapai satu nishob seperti diskripsi di atas?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)

Jawaban:
a.    Hasil panen boleh digunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya tanam yang berhutang, seperti pupuk dan lain-lain. Kemudian sisanya dizakati bila mencapai satu nishob. Namun demikian, pendapat tentang pupuk bisa mengurangi prosentase pengeluaran zakat (menjadi 5 %) itu tidak ada.

قُرَّةُ الْعَيْنِ فِي هَامِشِ بُغْيَةِ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: ص. 100
سُئِلَ فِى أَهْلِ بَلَدٍ يَعْتَادُوْنَ تَسْمِيْدَ اَشْجَارِهِمْ بَدَلَ السِّقَايَةِ وَيَرَوْنَ أنَّهَا لِنُمُوِّ الثَّمْرَةِ مِنَ السِّقَايَةِ لهَاَ وَيُخْرِجُوْنَ عَلَى ذَلِكَ خَرْجَ السِّقَايَةِ بَلْ اَكْثَرَ. فَهَلْ يَجِبُ عَلَى مَالِكِ اْلاَشْجَارِ اْلعُشُرُ أَوْ نِصْفُهُ. ( اَجَابَ ) اَلتَّسْمِيْدُ وَالتَّحْرِيْثُ لاَ يُغَيِّرُ حُكْمَ الْوَاجِبِ فَيَجِبُ نِصْفُ الْعُشْرِ اِنْ سُقِيَتْ بِمُؤْنَةٍ وَإلاَّ فَاْلوَاجِبُ اْلعُشُرُ .

Kitab Qurroh al-Ain fi Hamisy Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 100:
Ada sebuah pertanyaan tentang kebiasaan masyarakat yang memberi pupuk tanamannya  sebagai ganti air siraman karena mereka menganggap hasil yang diperoleh akan lebih besar. Dan kemudian mereka mengeluarkan biaya pemupukan sebagaiman biaya pengairan, bahkan lebih besar. Pertanyaanya, berapa besar zakat yang wajib dikeluarkan bagi pemiliki kebun tersebut, 10 % atau 5 %? Jawab:  pupuk dan obat perangsang tanaman tidak mempengaruhi ukuran zakat yang dikeluarkan seseorang, jika pengairannya membutuhkan biaya maka zakatnya 5 %, dan jika tidak maka 10 %.
فِقْهُ السُّنَّةِ: 1/ 358-359
وَمَذْهَبُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ يُحْسَبُ مَا اقْتَرَضَهُ مِنْ أَجْلِ زَرْعِهِ وَثَمْرِهِ. عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -فِي الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ فَيُنْفِقُ عَلَى ثَمْرَتِهِ وَعَلَى أَهْلِهِ - قاَلَ: قَالَ ابْنُ عُمَرُ: يَبْدَأُ بِمَا اسْتَقْرَضَ فَيَقْضِيْهِ وَيُزَكِّي مَا بَقِيَ.

Kitab Fiqh al-Sunnah, Juz 1, hlm. 358-359:
Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. menghitung adanya biaya tanaman yang terhutang.  Bahkan diceritakan oleh Jabir ibn Zaid, dari Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. bahwa mereka memperbolehkan seorang laki-laki yang menghutang untuk keperluan tanaman dan keluarganya. Dan Ibn Umar berkomentar bahwa hasil dari tanaman terlebih dahulu boleh ia potong untuk biaya tanaman yang terhutang, kemudian baru sisanya  ia keluarkan zakatnya.

a.          وذكر ابن حزم عن عطاء: أنه يسقي مما أصاب النفقة فإن بقي مقدار ما فيه الزكاة زكي، وإلا فلا.
b.    Khilaf. Menurut Mazhab Hanafiah dianggap sah karena tidak adanya nishab bagi zakat tanaman (zuru’). Sedangkan menurut Mazhab lain disyaratkan untuk mencapai nishab.

إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصْبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يُعْتَبَرُ نِصَابًا وَعِنْدَ اْلإِمَامِ أحْمَدَ، وَلاَبُدَّ مِنَ النِّصَابِ عِنْدَ مَالِكٍ كَالشَّافِعِيِّ اهـ.


Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan: Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini, begitu pula menurut Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Malik dan Syafi’i yang mengharuskan telah sampai nishobnya.”

إثمد العين: ص.47-48
مسألة : أفاد أيضا أن مذهب أبي حنيفة وجوب الزكاة في كل ما خرج من الأرض إلا حطبا أو قصبا أو حشيشا، ولا يعتبر نصابا وعند الإمام أحمد ولابد من النصاب عند مالك كالشافعي اهـ.
رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ. ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ اْلعَيْنِيَّةِ.

Kitab Raudhah al-Thalibin, juz 1, hlm. 219:
Mempercepat (ta’jil) dalam pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut pendapat yang benar dan dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang menerima dari Abu Ubaid ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang mempercepat pembayaran zakat ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi harta yang wajib dizakati, maka terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul (satahun) dan harta yang tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta yang pertama boleh mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya, tetapi bagi zakat yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum sempurnanya nishab.

1.          روضة الطالبين: 1 / 219
1.          التعجيل جائز في الجملة هذا هو الصواب المعروف وحكى الموفق أبو طاهر عن أبي عبيد بن حربويه من أصحابنا منع التعجيل وليس بشىء ولا تفريع عليه ثم مال الزكاة ضربان متعلق بالحول وغير متعلق فالأول يجوز تعجيل زكاته قبل الحول ولا يجوز قبل تمام النصاب في الزكاة العينية.
6.    Seperti yang dimaklumi di Makkah dan Madinah pada umumnya masyarakatnya tidak bermadzhab Syafi'i sehingga mayoritas Imam sholat tidak terdengar membaca basmallah. Ada yang membaca dengan sirri, namun ada pula yang memang tidak membaca basmallah .
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya makmum dengan imam tersebut ?
(Dari: PCNU MUBA)

Jawaban:
 Khilafiyah. Menurut Imam al-Qaffal sah secara mutlak, meskipun sedangkan menurut Qaul al-Ashoh, tidak sah bila diyakini imam tersebut tidak membaca basmalah.

اَلْمَجْمُوْع شَرْحُ الْمُهَذَّبِ - (ج 4 / ص 288-289)
َرْعٌ) فِي مَسِائِلَ تَتَعَلَّقُ باِلْبَابِ (إاحْدَاهَا) اْلاِقْتِدَاءُ بِأاصْحَابِ اْلمَذَاهِبِ اْلمُخَالِفِيْنَ بِأَانْ يَقْتَدِىَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِىٍّ أَوْ مَالِكِىٍّ لاَ يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلاَ اِيْجَابَ التَّشَهُّدِ اْلاَخِيْرِ وَالصَّلاَةِ عَلَىي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ تَرْتِيْبَ الْوُضُوْءِ وَشِبْهَ ذَلِكَ. وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُوْنَ صَلاَةُ اْلاِمَامِ صَحِيْحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُوْنَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ أَوْ عَكْسَهُ ِلاخْتِلاَفِهِمَا فِي اْلفُرُوْعِ. فِيْهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍَحَدُهَا) الصِّحَّةُ مُطْلَقًا قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ اْلاِمَامَِالثَّانِي) لاَ يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا قَالَهُ أَبُوْ اِسْحَقَ اْلاِسْفِرَايِنِيّ لاَنَّهُ وَاِنْ اَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلاَ يَعْتَقِدُ وُجُوْبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ.َالثَّالِثُ) اِنْ اَتَىي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلاَةِ صَحَّ اْلاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ أَوْ شَكَكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ. َالرَّابِعُ) وَهُوَ اْلاَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُوْ اِسْحَقَ اْلمَرْوَزِىّ وَالشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ اْلاِسْفِرَايِنِىّ والبندنيجى وَاْلقَاضِي أَبِوْى الطَّيِّبِ وَاْلاَكْثَرُوْنَ؛ اِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍئ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ اْلاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا اْلاِتْيَانَ بِجَمِيْعِهِ أَوْ شَكَكْنَا صَحَّ وَهَذَا يَغْلِبُ اعْتِقَادَ الْمَأْمُوْمِ هَذَا حَاصِلُ الْخِلاَفِ فَيَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ لَوْ مَسَّ حَنَفِيٌّى امْرِأَةً أَوْ تَرَكَ طُمَأْنِيْنَةً أَوْ غَيْرَهَا صَحَّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيُّ بِهِ عِنْدَ الْقَفَّالِ وَخَالَفَهُ الْجُمْهُوْرُ وَهُوَ الصَّحِيْحُ

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz 4, hlm. 288-289:
Sebuah permasalahan yang berhubungan dengan bab ini. Pertama, tentang hukum bermakmum kepada imam yang berlainan mazhabnya, seperti penganut mazhab Syafi’i yang bermakmum kepada imam penganut mazhab Hanafi atau Maliki yang tidak membaca basmalah pada Surat al-Fatihah, tidak mewajibkan membaca Tasyahhud Akhir, shalawat kepada Nabi SAW, tidak ada rukun tartib di dalam wudlu’nya dan lain sebagainya. Yang intinya batasan keabsahan shalat antara imam dan makmum berbeda, shalatnya imam sah menurut keyakinannya sendiri, tidak berdasarkan keyakinan makmum. Begitu pula sebaliknya. Dalam permasalahan ini ada empat pendapat. Pertama, shalatnya sah secara mutlak seperti yang diutarakan oleh Imam al-Qaffal karena berpedoman pada keyakinannya Imam. Kedua, bermakmumnya dihukumi tidak sah secara mutlak, seperti yang disampaikan oleh Abu Ishaq al-Isfirayini, karena jika kita melaksanakan kewajiban dari rukun atau syarat, namun imam tidak meyakini akan kewajiban itu, maka sama halnya ia tidak melaksakan kewajiban tersebut. Ketiga, jika imam melaksanakan semua perkara yang menjadikan shalat sah menurut pandangan kita, maka sah bermamkmum kepadanya, tetapi jika ia meninggalkan perkara tersebut, atau diragukan maka tidak sah bermakmum padanya. Keempat, pendapat ini merupakan pendapat yang paling shahih yang didukung oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syekh Abu Hamid al-Firayini, Qadli Abu Thayyib dan mayoritas fuqaha’, yaitu apabila nyata-nyata imam meninggalkan hal yang kita anggap wajib, maka tidak sah bermakmum padanya, namun apabila secara umum nyata-nyata ia melakukannya atau masih diragukan, maka dianggap sah bermakmum padanya. Hal ini diukur berdasarkan keyakinan makmum. Kesimpulan dari ikhtilaf di atas bisa dicontohkan misalnya jika seorang yang bermazhab Hanafi menyentuh perempuan atau meninggalkan thuma’ninah di dalam shalat dan lain-lain, maka sah kita bermakmum padanya menurut Imam al-Qaffal, tidak menurut mayoritas fuqaha’.   

7.    Akhir - akhir ini sepak terjang Satpol PP menjadi sorotan masyarakat luas. Tidak hanya karena bentrok yang terjadi di Tanjung Priok yang menewaskan 3 anggota Satpol PP, namun penertiban yang mereka lakukan selama ini kadang dianggap berlebihan, terutama di dalam penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL).
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan fiqh untuk menyikapi penertiban PKL oleh Satpol PP tersebut?
 (Dari: PCNU OKU TIMUR)

Jawaban: Dibenarkan apabila berdasarkan instruksi kepala daerah, atau untuk menertibkan para pedagang yang mengganggu ketertiban umum, atau memang tempat tersebut dilarang untuk dipakai berdagang.


حَـاشِيَةُ الْقُلْيُوْبِيّ  ج : 9 ص : 445

فَصْلٌ : مَنْفَعَةُ الشَّارِعِ الْأَصْلِيَّةِ ( الْمُرُورُ ) فِيهِ ( وَيَجُوزُ الْجُلُوسُ بِهِ لِاسْتِرَاحَةٍ وَمُعَامَلَةٍ وَنَحْوِهِمَا إذَا لَمْ يُضَيِّقْ عَلَى الْمَارَّةِ ، وَلَا يُشْتَرَطُ إذْنُ الْإِمَامِ ) فِي ذَلِكَ لِاتِّفَاقِ النَّاسِ عَلَيْهِ عَلَى تَلَاحُقِ الْأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ .(وَلَهُ تَظْلِيلُ مَقْعَدِهِ ) فِيهِ ( بِبَارِيَّةٍ ) بِتَشْدِيدِ التَّحْتَانِيَّةِ (وَغَيْرِهَا) مِمَّا لَا يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ وَهُوَ مَنْسُوجُ قَصَبٍ كَالْحَصِيرِ.

Kitab Hasiyah al-Qulyubi, Juz 9, hlm. 445:
“Pasal; secara mendasar jalan umum bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlalu-lalang, dan boleh juga duduk dipinggirnya untuk beristirahat, berdagang dan sebagainya apabila tidak mengganggu orang yang lewat, bahkan pemanfaatan ini tidak perlu adanya izin dari penguasa/imam karena pemanfaatan itu telah lazim bagi masyarakat. Dan diperbolehkan pula mendirikan tenda atau sejenisnya di kanan-kiri jalan sekiranya tidak mengganggu orang yang melintasi jalan tersebut.

اَلْاَحْكَامُ السُّلْطَانِيَّةُ: ص : 376
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَا اخْتَصَّ بِأَفْنِيَةِ الشَّوَارِعِ وَالطُّرُقِ فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى نَظَرِ السُّلْطَانِ .وَفِي نَظَرِهِ وَجْهَانِ ... وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ نَظَرَهُ فِيهِ نَظَرُ مُجْتَهِدٍ فِيمَا يَرَاهُ صَلَاحًا فِي إجْلَاسِ مَنْ يُجْلِسُهُ وَمَنْعِ مَنْ يَمْنَعُهُ وَتَقْدِيمِ مَنْ يُقَدِّمُهُ كَمَا يَجْتَهِدُ فِي أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ وَإِقْطَاعِ الْمَوَاتِ وَلَا يَجْعَلُ السَّابِقَ أَحَقَّ وَلَيْسَ لَهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمْ عَلَى الْجُلُوسِ أَجْرًا .
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 376:
Bagia ketiga yaitu hal-hal yang berkaitan dengan jalan umum yang rusak/ kosong. Hal ini harus sesuai persetujuan penguasa/pemerintah dengan dua kebijakan…. Yang kedua, bedasarkan pertimbangan dan kebijakan pemerintah -seperti pertimbangannya seorang mujtahid- dengan menilik sisi maslahat di dalam memposisikan atau melarang orang untuk menempatinya, sebagaimana pula pertimbangan ini dilakukan dalam masalah harta baitul mal dan tanah mati. Pemerintah dalam hal ini tidak bisa memutuskan bahwa orang yang lebih dulu adalah yang lebih berhak dan tidak bisa pula memungut upah dari orang yang telah memanfaatkannya.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 189
يَجِبُ امْتِثَالُ أَمْرِ اْلإِمَامِ فِي كُلِّ مَا لَهُ فِيْهِ وِلاَيَةٌ كَدَفْعِ زَكَاةِ الْمَالِ الظَّاهِرِ،..َإِنْ كَانَ اْلمَأْمُوْرُ بِهِ مُبَاحاً أَوْ مَكْرُوْهاً أَوْ حَرَاماً لَمْ يَجِبْ اِمْتِثَالُ أَمْرِهِ فِيْهِ كَمَا قَالَهُ (م ر) وَتَرَدَّدَ فِيْهِ فِي التُّحْفَةِ، ثُمَّ مَالَ إِلَى الْوُجُوْبِ فِي كُلِّ مَا أَمَرَ بِهِ اْلإِمَامُ وَلَوْ مُحَرَّماً لَكِنْ ظَاهِراً فَقَطْ، وَمَا عَدَاهُ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ وَجَبَ ظَاهِراً وَبَاطِناً وَإِلاَّ فَظَاهِراً فَقَطْ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 189:
“Perintah seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan dalam bidangnya wajib untuk ditaati seperti memberikan zakat mal,… dan apabila perintah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang mubah, makruh atau haram maka tidak wajib untuk mentaatinya, seperti yang dikemukakan oleh Imam Romli di dalam kitab Tukhfah. Namun ia cenderung mewajibkan secara lahiriyah untuk taat terhadap semua perintah pemimpin walaupun perintah itu berkaitan dengan hal yang haram. Dan jika terdapat kemaslahatan di dalamnya, maka wajib secara lahir dan batin untuk mentaatinya.

8.    Pada saat seseorang melakukan pembelian sepeda motor, disana ada " Brosur" yang menjelaskan bahwa harga antara cash dan kredit tidak sama, misalnya kalau kontan / cash harganya 14 Juta , dan bila kredit total harganya sampai 18 Juta. Dalam kitab fiqh, kita ketahui bahwa termasuk transaksi yang dilarang adalah menjual barang dengan dua harga.
Pertayaan:
Apakah praktek jual beli di atas termasuk menjual barang dengan dua harga? Dan bagaimana hukumnya? 
(Dari: PCNU OKU TIMUR)


Jawaban: Jual beli tersebut dihukumi sah dan tidak termasuk jual beli dengan 2 harga, karena dua harga itu hanya sekedar penawaran dari penjual untuk dipilih oleh pembeli. Brosur yang memcantumkan harga cahs dan kredit tidak bisa disebut shighot karena tidak ada khitob (sasaran pembeli yang sudah pasti) dan brosur tersebut tidak ada penyerahan kepemilikan atau penerimaan hak milik. Yang bisa disebut shighot adalah kesepakatan pembeli dan penjual, yang pada prakteknya mereka menyepakati salah satu di antara akad cash atau kredit.

مُغْـنِي المُحْتَاجِ . ج: 6 ص : 232
( وَأَنْ يَقْبَلَ عَلَى وَفْقِ الْإِيجَابِ ) فِي الْمَعْنَى كَالْجِنْسِ وَالنَّوْعِ وَالصِّفَةِ وَالْعَدَدِ وَالْحُلُولِ
وَالْأَجَلِ ( فَلَوْ قَالَ : بِعْتُك ) هَذَا الْعَبْدَ مَثَلًا ( بِأَلْفٍ مُكَسَّرَةٍ فَقَالَ : قَبِلْت
بِأَلْفٍ صَحِيحَةٍ ) أَوْ عَكْسُهُ.

Kitab Mughni al-Muhtaj, Juz 6, hlm. 232:
Penerimaan (Qabul) atas akad jual beli maknanya harus sesuai dengan ijab-nya, seperti jenis, macam, sifat, jumlah dan tempo/kontannya. Misalnya jika pembeli mengatakan “saya menjual barang ini kepadamu dengan harga seribu”, maka qabul-nya berbunyi: “saya terima dengan harga seribu.”

مُغْـنِي المُحْتَاجِ . ج: 6 ص : 219
أَحَدُهُمَا أَنَّ إسْنَادَ الْبَيْعِ إلَى الْمُخَاطَبِ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَوْ كَانَ نَائِبًا عَنْ غَيْرِهِ حَتَّى لَوْ لَمْ يُسْنَدْ إلَى أَحَدٍ كَمَا يَقَعُ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَقُولَ الْمُشْتَرِي لِلْبَائِعِ : بِعْت هَذَا بِعَشَرَةٍ مَثَلًا، فَيَقُولُ : بِعْتُ فَيَقْبَلُهُ الْمُشْتَرِي لَمْ يَصِحَّ، وَكَذَا لَوْ أَسْنَدَهُ إلَى غَيْرِ الْمُخَاطَبِ كَبِعْت مُوَكِّلَك بِخِلَافِ النِّكَاحِ.

Kitab Mughni al-Muhtaj, juz 6, hlm. 219:
Dalam jual beli diharuskan menyandarkan kata-kata ijab kepada seorang yang telah dituju, walaupun orang tersebut statusnya sebagai wakil / pengganti. Oleh karenanya, jual beli yang tidak ditujukan kepada orang tertentu, misalnya seperti pertanyaan seorang pembeli; “engkau mau menjual barang ini dengan harga sepuluh”, lalu penjual pun menjawab; “iya”, dan pembeli pun kemudian menerima akad tersebut, maka yang demikian akadnya dihukumi tidak sah.

9.    Menjual barang - barang yang najis adalah termasuk jual beli yang tidak sah, namun kenyataanya banayak masyarakat menjual kotoran sapi untuk pupuk. Dalam sebagian kitab fiqh dijelaskan tentang solusi untuk kasus di atas yaitu bisa dengan cara نقل اليد

Pertayaan:
Sebenarnya bagaimana praktek dari نقل اليد ? Dan bagaimana andaikan masyarakat yang menjual tidak mau tahu tentang نقل اليد yang penting mereka dapat duit ? 
(Dari: PCNU Muara Enim)

Jawaban: Praktek نقل اليد dalam masalah diatas adalah dicontohkan seperti perkataan dari pemilik pupuk kepada penerima; “saya berikan pupuk ini kepadamu dengan harga 100 ribu rupiah.” Kemudian penerima berkata; “saya terima.” Bentuk transaksi seperti ini boleh, meskipun pelakunya tidak tahu tentang siapa ulama yang berpendapat bahwamemperbolehkan transaksi ini boleh, yang penting cukup dia yakin bahwa praktek transaksi di atas ada yang memperbolehkannya.      


تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ فِيى شَرْحِ الْمِنْهَاجِ،  ج :16 ص : 299
وَيَجُوزُ نَقْلُ الْيَدِ عَنْ النَّجِسِ بِالدَّرَاهِمِ كَمَا فِي النُّزُولِ عَنْ الْوَظَائِفِ .وَطَرِيقُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُسْتَحِقُّ لَهُ أَسْقَطْت حَقِّي مِنْ هَذَا بِكَذَا فَيَقُولُ الْآخَرُ قَبِلْت.

Kitab Tukhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 16, hlm. 299:
“Diperbolehkan memindah kepemilikan (akad Naql al-Yad) atas suatu barang yang najis dengan diganti uang dirham, seperti kebiasaan yang terjadi di rumah-rmah. Bentuk akad tersebut yaitu seperti perkataan pemilik barang kepada orang lain, “saya serahkan hakku barang ini dengan gantian uang sekian”, lalu orang tesebut menjawab; “baiklah, saya terima.”    

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: ص. 257
اَلْعَامِيُّ لاَ مَذْهَبَ لَهُ، بَلْ إِذَا وَافَقَ قَوْلاً صَحِيْحاً صَحَّتْ عِبَادَتُهُ وَمُعَامَلَتُهُ، وَإِنْ للَمْ يَعْلَمْ عَيْنَ قَائِلِهِ كَمَا مَرَّ فِي اْلمُقَدَّمَةِ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 257
Orang yang awam dikategorikan sebagai orang yang tidak bermazhab, sehingga apa yang dilakukannya jika sesuai dengan pendapat yang benar (sahih) maka sah ibadah dan muamalah-nya itu, walaupun ia tidak mengetahui pendapat siapa itu.

















KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE II
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di Pon. Pes. Al-Falah Ds. Putak Kec. Gelumbang Kab. Muara Enim
Tanggal 6 Oktober 2010 M. / 27 Syawal 1431 H.








 
1.    Amil Zakat
Ada beberapa cara penyaluran zakat yang dilakukan oleh para hartawan dan dermawan di masyarakat kita, baik dengan penyaluran sendiri ke para mustahiq zakat atau melalui lembaga-lembaga tertentu yang menawarkan jasa sebagai penyalur dan pengelola harta zakat, di antaranya seperti BAZIS dan lembaga swasta yang disebut Rumah Zakat. Rumah Zakat Indonesia merupakan Organisasi Pengelola Zakat terbesar pengumpulan donasinya se-Indonesia, sehingga pada tahun 2009 hasil pengumpulan dana zakatnya mencapai 107,3 milyar rupiah.

Pertanyaan:
a.    Siapa saja yang bisa mengangkat Amil sebagai petugas penyalur Zakat?
b.    Adakah batasan bagian bagi Amil yang telah disahkan di dalam harta zakat tersebut?
c.    Bagaimana hukumnya Amil mengelola harta Zakat dengan maksud agar lebih bermanfaat?

Jawaban:
a.    Yang bisa menunjuk dan mengangkat amil (petugas) zakat adalah pemerintah setempat.




اَلْمَوْسُوْعَةُ الْفِقْهِيَّةُ اْلكُوَيْتِيَّةُ: 2/ 10543
اَلْعَامِلُ عَلَى الزَّكَاةِ هُوَ الْمُتَوَلِّي عَلَى الصَّدَقَةِ وَالسَّاعِيْ لِجَمْعِهَا مِنْ أَرْبَابِ الْمَالِ، وَالْمُفَرِّقُ عَلَى أَصْنَافِهَا إِذَا فَوَّضَهُ اْلإِمَامُ بِذَلِكَ .

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, Juz II, hlm 10543:
Amil zakat adalah : orang yang mengatur zakat dan mengumpulkannya dari pemilik harta, serta membagikannya pada golongan penerima zakat, hal tersebut apabila dia (amil) diangkat oleh pemerintah untuk mengurusi hal tersebut diatas.

فِقْهُ السُّنَّةِ: 1/ 386
اَلْعَامِلُوْنَ عَلَى الزَّكَاةِ، وَهُمُ الَّذِيْنَ يُوَلِّيْهِمُ اْلاِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ اْلعَمَلَ عَلَى جَمْعِهَا مِنَ اْلاَغْنِيَاءِ. وَهُمُ الْجُبَاةُ، وَيَدْخُلُ فِيْهِمُ الْحَفَظَةُ لَهَا، وَالرُّعَاةُ لِلْاَنْعَامِ مِنْهَا، وَاْلكَتَبَةُ لِدِيْوَانِهَا.

Kitab Fiqh as-Sunnah, Juz I, hlm 386:
“Amil-amil zakat adalah : mereka yang diberi kekuasaan (mandat) dari permerintah atau wakilnya untuk mengerjakan pengumpulan zakat dari orang-orang kaya …….. termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat, pengembala binatang ternaknya zakat dan orang-orang yang mencatat pada pembukuan zakat.”

b.    Batasan bagian yang diberikan kepada amil adalah ujroh al-mitsl, yaitu sebesar ongkos/upah yang berlaku di wilayah setempat.

شَرْحُ الْبَهْجَةِ الوردية: 14/ 81
(الثَّالِثُ الْعَامِلُ فِيهَا ) أَيْ فِي الزَّكَاةِ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا ( الْأَجْرُ لَهْ ) أَيْ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ دُونَ السَّهْمِ ؛ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ بِالْعَمَلِ ….. فَإِنْ كَانَ سَمَّى لَهُ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَةِ الْمِثْلِ بَطَلَتْ التَّسْمِيَةُ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ.

Kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiah, Juz 14, hlm 81:
“Yang ketiga adalah  Amil zakat walaupun kaya, dia mendapatkan upah yang sepadan dengan pekerjaannya, tidak mendapatkan bagian pasti karena haknya didapatkan sebab bekerja. Dan apabila bagiannya ditentukan melebihi ujroh al-mitsli, maka tidak dibenarkan dan dia hanya berhak mendapatkan upah sepadan.

c.    Tidak boleh, apabila tidak mendapat izin dari mustahiq (orang yang berhak atas bagian) zakat tersebut.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 6/178
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى, وَلاَ يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلْاِمَامِ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتىَّ يُوْصِلَهَا اِلَى أَهْلِهَا ِلاَنَّ اْلفُقَرَاءَ اَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَلىَّ عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِمْ بِغَيْرِ اِذْنِهِمْ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Juz 6, hlm 178:
“Kyai pengarang berkata tidak diperbolehkan bagi pengurus zakat atau pemerintah untuk mengelola sesuatu yang terkumpul dari beberapa harta benda yang wajib sehingga menyerahkannya pada pemiliknya, karena orang fakir adalah orang yang cakap dalam mengelola harta maka tidak boleh mengelola hartanya tanpa izin dari mereka.”

2.    Ashnaf (golongan) penerima Zakat.
a.    Bagaimana batasan atau kriteria-kriteria sehingga seseorang dikategorikan sebagai faqir dan miskin yang berhak menerima zakat?
b.    Adakah ketentuan bagi seorang muallaf di dalam lamanya ia memeluk agama Islam (terhitung sejak ia bersyahadah masuk agama Islam), sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang berhak menerima zakat?
c.    Di dalam penyaluran zakat, salah satu kelompok yang berhak menerimanya adalah golongan fi sabilillah atau sabilil khoir yang pada masa sekarang termasuk di dalamnya adalah para guru TPA, Khotib, Imam dsb. Bagaimana hukumnya jika mereka menerima bagian zakat, sedangkan mereka sudah menerima tunjangan/gaji dari pemerintah setempat/yayasan terkait? 

Jawaban:
a.    Fakir adalah orang yang tidak memiliki kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan juga tidak memiliki pekerjaan. Termasuk kategori fakir ialah orang yang mempunyai harta dan pekerjaan tetapi semuanya masih dibawah 50% dari kebutuhan hidup dirinya dan keluarga yang wajib ia nafkahi. Jika harta yang dimiliki dan penghasilan dari pekerjaannya sudah mencapai di atas 50% dari kadar kebutuhannya yang layak tetapi masih tidak mencukupi, maka ia tergolong miskin. Untuk batasan kecukupan seseorang yang memiliki pekerjaan adalah tercukupinya kebutuhan sehari-hari. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki pekerjaan (seperti orang lumpuh) adalah tercukupinya kebutuhan seumur hidup (dengan ukuran usia rata-rata manusia/62 tahun).

اَلْفِقْهُ اْلاِسْلاَمِيّ وَأَدِلَّتُهُ: 3 /1952
فَالْفَقِيْرُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ... ، هُوَ مَنْ لاَ مَالَ لَهُ وَلاَ كَسْبَ اَصْلاً، اَوْكَانَ يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ مَا يَكْفِيْهِ لِنَفْسِهِ وَمَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ (مَمُوْنُهُ) مِنْ غَيْرِ اِسْرَافٍ وَلاَ تَقْتِيْرٍ. وَالْمِسْكِيْنُ: هُوَ مَنْ يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ نِصْفَ مَا يَحْتَاجُهُ فَاَكْثَرَ، وَلَكِنْ لاَيَصِلُ اِلَى قَدْرِ كِفَايَتِهِ. وَالْمُرَادُ بِالْكِفَايَةِ فِى حَقِّ اْلمُكْتَسِبِ: كِفَايَةُ يَوْمٍ بِيَوْمٍ، وَفِى حَقِّ غَيْرِهِ: مَا يَبْقَى مِنْ عُمْرِهِ الْغَالِبِ وَهُوَ اِثْنَانِ وَسِتُّوْنَ سَنَةً.  

Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 1952:
“Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah Faqir adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan sama sekali, atau memiliki harta atau pekerjaan namun penghasilannya tidak sampai separuh dari kecukupannya dan kecukupan orang yang harus ia nafkahi dengan tidak boros dan tidak terlalu hemat (irit). Miskin adalah orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang penghasilannya mencapai separuh lebih namun masih belum mencukupi kebutuhannya. Yang dimaksud dengan mencukupi bagi yang mempunyai pekerjaan adalah : kecukupan sehari-hari. Bagi yang tidak memiliki pekerjaan (seperti lumpuh) adalah harta yang mencukupi untuk kebutuhan seumur hidup (62 Th).

b.    Batasan muallaf adalah orang yang baru memeluk agama Islam menurut penilaian umum (urf).
اَلْفِقْهُ اْلاِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/2004
وَأَمَّا الْمُؤَلَّفَةُ الْمُسْلِمُوْنَ فَيُعْطَوْنَ مِنَ الزَّكَاةِ اِتِّفَاقًا اِذَا كَانُوْا حَدِيْثِيْ عَهْدٍ بِإِسْلاَمٍ لِيَتَمَكَّنَ اْلاِسْلاَمُ فِى نُفُوْسِهِمْ كَمَا ذَكَرَ الدَّسُوْقِيُّ،

Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 2004:
Al-Mu’allafah Al-Muslimun maka mereka diberi zakat menurut sepakatnya ulama’ apabila mereka baru masanya memeluk agama islam supaya agama islam itu menetap dalam hatinya. Seperti penjelasan Imam Ad-Dasuqi.

اَلْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ: 1/ 180
الْمَبْحَثُ الْخَامِسُ قَالَ الْفُقَهَاءُ : كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا ، وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ ، وَلَا فِي اللُّغَةِ ، يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ .

Kitab Al-Asybah Wa An-Nadzoir, Juz I, hlm 180:
“Pembahasan yang kelima adalah ungkapan Ulama’ Fiqh: “semua perkara yang dibawa oleh syara’ yang bersifat mutlak, serta tidak memiliki batasan pasti didalam syara’ maupun kebahasaan, maka perkara tersebut dikembalikan pada ‘Urf.”

c.    Mereka yang tersebut di atas tidak berhak lagi menerima bagian zakat dengan meng-atas namakan golongan fi sabilillah/sabilil khair karena telah memperoleh gaji/tunjangan dari pekerjaan atau jasa yang dilakukannya.


شَرْحُ مُخْتَصَرِ خَلِيْلٍ لِلْمَالِكِيِّ: 6/350 – 351
فَقَدْ أَجَابَ سَيِّدِي مُحَمَّدٌ الصَّالِحُ بْنُ سُلَيْمٍ الْأَوْجَلِيُّ حِينَ سُئِلَ عَنْ إعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِلْعَالِمِ الْغَنِيِّ وَالْقَاضِي وَالْمُدَرِّسِ وَمَنْ فِي مَعْنَاهُمْ مِمَّنْ نَفْعُهُ عَامٌّ لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا نَصُّهُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ يَجُوزُ إعْطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ وَلَوْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُومِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ الدِّيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِهَا ابْنُ رُشْدٍ وَاللَّخْمِيُّ وَقَدْ عَدَّهُمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي تُعْطَى لَهُمْ الزَّكَاةُ حَيْثُ قَالَ {وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ}.... قَالَ شَيْخُنَا السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ : هَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ رَاتِبٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ.

Kitab Syarh Muhtashor Kholil Li al-Malikiy, Juz 6, hlm 350-351:
“Sayyidi Muhammad Sholih bin Sulaim Al-Aujali memberikan jawaban ketika ditanya tentang pemberian zakat kepada orang ‘alim yang kaya, Qodhi, Guru, dan orang-orang yang semakna dengan mereka dari golongan orang yang memberikan manfaat secara luas kapada kaum muslimin dengan redaksi jawaban: “ segala puji bagi Allah, diperbolehkan memberikan zakat kepada seorang Qori’(ahli baca al-Qur’an), orang ‘alim, guru, dan setiap orang yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin meskipun mereka adalah orang kaya, di karenakan memberi manfaat secara luas serta demi kelestarian agama (Islam) sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Rusyd dan Al-Lakhmi tentang hukum bolehnya. Dan Allah SWT mengelompokkan mereka kedalam delapan golongan orang-orang yang berhak menerima zakat sebagaimana Allah berfirman “(dan orang yang berjuang di jalan Allah) …… Syaikh Sayyid Muhammad berkata: “hukum ini berlaku selama mereka tidak mendapat tunjangan dari baitul mal.”(red.)

3.    Zakat Fitrah
a.    Dengan tinjauan berbagai Madzhab, bagaimana hukum pembayaran zakat fitrah dengan memakai uang? Jika diperbolehkan, senilai berapa kilogram beras uang yang harus dikeluarkan?
Jawaban:
a.    Membayar zakat fitrah dengan memakai uang diperbolehkan menurut madzhab Hanafiah dengan pertimbangan kemanfaatannya yang lebih besar. Adapun jumlah zakat yang dikeluarkan adalah sebesar harga beras satu sha’ / 2,7 kg menurut Imam Abu Yusuf (seorang ulama pengikut Madzhab Hanafi).

اَلْفِقْهُ عَلَى اْلمَذَاهِبِ اْلاَرْبَعَةِ: 1/989
اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا: حُكْمُ صَدَقَةِ اْلفِطْرِ الْوُجُوْبُ بِالشَّرَائِطِ اْلآتِيَةِ.... وَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ قِيْمَةَ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ مِنَ الْنُقُوْدِ بَلْ هَذَا أَفْضَلُ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ نَفْعًا لِلْفُقَرَاءِ.

Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arbi’ah, Juz 1, hlm 989:
“Ulama’ hanafiah berkata: “zakat fitrah berhukum wajib dengan syarat-syarat yang akan disebutkan …… boleh bagi Muzakki (wajib zakat) untuk membayar zakat wajib dengan uang senilai zakat tersebut; bahkan hal ini lebih utama karena dianggap lebih banyak manfaatnya bagi orang-orang fakir.”


رَحْمَةُ اْلأُمَّةِ فِي اخْتِلاَفِ اْلأَئِمَّةِ: ص.87
وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ صَاعٌ بِصَاعِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ جِنْسٍ مِنَ الْخَمْسِ إِلاَّ أَباَ حَنِيْفَةَ، فَقَالَ: يُجْزِئُ مِنَ الْبُرِّ نِصْفُ صَاعٍ، ثُمَّ اخْتَلَفُوْا فِي قَدْرِ الصَّاعِ، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَاَحْمَدُ وَأَبُوْ يُوْسُفَ: هُوَ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثٌ بِاْلعِرَاقِيّ، وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ: ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ.  

Kitab Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, hlm 87:
“Ulama’ bersepakat bahwa yang wajib dikeluarkan (dalam zakat fitrah) adalah satu sho’ dengan takaran sho’-nya Rasulullah SAW dari setiap jenis dari lima jenis makanan pokok, kecuali menurut Abu Hanifah yang berkata: zakatnya gandum putih adalah setengah sho’. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat tentang ukuran satu sho’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu Yusuf (ulama’ Hanafiah) : satu sho’ sama dengan 5 rithl Iraq. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah 8 rithl.

اِتْحَافُ السَّادَةِ الْمُتَّقِيْنَ: 4/ 54
(فَصْلٌ) وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٌ الصَّاعُ النَّبَوِيُّ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ بِالْبَغْدَادِيّ... وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ أَخَرُوْنَ فَقَالُوْا وَزْنُهُ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثُ رِطْلٍ، وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ أَبُوْ يُوْسُفَ.



Kitab Ittihaf as-Saadat al-Muttaqiin, Juz 4, hlm 54:
(Pasal) Imam Abu Hanifah dan Syaikh Muhammad mengungkapkan bahwa satu sho’-nya Nabi adalah 8 rithl Bagdad….. Ulama’ yang lain berbeda pendapat akan hal ini dengan mengatakan bahwa : “satu sho’ adalah 5 rithl, diantara yang mengungkapkan hal ini adalah Imam Abu Yusuf.

4.    Shalat dalam Kondisi Sakit
Shalat fardlu lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Namun demikian, syara’ telah memberikan beberapa solusi dan cara bagi orang yang berada dalam kondisi tidak normal atau di luar lazimnya untuk tetap melaksanakan kewajiban salat tersebut, seperti dalam keadaan sakit, perjalanan dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, sering kita temukan orang yang menderita sakit stroke (gangguan aliran darah) dengan berefek pada ketidakstabilan kesadaran dan kondisi tubuhnya.
Pertanyaan:
a.    Bagaimana hukum salat dan puasanya orang yang menderita penyakit stroke dengan kondisi yang tidak menentu, terkadang ia sadar atau mampu untuk melakukan gerakan salat dan terkadang sebaliknya? Apakah ia tetap wajib untuk shalat/puasa ataukah tidak?
b.    Bagaimana cara bersuci dan shalatnya orang dalam kondisi tersebut?

Jawaban:
a.    Puasanya tetap dihukumi wajib, sehingga jika ia tidak berpuasa maka wajib untuk meng-qadla’-nya. Sedangkan dalam masalah shalat, jika kesadarannya itu berlangsung lama yang kiranya mencukupi untuk melaksanakan shalat ( جاء المانع ), namun dia belum sempat melaksanakan maka ia tetap diwajibkan meng-qodhoshalat,  dan sebaliknya jika masa kesadarannya itu tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat maka ia tidak wajib meng-qadla’ lantaran meninggalkan salat pada waktu itu. Dan apabila sebelum masuk waktu dia tidak sadarkan diri kemudian dia sadar sebelum habis waktu sholat ( زوال المانع ), sekiranya waktu yang tersisa masih mencukupi untuk takbirotul ihrom maka dia wajib meng-qodho’ sholat itu dan shalat sebelumnya bila bisa dijama’.

تخفة المختاج: 5/16
( قَوْلُهُ : أَوْ ذِي جُنُونٍ ، أَوْ إغْمَاءٍ إلَخْ ) سَوَاءٌ قَلَّ زَمَنُ ذَلِكَ أَمْ طَالَ وَإِنَّمَا وَجَبَ قَضَاءُ الصَّوْمِ عَلَى مَنْ اسْتَغْرَقَ إغْمَاؤُهُ جَمِيعَ النَّهَارِ لِمَا فِي قَضَاءِ الصَّلَاةِ مِنْ الْحَرَجِ لِكَثْرَتِهَا بِتَكَرُّرِهَا بِخِلَافِ الصَّوْمِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي ( قَوْلُهُ : أَوْ سُكْرٍ ) وَمِثْلُ مَا ذُكِرَ الْمَعْتُوهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ وَشَرْحُ بَافَضْلٍ وَفِي الْقَامُوسِ الْمَعْتُوهُ هُوَ نَاقِصُ الْعَقْلِ ، أَوْ فَاسِدُهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ هُوَ الَّذِي أَصَابَتْهُ عِلَّةٌ يَهْذِي فِيهَا.

Kitab Tuhfah Al-Mukhtaj, Juz 5, hlm 16:
“Memang wajib mengqodho’ puasa bagi seseorang yang pingsannya selama seharian penuh karena adanya kesusahan dalam mengqodho’ sholat dikarenakan banyak serta berulang-ulangnya sholat, lain halnya dengan ibadah puasa.
Seperti hukum di atas adalah orang yang kurang atau rusak akalanya dan orang yang mengidap penyakit radang selaput dada yang bisa mengakibatkan orang mengigau (ngelantur: jawa).”

اَلْفِقْهُ عَلَى الْمَذَاهِبِ الاَرْبَعَةِ: 1/87
اَلثَّانِي : التَّمْيِيْزُ فَلاَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ مُمَيِّزٍ فَإِنْ كَانَ مَجْنُوْنًا لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُ وَإِنْ جَنَّ لَحْظَةً مِنْ نَهَارٍ وَإِنْ كَانَ سَكْرَانَ أَوْ مُغْمًى عَلَيْهِ لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُمَا إِذَا كَانَ عَدَمُ التَّمْيِيْزِ مُسْتَغْرِقًا لِجَمِيْعِ النَّهَارِ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَقَطْ فَيَصِحُّ وَيَكْفِي وُجُوْدُ التَّمْيِيْزِ وَلَوْ حُكْمًا فَلَوْ نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ وَنَامَ إِلَى اْلغُرُوْبِ صَحَّ صَوْمُهُ لِأَنَّهُ مَمَيِّزٌ حُكْمًا.

Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hlm 87:
“Yang kedua Tamyiz: maka tidak sah berpuasa bagi selain tamyiz. Apabila seseorang itu gila maka tidak sah puasnya walaupun gilanya hanya sebentar, apabila mabuk atau tidak sadarkan diri maka tidak sah puasanya apabila tidak sadarnya itu selama sehari penuh, dengan demikian bila mana mereka mendapatkan tamyiz di sebagian hari saja maka sah puasnya, dan dalam permasalahan tamyiz ini cukup dengan adanya tamyiz  walaupun sebatas hukum, andai kata seseorang berniat puasa sebelum fajar lalu dia tidur sampai magrib maka puasanya sah karena orang tersebut tamyiz secara hukum.”

رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1/170
أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاضِي مِنَ اْلوَقْتِ لاَ يَسَعُ تِلْكَ الصّلاَةَ فَلاَ يَجِبُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ
 قَطَعَ الْجَمَاهِيْرُ وَقاَلَ أَبُوْ يَحْيَى الْبَلْخِي وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا حُكْمُ أَوَّلِ الْوَقْتِ حُكْمُ آخِرِهِ فَيَجِبُ اْلقَضَاءُ بِإِدْرَاكِ رَكْعَةٍ أَوْ تَكْبِيْرَةٍ عَلَى اْلأَظْهَرِ.

Kitab Roudhoh al-Tholibin, Juz I, hlm 170:
“Andai kata waktu yang telah lampau tidak muat untuk melaksanakan sholat maka qodho’ sholat tersebut tidak wajib menurut madzab syafi’i yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama, Abu Yahya al-Balkhiy dan sebagian penganut syafi’i mengatakan bahwasannya hukum diawal waktu itu seperti hukum diakhir waktu dengan demikian wajib mengqodho’ sholat karena mendapatkan waktu yang cukup untuk sholat satu rokaat atau takbirotul ihrom berdasarkan qoul yang lebih jelas.”

سلم التوفيق 1 / 72
فَاِنْ طَرَأَ مَانِعٌ كَحَيْضٍ بَعْدَ مَامَضَى مِنْ وَقْتِهَا مَا يَسَعُهَا وَطُهْرُهَا لِنَحْوِ سَلِسٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا اَوْ زَالَ الْمَانِعُ وَقَدْ بَقِيَ مِنَ اْلوَقْتِ قَدْرَ تَكْبِيْرَةٍ لَزِمَتْهُ وَكَذَا مَا قَبْلَهَا اِنْ جُمِعَتْ مَعَهَا .

Kitab Sulam al-Taufiq, Juz I, hlm 72:
“Apabila dating sesuatu untuk menghalangi untuk sholat seperti haid setelah lewatnya waktu yang cukup untuk melaksanakan sholat, dan cukup untuk bersuci bagi orang yang selalu hadats maka wajib meng-qodho’ sholat tersebut, atau hilangnya sesuatu yang menghalangi sholat dan masih tersisi waktu yang cukup untuk takbirotul ihrom maka wajib melaksanakan sholat tersebut dan sholat sebelumnya apabila bisa dijama’.”
b.    Bersuci dalam kondisi di atas diperbolehkan dengan mengusapkan kain yang telah dibasahi kepada anggota yang sakit, dengan syarat air basahan kain tersebut bisa menetes pada anggota wudlu’.

شَرْحُ الْوَجِيْزِ:2/295
(اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ) وَيَخَافَ مِنْ اِيْصَالِ الْمَاءِ إِلَيْه فَيُغْسَلُ الصَّحِيْحُ بِقَدْرِ اْلاِمْكَانِ وَيُتَلَطَّفُ إِذَا خَافَ سَيْلاَنَ الْمَاءِ إِلَى مَوْضِعِ اْلعِلَّةِ بِوَضْعِ خِرْقَةٍ مَبْلُوْلَةٍ بِالْقُرْبِ مِنْهُ وَيَتَحَامَلُ عَلَيْهَا لِيَنْغَسِلَ بِالْمُتَقَاطِرِ مِنْهَا

Kitab Syarh al-Wajiz, Juz 2, hlm 290:
“Masalah kedua : mutawadhi khawatir akan mengalirnya air pada luka, orang ini harus membasuh anggota yang sehat semampunya. Dan pelan-pelan dengan meletakkan kain yang dibasahi didekat anggota yang sakit serta menekan sedikit supaya anggotanya terbasuh dengan tetesan air tersebut, bila mana dia takut untuk menalirkan air.

فَتَاوَى السُّبْكَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ: 130/296
وَقَالَ آخَرُوْنَ وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا وَعَامَّةُ الْفُقَهَاءِ: (عَلَيْهِ إِجْرَاءُ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَلْكُهُ بِيَدِهِ ).

Kitab Fatawi al-Sabkah al-Islamiyah, Juz 130, hlm 296:
“Berkata ulama’ yang lain yaitu pendapat ulama’ Syafi’iyah dan seluruh ulama’ fiqh bahwa wajib atas orang yang wudhu untuk mengalirkan air pada anggota wudhu, dan tidak dicukupkan hanya sekedar menggosok dengan tangan.”

5.    Qadha’ (membayar hutang) Shalat
Fenomena yang banyak kita temukan di masyarakat adalah sikap antusias mereka di dalam menyambut datangnya bulan Ramadlan, seperti dengan berbondong-bondong pergi ke masjid untuk melaksanakan salat sunah tarawih berjamaah, meskipun mungkin ada di antara mereka yang sesekali bahkan sering meninggalkan salat fardlu lima waktu, terutama pada bulan selain Ramadlan.
Pertanyaan:
a.    Berdasarkan kitab I’anah al-Thalibin (Hasyiyah Fath al-Mu’in) Juz 1 hal. 23 (cet. Toha Putra Semarang), bahwa orang yang masih mempunyai tanggungan untuk meng-qadha’ (membayar hutang) shalat, ia diharamkan untuk melakukan shalat sunnah, seperti tarawih. Adakah pendapat yang memperbolehkannya, meskipun masih memiliki tanggungan qhadha’ tersebut? 
b.    Bagaimana cara meng-qhadha’ shalat yang jumlahnya tidak diketahui atau lupa?

Jawaban:
a.    Ada, yaitu keterangan dalam kitab Al-Majmu’, bahwa seseorang yang masih mempunyai tanggungan sholat fardhu sah dan mendapatkan pahala bila melaksanakan sholat-sholat sunnah.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحَ الْمُهُذَّبِ : 4 / 57
(فَرْعٌ) تَصِحُّ النَّوَافِلُ وَتُقْبَلُ وَاِنْ كَانَتِ الْفَرَائِضُ نَاقِصَةً لِحَدِيْثَيْ اَبِي هُرَيْرَةَ وَتَمِيْمٍ الدَّارِيّ السَّابِقَيْنِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ التَّاسِعَةِ وَالْعَاشِرَةِ: وَأَمَّا الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مثل الْمُصَلِّي مِثْلُ التَّاجِرِ لاَ يَخْلُصُ لَهُ رِبْحُهُ حَتىَّ يَخْلُصَ رَأْسُ مَالِهِ كَذَلِكَ الْمُصَلِّي لاَ تُقْبَلُ نَافِلَتُهُ حَتىَّ يُؤَدِّيَ الْفَرِيْضَةَ" فَحَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بَيَّنَ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرُهُ ضُعْفَهُ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhdzdzab, Juz 4, hlm 57:
“(Far’) Sholat-sholat sunnah berhukum sah dan diterima walaupun masih memiliki kekurangan (dalam meng-qodho’) sholat fardhu karna berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Tamimi Ad-Dari yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan dan kesepuluh : “ perumpamaan orang yang sholat seperti pedagang yang tidak akan bersih labanya sehingga bersih modalnya, begitu juga orang yang sholat tidak diterima sholat sunnahnya sehingga dia melaksanakan sholat wajib. Maka ini Hadits Dho’if, Imam Baihaqi dan yang lain menjelaskan ke-dho’ifan hadits tersebut.

b.    Jika kepastian jumlah shalat yang ditinggalkan tidak diketahui, maka wajib meng-qadla shalat sejumlah yang diyakini ditinggalkan atau tidak diragukan. Namun menurut qaul mu’tamad, wajib mengqadla’ shalat yang ditinggalkan dengan  melebihi jumlah yang diyakini, yaitu dengan membandingkannya dengan jumlah shalat yang telah dilaksanakan. (misalnya; dalam sebulan ia yakin shalat sebanyak 10 hari, maka dia wajib mengqadla’ shalat melebihi 20 hari).

الشَّرْقَاوِيّ:1/275 – 276
لَوْكَانَ عَلَيْهِ فَوَائِتُ وَاَرَادَ قَضَاؤَهَا سُنَّ تَرْتِيْبُهَا ... وَاِذَا كَانَ لاَيَعْرِفُ عَدَدَهَا فَقَالَ
الْقَفَّالُ يَقْضِيْ مَا تَحَقَّقَ تَرْكُهُ اَيْ فَلاَ يَقْضِي الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ
يَقْضِيْ مَا زَادَ عَلَى مَا تَحَقَّقَ فِعْلُهُ فَيَقْضِي مَا ذُكِرَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. اهـ 

Kitab Al-Syarqowiy, Juz 1, hlm 275-276:
Apabila seseorang mempunyai beberapa hutang shalat, dan ia bermaksud untuk meng-qadha’ maka disunnahkan meg-qadah’ sesuai urutan shalat. Dan apabila ia tidak mengetahui jumlah hutang shalatnya maka menurut Imam Qofal dia wajib meng-qadha’ shalat yang diyakini ditinggalkan artinya dia tidak meng-qadha’ shalat yang diragukan ditinggalkan. Al-Qodhi Husain berkata: “dia diwajibkan meng-qadha’ dengan jumlah yang melebihi dari shalat yang yakin dikerjakan. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat.

6.    Aqiqah
Jika ada seorang yang beraqiqah dengan 7 ekor kambing (misalnya; untuk 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan), bolehkan ia menggantinya dengan 1 ekor sapi, sebagaimana hitungan dalam masalah qurban?

Jawaban: Aqiqah dengan 1 ekor sapi seperti di atas diperbolehkan dan sah.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 8 /429
(اَلثَّانِيَةُ) اُلسُّنَةُ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. فَاِنْ عُقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاةٌ حَصَلَ أَصْلُ السُّنَةِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَلَوْ وُلِدَ لَه وَلَدَانِ فَذُبِحَ عَنْهُمَا شَاةٌ لَمْ تَحْصُلْ العَقِيْقَةُ وَلَوْ ذَبَحَ بَقَرَةً أَوْ بَدَنَةً عَنْ سَبْعَةِ أَوْلاَدٍ أَوِ اشْتَرَكَ فِيْهَا جَمَاعَةٌ جَازَ سَوَاءٌ أَرَادُوْا كُلُّهُمْ العَقِيْقَةَ أَوْ أَرَادَ بَعْضُهُمْ العَقِيْقَةَ وَبَعْضُهُمْ اللَحْمَ كَمَا سَبَقَ فِي اْلاُضْحِيَةِ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 8, hlm 429:
Yang kedua: “ sunnah membuat aqiqoh dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Apabila membuat aqiqoh satu kambing untuk anak laki-laki maka sudah mendapat kesunnahan. Apabila seseorang dikaruniai dua anak kemudian menyembelih satu kambing maka belum dianggap aqiqoh. Dan apabila seseorang menyembelih seekor sapi atau unta untuk tujuh anak, atau sekelompok orang bersama-sama menyembelih seekor sapi atau unta maka hal tersebut boleh, baik mereka semua bertujuan untuk aqiqoh, atau sebagian bertujuan aqiqoh dan sebagian yang lain sekedar mengambil dagingnya. Seperti telah dijelaskan dalam bab qurban.

7.    Fidyah dan Kafarat Puasa
a.    Terhadap kakek yang tidak mampu lagi berpuasa Ramadhan, bolehkah membayar semua fidyah-nya sekaligus pada awal bulan Ramadhan?
Jawaban:
a.   Diperbolehkan membayar Fidyah setiap hari setelah keluarnya fajar.

اَلْمَوْسُوْعَةُ اْلفِقْهِيَّةُ : 2/11539
وَقَالَ النَّوَوِيُّ : اِتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ للِشَّيْخِ الْعَاجِزِ وَالْمَرِيْضِ الَّذِيْ لاَ يُرْجَى بَرَؤُهُ تَعْجِيْلُ الْفِدْيَةِ قَبْلَ دُخُوْلِ رَمَضَانَ، وَيَجُوْزُ بَعْدَ طُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ
وَهَلْ يَجُوْزُ قَبْلَ الْفَجْرِ فِيْ رَمَضاَنَ ؟ قَطَعَ الدَّارِمِيّ بِالْجَوَازِ وَهُوَ الصَّوَابُ.

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 2, hlm 11539:
“Imam Nawawi berkata: ulama’ Syafi’iyah sepakat bahwa seorang yang tidak mampu lagi serta orang yang sakit yang tidak lagi diharapkan sembuhnya tidak boleh mempercepat membayar fidyah sebelum masuk romadhon, namun diperbolehkan membayar setelah fajar untuk tiap harinya. Apakah boleh dibayarkan sebelum fajar ? Imam Al-Darimiy berkata boleh.

8.    Wakaf Masjid
Di suatu daerah telah berdiri sebuah masjid tanpa memiliki halaman. Melihat kondisi seperti itu, seorang warga setempat mewakafkan tanahnya yang berada di dekat masjid tersebut, yang kemudian tanah tersebut didirikan masjid baru. Sedangkan  lokasi masjid yang lama dijadikan halamannya.
Pertanyaan:
Bagaimana status halaman bekas masjid lama tersebut? Dan bagaimana status wakafnya, apakah masih sebagai Amal Jariyah atau tidak?

Jawaban: Tetap menjadi tanah wakaf, dan menjadi amal jariyahnya


فَتْحُ الْمُعِيْنِ: 211
(وَلاَ يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ وَإِنْ خَرِبَ) فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ وَتَعَذَّرَتْ إِعَادَتُهُ: لَمْ يُبَعْ، وَلاَ يَعُوْدُ مِلْكًا بِحَالٍ- ِلاِمْكَانِ الصَّلاَةِ وَاْلاِعْتِكَافِ فِي أَرْضِهِ.
Kitab Fath al-Mu’in, hlm 211:
“Dan tidak diperbolehkan menjual barang yang di-waqof-kan walaupun roboh, maka apabila ada masjid roboh dan tidak bisa dikembalikan maka tidak boleh dijual dan tidak kembali menjadi milik waqif, karena masih bisa shalat dan I’tikaf ditanah tersebut.”




























KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL KE III
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di PP. Hidayatul Fudhola’ Sri Gunung-Sungai Lilin-Musi Banyuasin
Hari / Tanggal: Sabtu, 8 Januari 2011 M. / 3 Safar 1432 H.
 

1.    Sebagaimana banyak diterangkan di kitab-kitab fiqh, bahwa ada beberapa macam ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) dipelajari oleh muslim/muslimah, di antaranya ilmu tentang sholat, thoharoh dan hal-hal yang terkait dengannya. Namun dewasa ini banyak wanita yang belum memahami ilmu tentang kewanitaan seperti haid, karena memang kurikulum dari Depag & Diknas tidak ada yang secara khusus menjelaskannya, sehingga tamat dari Sekolah mereka belum bisa memahami ilmu tersebut. Dan selanjutnya mereka meneruskan belajar ke perguruan tinggi dengan tidak lagi mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Pertanyaan :
a.    Bagaimana hukumnya wanita yang tidak lagi mempelajari ilmu tentang haid?
b.    Sebatas mana seorang wanita harus memahami ilmu-ilmu tersebut?
c.    Berdosakah pengelola yayasan/ sekolah yang tidak mengajarkan ilmu-ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) untuk dipelajari, seperti ilmu tentang kewanitaan?
d.   Ilmu apa saja yang wajib dipelajari (fardu ‘ain) oleh seseorang seperti yang dijelaskan di dalam hadits?
(PCNU OKU INDUK)

Jawaban:
a.    Bagi wanita yang telah masuk usia haid tetapi ia belum memahami tentang Haid dan permasalahannya, maka haram baginya meninggalkan (tidak) belajar tentang ilmu haid dan permasalahannya itu, karena ilmu tersebut berhukum fardlu ain.

الإقْنَاعُ فِي حِلِّ أَلْفَاظِ أَبِي شُجَاعٍ لِمُوْسَى الْحِجَاوِيّ :1 /94
فَائِدَةٌ: حَكَى اَلْغَزَالِي أَنَّ اْلوَطْئَ قَبْلَ اْلغُسْلِ يُوْرِثُ الْجُذَامَ فِي اْلوَلَدِ، وَيَجِبُ عَلَى اْلمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَاْلاِسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ تَعْلِيْمُهَا، وَإِلاَّ فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ اْلعُلَمَاءِ، بَلْ يَجِبُ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا فَتَسْتَغْنِي بِذَلِكَ، وَلَيْسَ لَهَا اْلخُرُوْجُ إِلَى مَجْلِسِ ذِكْرٍ أَوْ تَعْلِيْمِ خَيْرٍ إِلاَّ بِرِضاَهُ

Kitab Al-Iqna’ Fi Hil Alfadhi Abi Suja’ Li Musa al-Hijawiy, Juz 1, hlm 94:
“Faidah : telah dikisahkan oleh Imam Ghozali bahwa sesungguhnya bersenggama sebelum mandi (bagi wanita yang berhenti dari hadats besar) itu bisa mengakibatkan penyakit judam (kusta) pada anak. Wajib bagi seorang wanita mengetahui ilmu yang dibutuhkannya termasuk hukum-hukum haid, istihadzoh, serta nifas. Andai suaminya mengetahui ilmu tersebut maka wajib mengajarinya, dan andaikan tidak bisa maka wanita tersebut diperbolehkan keluar untuk mengaji / bertanya pada ulama’ bahkan wajib dan haram bagi suami tersebut melarang isterinya, kecuali dia mau bertanya dan memberi tahukan kepada isterinya sehingga isterinya sudah merasa cukup dengan berita / kabar darinya,seorang  isteri tidak boleh keluar menuju tempat dzikir atau tempat belajar kebaikan kecuali dengan ridhonya.”

تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ فِي شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: 43 / 426,
( تَنْبِيهٌ ) يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مِنْ الْكَبَائِرِ تَرْكُ تَعَلُّمِ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ مَا هُوَ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَيْهِ لَكِنْ مِنْ الْمَسَائِلِ الظَّاهِرَةِ لَا الْخَفِيَّةِ.

Kitab Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj, Juz 43, hlm 426:
“Tanbih: Selayaknya sebagian dosa besar bagi yang meninggalkan belajar ilmu yang bisa mengesahkan fardhu ‘ain hanya saja sebatas permasalahan yang jelas bukannya permsalahannya yang samar.”

b.    Sebatas ilmu yang ia butuhkan untuk melaksanakan hal-hal yang difardlukan, sehingga perkara fardlu yang telah ia laksanakan dihukumi sah. Misalnya dalam hal sholat, maka ia wajib mempelajari tentang syarat, rukun dan hal-hal terkait dengan shalat sehingga menjadikan sholat yang ia lakukan itu sah.

إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ: 4/ 80
(قَوْلُهُ وَمِنْهَا) أَيْ مِنَ اْلمَوَاضِعِ الْمَذْكُوْرَةِ وَقَوْلُهُ خُرُوْجُهَا لِتَعَلُّمِ اْلعُلُوْمِ اْلعَيْنِيَّةِ أَيْ كَاْلوَاجِبِ تَعَلُّمُهُ مِنَ اْلعَقَائِدِ وَاْلوَاجِبِ تَعَلُّمُهُ مِمَّا يُصَحِّحُ الصَّلاَةَ وَالصِّياَمَ وَالْحَجَّ وَنَحْوَهَا.

Kitab I’anah al-Tholibiin, Juz 4, hlm 80:
“(Qouluhu Khurujuha) termasuk tempat-tempat yang boleh didatangi yaitu tempat keluarnya seorang wanita untuk mencari ilmu yang ‘ainiyah (ilmu pribadi) contohnya seperti ilmu yang wajib dipelajarinya yaitu ilmu aqo’id, dan perkara yang wajib dipelajarinya yaitu ilmu yang mengesahkan sholat, puasa, haji dan sebagainya.”

c.    Jika pengelola yayasan mengetahui muridnya tidak mengetahui ilmu fardlu ain itu, maka berdosa jika membiarkannya, sementara pihak yayasan mampu memberikan pelajaran tentang ilmu itu. Dan apabila tidak mampu, maka harus memberi kesempatan muridnya untuk belajar di luar.

سُلَّمُ التَّوْفِيْقِ :ص.15
{فَصْلٌ} يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَدَاءُ جَمِيْعِ مَا اَوْجَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ قَهْرُهُ عَلَى ذَلِكَ اِنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَاِلاَّ فَيَجِبُ عَلَيْهِ اْلاِنْكاَرُ بِقَلْبِهِ اِنْ عَجَزَ عَنِ اْلقَهْرِ وَاْلاَمْرِ وَذَالِكَ اَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ.

Kitab Sulam al-Taufiq, hlm 15:
“Faslun: Wajib bagi setiap mukallaf untuk melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah, dan wajib pula memaksa orang lain untuk melaksanakan kewajiban tersebut apabila punya kemampuan, dan bila tidak punya kemampuan maka wajib ingkar dengan hati bila mana lemah untuk memaksa dan memerintah dan ini adalah iman yang paling lemah.”

مُغْنِي الْمُحْتَاجِ إِلَى مَعْرِفَةِ أَلْفَاظِ الْمِنْهَاجِ : 1/296
وَيَجِبُ عَلَى اْلمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَاْلاِسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ تَعْلِيْمُهَا، وَإِلاَّ فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ اْلعُلَمَاءِ، بَلْ يَجِبُ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا
Kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadzi al-Minhaj, Juz 1, hlm 296.
“Wajib bagi seorang wanita mempelajari ilmu yang dibutuhkannya yakni ilmu haid, istihdzoh dan nifas, andai kata suaminya alim maka dia wajib mengajarinya, andaikata suaminya tidak alim maka wanita tersebut boleh keluar untuk bertanya pada ulama’ bahkan wajib, dan haram bagi seorang suami menghalanginya kecuali dia mau bertanya dan memberi keterangan kepada isterinya.”

d.   Ilmu hal (ilmu yang dibutuhkan untuk hal-hal yang sedang dihadapi), seperti pedagang, maka diwajibkan mempelajari ilmu tentang jual beli.

تَعْلِيْمُ الْمُتَعَلِّمِ : 4
يُفْتَرَضُ عَلَى الْمُسْلِمِ طَلَبُ عِلْمِ مَا يَقَعُ لَهُ فِي حَالِهِ فِي اَيِّ حَالٍ كَانَ فَاِنَّهُ لاَبُدَّ لَهُ مِنَ الصَّلاَةِ فَيُفْتَرَضُ عَلَيْهِ عِلْمُ مَا يَقَعُ لَهُ فِي صَلاَتِهِ بِقَدْرِمَا يُؤَدِّيْ بِهِ فَرْضَ الصَّلاَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ عِلْمُ مَا يَقَعُ لَهُ بِقَدْرِ مَا يُؤَدِّي بِهِ الْوَاجِبَ لاِنَّ مَا يُتَوَسَّلُ بِهِ اِلَى اِقَامَةِ اْلفَرْضِ يَكُوْنُ فَرْضًا وَمَا يُتَوَسَّلُ بِهَا اِلَى اِقَامَةِ اْلوَاجِبِ يَكُوْنُ وَاجِباً وَكَذاَلِكَ فِي الصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ اِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ وَالْحَجِّ اِنْ وَجَبَ عَلَيْهِ وَكَذَالِكَ فِي الْبُيُوْعِ اِنْ كَانَ يَتَّجِرُ.

Kitab Ta’lim al-Muta’allim, hlm 4:
“Wajib bagi orang muslim mempelajari ilmu yang terjadi pada setiap keberadaannya (ilmu kondisional) sesungguhnya wajib bagi orang muslim yaitu sholat oleh karenanya wajib pula mempelajari ilmu sholat sebatas dia bisa melaksanakan fardhunya sholat. Wajib pula mempelajari ilmu yang bisa menyempurnakan kewajiban, karena setiap perkara yang digunakan untuk menyempurnakan fardhu maka hukumnya fardhu pula, dan setiap perkara yang digunakan untuk meyempurnakan kewajiban maka hukumnya wajib pula, demikian juga dalam permasalahan puasa dan zakat andai mempunyai harta, juga haji andai sudah wajib haji, demikian juga wajib mengetahui ilmu perdagangan bila menjadi pengusaha/ pedagang.

2.    Sudah menjadi rahasia umum, setiap pengajuan proposal nominal yang dicantumkan dalam anggaran selalu diperbesar dari kebutuhan riil,  bahkan sering sumbangan dari pemerintah tidak di alokasikan pada aturan yang telah ditetapkan penyumbang/ pemerintah, namun dalam pelaporannya disesuaikan dengan ketentuan dari pemerintah.
Pertanyaan:
a.    Bagaimana hukumnya memanipulasi data dalam pengajuan proposal/ laporan sumbangan ?
b.    Bagaimana hukumnya mengalokasikan dana bantuan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan kehendak penyumbang/ pemerintah ?

Jawaban:
a.    Memanipulasi data berhukum haram, namun jika manipulasi data tersebut merupakan jalan satu-satunya, dan dia termasuk orang yang berhak menerima bantuan tersebut, maka diperbolehkan. 


الفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةُ الْكُبْرَى:1 / 463
لَوْ لَمْ يَدْفَعْ السُّلْطَانُ إلَى كُلِّ الْمُسْتَحَقِّينَ حُقُوقَهُمْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَهَلْ يَجُوزُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهُ قَالَ فِيهِ أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ أَحَدُهَا لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مُشْتَرَكٌ وَلَا يَدْرِي حِصَّتَهُ مِنْهُ حَبَّةً أَوْ دَانَقَ أَوْ غَيْرَهُمَا وَهُوَ غُلُوٌّ وَالثَّانِي يَأْخُذُ قُوتَ كُلِّ يَوْمٍ فِيهِ وَالثَّالِثُ كِفَايَةُ سَنَةٍ وَالرَّابِعُ يَأْخُذُ مَا يُعْطَى وَهُوَ حَقُّهُ.

Kitab Al-Fatawiy Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 1, hlm 463.
Andaikata pemerintah tidak mau menyerahkan harta dari baitul mal pada yang berhak, apakah boleh harta tersebut diambil paksa? Mushonnif menjawab: permasalahan tersebut terdapat empat madzab.
1.    Tidak boleh, karena harta tersebut bercampur dengan yang lain dan tidak diketahui sedikit pun yang mana kira-kira yang menjadi bagiannya, Sedangkan harta tersebut adalah harta yang berharga.
2.    Boleh mengambil makanan pokok pada tiap harinya.
3.    Boleh mengambil sebanyak perbekalan hidup satu tahun.
4.    Mengambil harta sebatas yang hendak diberikan yakni haknya sendiri.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ:  9/ 349
فَرْعٌ: قَالَ اْلغَزَالِي مَالُ اْلمَصَالِحِ لاَ يَجُوْزُ صَرْفُهُ اِلاَّ لِمَنْ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتاَجٌ عَاجِزٌ عَنِ اْلكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إِلَى اْلمُسْلِمِيْنَ وَلَوْ اِشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيْهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ اْلمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيْهِ جَمِيْعُ اَنْواَعِ عُلَماَءِ الدِّيْنَ كَعِلْمِ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَاْلفِقْهِ وَاْلقِرَاءَةِ وَنَحْوِهاَ يَدْخُلُ فِيْهِ طَلَبَةُ هَذِهِ اْلعُلُوْمِ وَاْلقُضَاةُ وَاْلمُؤَذِنُوْنَ وَاْلاَجْنَادُ. وَيَجُوْزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلاَءِ مَعَ اْلغَنِيْ وَيَكُوْنُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إِلَى رَأْىِ السُّلْطَانِ وَماَ تَقْتَضِيْهِ اْلمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضَيْقِ اْلمَالِ وَسَعَتِهِ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 9, hlm 349:
“Far’un: Imam Ghozali berkata: harta yang disediyakan untuk kepentingan umat itu tidak boleh dialokasikan kecuali kepada orang yang penuh dengan kemaslahatan umat (kepentingan umum) atau kepada orang lemah yang tidak punya pekerjaan, seperti orang yang menguasai urusan untuk kepentingan umat muslim di mana kalau dia bekerja maka gagallah urusan tersebut, maka orang ini berhak mengambil investasi dari baitul mal, dengan demikian masuklah dalam kata gori ini yaitu seluruh tokoh agama seperti guru ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain sebagainya. Temasuk dalam kategori ini pula yaitu para santri, penegak hukum, muadzin dan pasukan perang. Diperbolehkan memberi harta pada orang-orang tersebut walaupun mereka kaya dan kadar pemberiannya tergantung pemberian pemeritah dan menurut kadar yang dibutuhkan untuk kemaslahatan umat, dan pemberian harta tersebut berbeda-beda dengan melihat banyak tidaknya kas negara.
إعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ :3/288
قاَلَ فِي اْلاِحْياَءِ، وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ أَنْ كُلَّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ إِلَيْهِ بِالصِّدْقِ وَالْكِذْبِ جَمِيْعًا، اَلْكِذْبُ فِيْهِ حَرَامٌ أَوْ بِالكِذْبِ وَحْدَهُ فَمُبَاحٌ إِنْ أُبِيْحَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ الْمَقْصُوْدِ.
Kitab I’anah at-Tholibin, Juz 3, hlm 288:
“Imam Ghozali berkata dalam kitab Ihya’ Ulumuddin: yang menjadi qoidah pada hal tersebut ialah setiap tujuan yang terpuji itu mungkin saja diraih dengan cara jujur dan bohong, maka berbohong dalam permasalahan tersebut hukumnya haram, dan atau meraih dengan cara berbohong saja,maka berbohong diperbolehkan ini diperbolehkan apabila diperbolehkan meraih tujuan tersebut dengan cara ini.”

b.    Untuk sumbangan dari pemerintah boleh pengelokasiannya dirubah apabila lebih maslahah dan tidak ada tanda-tanda keharusan melaksanakan aturan pemerintah, karena pihak yayasan diposisikan sebagai wakil dari pemerintah yang selaku pemberi sumbangan. Dan apabila sumbangan itu berasal dari pihak swasta, maka harus sesuai dengan tujuan penyumbang, kecuali bila ada tanda-tanda kerelaan penyumbang untuk dialokasikan dalam bentuk apapun.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 310
لَوْ عَيَّنَ الْمُوَكِّلُ سُوْقاً أَوْ قَدْراً أَوْ مُشْتَرِياً، وَدَلَّتِ اْلقَرَائِنُ عَلَى ذَلِكَ لِغَيْرِ غَرَضٍ أَوْ لمَ تَدُلَّ وَكَانَتِ اْلمصْلَحَةُ فِي خِلاَفِهِ، جَازَ لِلْوَكِيْلِ مُخَالَفَتُهُ وَلاَ يَلْزَمُهُ فِعْلُ مَا وُكِّلَ فِيْهِ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 310:
“Andai kata muwakkil (pihak pertama) menentukan pasar, kadar (ukuran) dan konsumen, sedangkan di sana terdapat isyarat pada selain yang ditentukan, atau isyarat tersebut tidak menunjukkan akan keharusan untuk melaksanakan ketentuan dari muwakkil tersebut, sedangkan kemaslahatannya justru terdapat pada selain yang ditentukan, dengan demikian diperbolehkan bagi seorang wakil (pihak kedua) untuk melaksanakan hal yang diluar ketentuan muwakkil dan tidak wajib melaksanakan apa saja yang diwakilkannya.”

حَاشِيَةُ الْجَمَلِ: 8 / 44
مَتَى حَلَّ لَهُ الْأَخْذُ وَأَعْطَاهُ لِأَجْلِ صِفَةٍ مُعَيَّنَةٍ لَمْ يَجُزْ لَهُ صَرْفُ مَا أَخَذَهُ فِي غَيْرِهَا فَلَوْ أَعْطَاهُ دِرْهَمًا لِيَأْخُذَ بِهِ رَغِيفًا لَمْ يَجُزْ لَهُ صَرْفُهُ فِي إدَامٍ مَثَلًا أَوْ أَعْطَاهُ رَغِيفًا لِيَأْكُلَهُ لَمْ يَجُزْ لَهُ بَيْعُهُ وَلَا التَّصَدُّقُ بِهِ وَهَكَذَا إلَّا إنْ ظَهَرَتْ قَرِينَةٌ بِأَنْ ذَكَرَ الصِّفَةَ لِنَحْوِ تَجَمُّلٍ كَقَوْلِهِ لِتَشْرَبَ بِهِ قَهْوَةً مَثَلًا فَيَجُوزُ صَرْفُهُ فِيمَا شَاء.

Kitab Hasyiyah al-Jamal, Juz 8, hlm 44:
“Kapan saja halal bagi wakil untuk mengambil harta serta memberikan, karena ada sifat yang jelas maka dia tidak boleh mengalokasikan harta pada selain sifat tersebut. Andai muwakkil memberikan satu dirham untuk membeli roti maka tidak diperbolehkan bagi wakil untuk membelikan lauk pauk, dan atau dia memberikan roti untuk dimakan maka tidak diperbolehkan membelanjakan dan menyedekahkan uang tersebut, kecuali terdapat isyarat atau qorinah seperti contoh muwakkil menyebutkan sifat yang semisal kembang bibir seperti ucapan muwakkil (ini uang untuk membeli kopi) maka diperbolehkan bagi wakil untuk membelanjakan uang tersebut sesuai kehendaknya.

3.    Membina rumah tangga yang harmonis menjadi harapan setiap orang, namun dalam kenyataanya hal ini bukan sesuatu yang mudah. Karena ada sautu masalah seorang suami berkata pada isterinya “ kalau begini terus kamu saya tholaq “ dan ternyata masalah tersebut sering terulang, namun setelah kejadian suami tidak sampai mengatakan “ kamu saya tholaq “ dia hanya mengucapkan seperti kata diatas.
Pertanyaan:
Sudahkah ucapan suami tersebut termasuk tholaq?

Jawaban:
Ucapan suami tersebut bukan termasuk thalaq, hanya sekedar ancaman untuk menolak.

أَسْنَى الْمَطاَلِبِ : 16  / 358
( قَوْلُهُ الطَّرَفُ الثَّانِي فِي التَّعْلِيقِ بِالتَّطْلِيقِ إلَخْ ) قَالَ رَجُلٌ لِامْرَأَتِهِ طَلَّقْتُك إنْ دَخَلْت الدَّارَ أَوْ إنْ دَخَلْت الدَّارَ فَطَلَّقْتُك قَالَ الْكِنْدِيُّ عُرِضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ بِدِمَشْقَ مَنْسُوبَةً إلَى الْجَامِعِ الْكَبِيرِ لِمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ وَلَيْسَتْ مَذْكُورَةً فِي كُتُبِ الشَّافِعِيَّةِ ثُمَّ أَجَابَ فِيهَا بِأَنَّ طَلَّقْتُك إنْ دَخَلْت الدَّارَ تَطْلُقُ فِي الْحَالِ وَأَمَّا إنْ دَخَلْت الدَّارَ طَلَّقْتُك فَلَا تَطْلُقُ إلَّا عِنْدَ دُخُولِ الدَّارِ قَالَ السُّبْكِيُّ أَخْطَأَ الْكِنْدِيُّ فِيمَا قَالَهُ وَالصَّوَابُ أَنَّ الطَّلَاقَ فِي الْأُولَى يَقَعُ عِنْدَ دُخُولِ الدَّارِ لَا قَبْلَهُ وَفِي الثَّانِيَةِ لَا يَقَعُ أَصْلًا إلَّا أَنْ يَنْوِيَ بِقَوْلِهِ طَلَّقْتُك مَعْنًى أَنْتِ طَالِقٌ فَيَقَعُ عِنْدَ وُجُودِ الشَّرْطِ.




Kitab Asna al-Matholib, Juz 16, hlm 358:
(  قوله الصواب الخ) sesungguhnya tholaq dalam permasalahan yang pertama (kamu saya tolaq apabila kamu masuk rumah) akan terjadi pada saat masuk rumah. Sedang pada permasalahan yang kedua (apabila kamu masuk rumah maka aku akan menolaqmu) sama sekali tidak terjadi tholaq kecuali adanya niat yang bersamaan dengan ucapannya semisal: “aku telah menolakmu” dalam artian “kamu telah tertolak”. Maka terjadilah tholak tersebut dengan terwujudnya syarat.

فتاوى كبرى: 4/145
سُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِعُلُومِهِ وَبَرَكَتِهِ الْمُسْلِمِينَ عَمَّنْ قال إن دَخَلْت الدَّارَ طَلَّقْتُك فَهَلْ هو تَعْلِيقٌ أو لَغْوٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَصَّ في الْأُمِّ على أَنَّهُ وَعْدٌ فَيَكُونُ لَغْوًا نعم إنْ ذَكَرَ قَبْلَهُ "قد" لَفْظًا أو نِيَّةً كان تَعْلِيقًا لِانْسِلَاخِهِ عن الْوَعْدِ حِينَئِذٍ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.

Kitab Fatawiy Kubro, Juz 4, hlm 145:
“Ada seseorang yang berkata “andaikan kamu masuk rumah maka kamu aku tholak”. Apakah perkataan ini termasuk “ta’liq” ataukah sekedar perkataan yang tiada arti? Dalam hal ini Imam Syafi’i menuliskan didalam kitab “al-Umm” bahwasannya ucapan tersebut dikategorikan ancaman untuk menolaq dengan demikian perkataan tersebut tiada arti, oh ya! Andai kata sebelum perkataan tersebut dia menyebutkan kalimat “qod” (pasti) secara lafdziah atau kira-kiranya maka perkataan tersebut tergolong “ta’liq” sebab qod memberi faedah menghapus ancaman.”

4.    Pergaulan muda-mudi yang tidak terkendali terkadang menimbulkan kecelakaan, sehingga tidak jarang seorang wanita hamil diluar nikah, karna untuk menutupi rasa malu, buru-buru orangtuanya menikahkannya sebelum wanita tersebut melahirkan.
Pertanyaan
a.    Sahkah menikahi wanita yang sedang hamil karena zina ?
b.    Bernasabkah anak yang lahir karena kehamilan tersebut ?
c.    Dan andaikan tidak bernasab, adakah pendapat yang memperbolehkan bapak yang menghamili ibunya, sebagai wali karena untuk menutupi kalau dia anak hasil zina ?
d.   Apakah anak tersebut mendapat warisan ?, bila salah satu kedua orang tuanya ( ibu dan bapak yang zina ) meninggal dunia?
e.    Dan bila yang menikahi bukan orang yang menghamilinya, sementara anak yang dikandung itu lahir lebih dari enam bulan dari pernikahan, kemanakah nasab anak tersebut ?
f.     Apakah pembuktian nasab melalui tes DNA bisa dibenarkan ?

Jawaban :
a.    Sah.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/419
(مسألة : ي ش) : يَجُوْزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ مِنَ الزِّناَ سَوَاءٌ الزَانِي وَغَيْرُهُ وَوَطْؤُهَا حِيْنَئِذٍ مَعَ اْلكَرَاهَةِ.    

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 419:
“Diperbolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina baik yang menzinahinya atau orang lain, hanya saja menyetubuhinya saat masih hamil hukumnya makruh.”

b.    Bernasab kepada ibu yang mengandungnya, bila diyakini anak dari perzinahan seperti anak itu lahir sebelum enam bulan dari pernikahan.

اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 2 / 146
(قَوْلُهُ: وَيَقُوْلُ فِي وَلَدِ الزِّناَ إلخ) أَيْ لاِنَّهُ لاَ يُنْسَبُ إَلَى أَبٍ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلىَ أُمِّهِ.

Kitab I’anah al-Tholibin, Juz 2, hlm 146:
Musonnif berkata tentang anak zina “karena anak zina tidak bernasab kepada bapak akan tetapi bernasab kepada ibu”

c.    Ada (menurut madzhab Hanafi), apabila orang yang menghamili itu menikahinya walaupun sehari sebelum kelahiran.

اَلْحَاوِي الْكَبِيْر : 8 / 454
فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ  وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِه.

Kitab Al-Hawiy Al-Kabir, Juz 8, hlm 454:
“Madzhab Syafi’I sesungguhnya anak zina tidak bisa bernasab kepada yang menzinahinya walaupun dia mengakuinya, imam Abu Hanifah berkata: apabila orang yang menzinahi menikahi wanita yang ia zinahi sebelum wanita itu melahirkan walaupun jarak sehari maka anak tersebut bernasab dengan orang yang menzinahi ibunya, dan apabila tidak menikahi maka tidak bernasab.”

d.   Bila yang meninggal ibunya maka dia mendapat waris sebab dia bernasab kepada ibu, dan bila yang meninggal ayahnya maka tidak mendapat warisan kecuali mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak zina bisa bernasab kepada ayah yang menghamilinya apabila ibunya telah dinikahi sebelum melahirkan.

فَيْضُ الْقَدِيْرِ : 3 / 148
وَلَدُ زِنَا لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرَثُ لأِنَّ الشَّرْعَ قَطَعَ اْلوُصْلَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الزَّانِي إِلاَّ مِنْ قِبَلِ أُمِّهِ وَمَاءُ الزِّنَا لاَ حُرْمَةَ لَهُ مُطْلَقًا وَلاَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ التَّحْرِيْمِ وَالتَّوَارُثِ وَنَحْوِهِمَا عِنْدَ الشاَفِعِيَّةِ.

Kitab Faidhu al-Qodir, Juz 3, hlm 148:
“Anak zina tidak bisa mewaris dan tidak bisa diwaris, karena syari’at memutus persambungan antara anak dengan orang yang berzina kecuali dari arah ibunya, dan seperma zina tidak ada kemuliaan sama sekali secara mutlak, dan juga tidak ada keterkaitan dengan sesuatu dari hukum mahrom, waris-mewaris dan sesamanya menurut ulama Syafi’iyah.”

e.    Anak itu bernasab kepada orang yang menikahi apabila:
-       Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, namun suami wajib menafikan anak apabila ia yakin anak itu bukan anaknya, seperti ia tidak pernah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
-       Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia yakin itu anaknya, sebab ia telah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
-       Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia tidak tahu apakah kehamilan istrinya dari pernikahan atau dari perzinahan.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : 1 / 496
(مسألة : ي ش) : نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّناَ فَوَلَدَتْ كَامِلاً كَانَ لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ .... وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَتَثْبُتُ لَهُ اْلأَحْكَامُ إِرْثاً وَغَيْرَهُ ظاَهِراً ، وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ وَأَقَلَّ مِنَ اْلأَرْبَعِ السِّنِيْنَ، وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ،.......  وَإِمَّا لاَ حَقَّ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ كُفْرٌ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ ، أَوِ اسْتَوَى اْلأَمْرَانِ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ إِلَى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ .

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 496:
“Seseorang yang menikahi wanita yang hamil karena zina kemudian wanita itu melahirkan anak yang sempurna, maka ada empat hukum terkait dengannya. Adakalanya anak itu ditemukan (bernasab) dengan orang yang menikahi ibunya serta ditetapkannya beberapa hukum padanya seperti hukum warits dan yang lain, namun secara lahiriah saja, dan wajib baginya (orang yang menikahi) menafikan anak tersebut seperti anak itu lahir diatas enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, serta suami mengetahui atau menduga kuat bahwa anak itu bukan anaknya, sebab ia tidak pernah mengumpuli dan istrinya tidak pernah memasukkan seperma. Dan adakalanya anak itu bernasab serta haram bahkan dosa besar bagi suami menafikannya bila ia menduga kuat bahwa itu anaknya, atau kemungkinan sama (mungkin itu anaknya atau anak hasil zina) seperti anak itu lahir tidak kurang dari enam bulan dan tidak melebihi empat tahun dari dia mengumpuli istrinya.”

f.     Bisa dibenarkan.
اَلمْجْمُوْعُ شَرْحُ اْلمُهَذَّبِ: 17/ 410
وَلَنَا أَنَّهُ يُمْكِنُ اْلاِسْتِعَانَةُ بِالطِّبِّ الشَّرْعِيِّ فِي تَحْلِيْلِ فَصَائِلِ دَمِ كُلٍّ مِنَ الرَّجُلَيْنِ وَالاُمِّ فَإِنْ تَشَابَهَتْ فَصَائِلُ الدَّمِ عِنْدَهُمَا أُخِذَ بِالْقَافَةِ.

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 17, hlm 410:
“Bagi kita: mungkin saja meminta tolong pada doter syari’at untuk menguraikan sendi-sendi darahnya laki-laki dan perempuan juga ibu, apabila terjadi keserupaan diantara sendi-sendi darah di antara laki-laki dan perempuan tersebut maka harus mengambil ketentuan dari para ahli.”

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/321
وَأَمَّا مُجَرَّدُ وُجُوْدِ كِتَابٍ أَوْ كُتُبٍ أَنَّ فُلاَناً ابْنَ عَمٍّ لِأَبَوَيْنِ مَثَلاً فَلَيْسَ بِحُجَّةٍ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا اسْتِحْقَاقُهُ الْإِرْثَ دُوْنَ ابْنِ الْعَمِ الآخَرِ، وَلاَ مُرَجِّحاً مِنْ جَانِبِهِ حَتَّى تَكُوْنَ الْيَمِيْنُ فِي جِهَتِهِ إِذْ يَحْتَمِلُ تَزْوِيْرُهُ، نَعَمْ لَوْ فُرِضَ ذَلِكَ فِي مُصَنَّفٍ اعْتَنَى فِيْهِ صَاحِبُهُ بِحِفْظِ النَّسَبِ، وَاشْتَهَرَ بِكَوْنِهِ ذَا عِلْمٍ بِذَلِكَ وَدِيَانَةٍ وَوَرَعٍ عَنِ التَّكَلُّمِ بِلاَ عِلْمٍ، وَلَمْ يَقَعْ فِيْهِ طَعْنٌ مِنْ مُعْتَبَرٍ، أَفَادَ اْلحَاكِمُ إِمَّا عِلْماً ضَرُوْرِياً أَوْ نَظَرِيّاً أَوْ ظَنّاً غَالِباً، يَجُوْزُ لَهُ اْلاِسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالْحُكْمُ بِعِلْمِهِ بِنَاءً عَلَى الْأَصَحِّ مِنْ جَوَازِهِ فِي غَيْرِ الْحُدُوْدِ، وَحِيْنَئِذٍ لاَ حَاجَةَ إِلَى يَمِيْنِ الْمُدَّعِيْ.

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 321:
“Adapun satu tulisan atau beberapa tulisan seperti “sesungguhnya fulan ibnu ‘am itu tunggal bapak ibu” maka tulisan itu tidak bisa dijadikan pedoman yang berdampak untuk mendapatkan warisan bukan ibnu ‘am yang lain, dan tidak mengunggulkan dari sisinya sehingga ada sumpah dari orang yang bersangkutan, karena bisa jadi  terjadi kesalahan pada tulisan tersebut. Ya, benar, andaikan tulisan tersebut terbukukan dan pemiliknya berpegang pada tulisan tersebut untuk menjaga nasab, dan ia dikenal orang yang mengerti hal itu, yang kuat agamanya dan menjaga dari berbicara dengan tanpa mengetahui, serta tidak ada cacat dalam tulisan tersebut. Sedangkan seorang hakim bisa mengambil keputusan dengan sebab pengetahuan yang pasti atau pandangan serta dugaan yang kuat, maka hakim boleh berpegang dengan tulisan tersebut dan menghukumi sesuai dangan apa yang ia ketahui berpegang pada pendapat ashoh hal diatas diperbolehkan selain urusan had, maka tidak perlu sumpahnya orang yang mendakwa.”

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/ 588
وعبارة س : وَلَنَا وَجْهُ أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْحَاكِمِ إِذَا رَأَى خَطَّهُ بِشَيْءٍ أَنْ يَعْتَمِدَهُ إِذَا وَثَقَ بِخَطِّهِ وَلَمْ تُدَاخِلْهُ رَيْبَةٌ.



Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 588:
“Kami mempunyai suatu pendapat sesungguhnya boleh bagi seorang hakim ketika melihat sebuah tulisan untuk mempercayai tulisan tersebut, bila tulisan itu tidak meragukan dan bisa dipercaya.”

KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE IV
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di PP. Darus Syafa’at Tugu Jaya - Lempuing - OKI
Hari / Tanggal: Sabtu, 8 Januari 2011 M. / 3 Safar 1432 H.
 

1.    Gunung Merapi
Meletusnya gunung merapi menyisakan duka yang mendalam karena memakan banyak korban jiwa lebih dari 100 orang meninggal dunia, penyebab mereka tidak mau mengungsi antara lain, lantaran yakin mereka akan selamat, sebagian karena menunggu bisikan gaib dari penjaga gunung merapi, padahal pemerintah telah memberikan instruksi agar mengungsi, akhirnya mereka gugur diterjang awan panas.  
Pertanyaan:
Kematian mereka apakah termasuk mati syahid ? atau tergolong bunuh diri ?
( PCNU MUBA ) 
Jawab:
Termasuk mati syahid apabila yakin mereka akan selamat, meskipun sikap tersebut mengabaikan instruksi pemerintah yang mengharuskannya untuk mengungsi. Pendapat ini bertentangan dengan al-aujah (pendapat yang lebih unggul) kerena sikap yang diambil mereka tergolong perilaku maksiat (membangkang kepada pemerintah).

أسنى المطالب شرح روضة الطالبين: 22 / 415
قَالَ شَيْخُنَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لِلَّعِبِ بِالْحَيَّاتِ وَمَشْيُ الْبَهْلَوَانِ كَرُكُوبِ الْبَحْرِ إنْ غَلَبَتْ السَّلَامَةُ جَازَ وَإِلَّا حَرُمَ.
Kitab Asna Matholib Syarh Roudhoh al-Tholibin, Juz 22, hlm 415:
“Syaikhuna (Ibnu hajar) telah berkata: selayaknya diperbolehkan bagi seorang untuk bermain ular, bermain sirkus sebagaimana naik perahu didalam laut bila mana dia yakin akan selamat dalam permainan tersebut, namun bila tidak yakin selamat maka hukumnya haram.”
 
تحفة المحتاج في شرح المنهاج: 41 / 32
) قَوْلُهُ وَإِلَّا ) وَمِنْهُ الْبَهْلَوَانُ وَإِذَا مَاتَ يَمُوتُ شَهِيدًا وَقَوْلُهُ حَلَّ

Kitab Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj, Juz 41, hlm 32:
“Termasuk permainan tersebut adalah sirkus, andaikata dia mati karena permainan ini maka matinya adalah mati syahid.”

تخفة المحتاج: 8/ 237
وَالشَّهِيدُ إمَّا شَهِيدُ الْآخِرَةِ فَقَطْ وَهُوَ كُلُّ مَقْتُولٍ ظُلْمًا أَوْ مَيِّتٌ بِنَحْوِ بَطَنٍ كَالْمُسْتَسْقَى وَغَيْرِهِ خِلَافًا لِمَنْ قَيَّدَهُ بِالْأَوَّلِ أَوْ طَعْنٍ أَوْ غَرَقٍ أَوْ غُرْبَةٍ وَإِنْ عَصَى بِرُكُوبِهِ الْبَحْرِ أَوْ بِغُرْبَتِهِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ خِلَافًا لِمَنْ قَيَّدَهَا بِالْإِبَاحَةِ أَوْ طَلْقٍ وَلَوْ مِنْ حَمْلِ زِنًا قِيَاسًا عَلَى ذَلِكَ وَإِنْ اسْتَثْنَى الْحَامِلَ الْمَذْكُورَةَ ، فَأَيُّ فَرْقٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَنْ رَكِبَ الْبَحْرَ لِيَشْرَبَ الْخَمْرَ وَمَنْ سَافَرَ آبِقًا أَوْ نَاشِزَةً ، وَالْأَوْجَهُ فِي ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ : إنْ كَانَ الْمَوْتُ مَعْصِيَةً كَأَنْ تَسَبَّبَتْ فِي إلْقَاءِ الْحَمْلِ فَمَاتَتْ أَوْ رَكِبَ الْبَحْرَ وَسَيَّرَ السَّفِينَةَ فِي وَقْتٍ لَا تَسِيرُ فِيهِ السُّفُنُ فَغَرِقَ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الشَّهَادَةُ لِلْعِصْيَانِ بِالسَّبَبِ الْمُسْتَلْزِمِ لِلْعِصْيَانِ بِالْمُسَبِّبِ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ السَّبَبُ مَعْصِيَةً حَصَلَتْ الشَّهَادَةُ وَإِنْ قَارَنَهَا مَعْصِيَةٌ ؛ لِأَنَّهُ لَا تَلَازُمَ بَيْنَهُمَا
Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Juz 8, hlm 237:
“( قوله او طعن ) Termasuk mati syahid lagi yaitu orang yang mengedap peyakit tho’un, tengelam, hilang, walaupun naik perahu dan hilangnya itu karena maksiat, seperti yang difatwakan oleh Imam Zarkasih.
( قوله والاوجه ) yang lebih aujah dalam permasalahan tersebut ialah sekira diucapkan apabila matinya karena maksiat seperti mati yang disebabkan menggugurkan kandungan, atau mati yang disebabkan naik perahu yang pada umumnya tidak ada yang naik perahu maka mati tersebut tidaklah syahid karena maksiatnya dengan sebab yang mengharuskan bermaksiat pada musabab (yang disebabkan),dan adai kata sababnya itu adalah tidak maksiat maka matinya adalah syahid walapun bersamaan degan maksiat dikarenakan orang tersebut tidak menetap diantara sebab dan musabab."

2.    Gadai Sawah
Dewasa ini sering terjadi istilah mengadaikan sawah dengan contoh Pak ali menggadaikan sawah seluas 1 Ha pada pak joko, karena pak ali hutang Rp.50 juta pada pak joko, dan sudah menjadi kebiasaan selama pak ali belum melunasi hutangnya sawah itu masih di kelola dan diambil hasilnya oleh pak joko.
Pertanyaan
Bolehkah transaksi seperti diskripsi diatas ? kalau tidak boleh bagaimana solusinya ?
( PCNU OKUT )  
Jawab:
Tidak boleh apabila hal tersebut dinyatakan dalam akad, kecuali jika pak Ali (pemilik sawah) mempersilahkan kepada pak Joko untuk menggarap sawahnya.

حاشيتا قليوبي وعميرة: 7/ 359
( وَإِنْ نَفَعَ ) الشَّرْطُ ( الْمُرْتَهِنَ وَضَرَّ الرَّاهِنَ كَشَرْطِ مَنْفَعَتِهِ ) أَيْ الْمَرْهُونِ أَوْ زَوَائِدِهِ ( لِلْمُرْتَهِنِ بَطَلَ الشَّرْطُ ، وَكَذَا الرَّهْنُ فِي الْأَظْهَرِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ تَغْيِيرِ قَضِيَّةِ الْعَقْدِ .

Kitab Hasiyah Qulyubi Wa ‘Amiroh, Juz 7, hlm 359:
“Andai kata syarat itu bermanfat bagi murtahin (orang yang menerima gadai/ orang yang menghutangi) namun merugikan rohin (yang hutang) seperti manfaatnya marhun (barang yang digadaikan) atau perkembaganya marhun yang diperuntukan bagi murtahin maka syarat tersebut hukumnya batal, demikianjuga penggadainya menurut fatwa yang lebih jelas karena disana terdapat perubahan tuntutan akad (teransaksi).”

الفتاوى الفقهية الكبرى:2/ 280
وَسُئِلَ إذَا قُلْتُمْ إنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ في يَدِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا يَسْقُطُ بِذَلِكَ شَيْءٌ من دَيْنِهِ وكان الْمَرْهُونُ مَثَلًا غِرَاسًا وَالْمُرْتَهِنُ يَأْكُلُ ثِمَارَهَا مُدَّةً مَدِيدَةً فَهَلْ لِلرَّاهِنِ مُطَالَبَةُ الْمُرْتَهِنِ بِمَا أَكَلَ من الثِّمَارِ أَمْ لَا فَأَجَابَ إنْ أَبَاحَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ الثِّمَارَ إبَاحَةً صَحِيحَةً لم يَكُنْ له الرُّجُوعُ عليه بِشَيْءٍ

Kitab Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 2, hlm 280:
“( قو له و اجاب ) shohibul fatawi menjawab andai sang rohin memperbolehkan pada murtahin untuk mengambil buah degan kewenagan yang sah maka rohin tidak boleh menutut pada murtahin sedikit pun.”

حاشية الجمل: 12/ 140
( قَوْلُهُ : وَفَسَدَ بِشَرْطِ إلَخْ ) وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلَا فَسَادَ. ا هـ

Kitab Hasyiyah al-Qulyubi, Juz 12, hlm 140:
“Sunguhnya telah diketahui bahwasanya letak kerusakanya itu adalah apabila syarat tersebut terjadi didalam akad, degan demikian apabila diantara rohin dan murtahain saling sepakat untuk mempergunakan marhun sedangkan dalam akad tidak menyebutkan syarat tersebut maka peggadaian tersebut tidaklah rusak.”
 
3.    Qurban
Zaid berkata pada Bakar “kambing ini aku buat Qurban”, perkataan tersebut menurut sebagian Ustadz sudah termasuk Nadzar, meskipun orang yang berkata tersebut tidak tahu kalau perkataan itu sudah menyebabkan Nadzar.
Pertanyaan:
Apakah benar perkataan Zaid kepada Bakar tersebut termasuk Nadzar? Dan apakah juga mencakup Aqiqoh?
(PCNU Banyuasin, PCNU OKUT)
Jawab: Khilaf (berbeda pendapat) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat contoh tersebut di atas sudah termasuk nadzar, dan ada yang mengatakan tidak.

بغية المسترشدين: 1/ 548
(مسألة : ب) : ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ مَنْ قَالَ : هَذِهِ أُضْحِيَةٌ أَوْ هِيَ أُضْحِيَةٌ أَوْ هَدْيٌ تَعَيَّنَتْ وَزَالَ مِلْكُهُ عَنْهَا، وَلَا يَتَصَرَّفُ إِلَّا بِذَبْحِهَا فِي الْوَقْتِ وَتَفْرِقَتِهَا ، وَلَا عِبْرَةَ بِنِيَّتِهِ خِلَافَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ صَرِيْحٌ ، قَالَ الأَذْرَعِيّ: كَلَامُهُمْ ظَاهِرٌ فِي أَنَّهُ إِنْشَاءٌ وَهُوَ بِالْإِقْرَارِ أَشْبَهٌ ، وَاسْتَحْسَنًهُ فِي الْقَلَائِدِ قَالَ : وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ أَنِّي أُرِيْدُ الْتَضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعاً كَمَا هُوَ عُرْفٌ الْنَاسِ الْمُطَّرِدُ فِيْمَا يَأْخُذُوْنَهُ لِذَلِكَ حُمَّلَ عَلَى مَا أَرَادَ ، وَقَدْ أَفْتَى البُلْقِيْنِيّ والْمَرَاغِيّ بِأَنَّهَا لَا تَصِيْرُ مَنْذُوْرَةً بِقَوْلِهِ : هَذِهِ أُضْحِيَتِيْ بِإِضَافَتِهَا إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ : هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلَانٍ

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz I, hlm 548:
“Imam Adro’iy berkata: pendapat para ulama’ telah jelas bahwasanya kalimat tersbut adalah insa’ dimana insa’ tersebut lebih serupa degan ikrar (pengakuan), yang telah dinilai baik oleh shohibul qolaid dan ia berkata begini: dari sana bisa diambil faham bahwasanya andai kata orang yang hendak berkorban tersebut berkata: aku bermaksud berkorban sunnat sebagai mana kebiasan kebanyakan orang yang sudah sering terjadi dalam permasalahan tersebut,maka ucapan tersebut ditangguhkan pada apa yang dikehendaki. Dan Imam Bulqini dan Al-Maroghi berkata seseungguhnya tidaklah menjadi nadzar ucapan seseorang : “ini kurban ku”. Dengan menyandarakan kata kurban kepadanya.
Seperti hukum di atas:  ini adalah aqiqohnya Fulan.
الموسوعة الفقهية: 40/140
وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ مَنْ نَذَرَ فَصَرَّحَ فِي صِيغَتِهِ اللَّفْظِيَّةِ أَوِ الْكِتَابِيَّةِ بِلَفْظِ ( النَّذْرِ ) أَنَّهُ يَنْعَقِدُ نَذْرُهُ بِهَذِهِ الصِّيغَةِ ، وَيَلْزَمُهُ مَا نَذَرَ . وَإِنَّمَا الْخِلاَفُ بَيْنَهُمْ فِي صِيغَةِ النَّذْرِ إِذَا خَلَتْ مِنْ لَفْظِ ( النَّذْرِ ) كَمَنْ قَال : لِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا ، وَلَمْ يَقُل نَذْرًا

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 40, hlm 140:
“Ulama’ tidak khilaf menyikafi orang yang nadzar dan ia menjelaskan kalimat nadzar baik diucapkan atau ditulis, Sungguhnya nadzarnya dengan kalimat tersebut sah, perbedaan para ulama’adalah tentang sighot (kalimat) nadzar ketika perkatan tersebut tidak terdapat kalimat nadzar seperti orang yang berkata : demi allah aku puya kewajiban kepadanya sekian.”

4.    Renovasi Masjid
Setiap renovasi masjid selalu menyisakan material bekas masjid seperti genting, batu bata, kayu dll. Sebagian dari material tersebut ada yang berupa sumbangan, waqofan, dan ada yang di beli dari kas masjid. Material-material tersebut sebagian dimanfaatkan untuk sekolahan, mushola, dan bahkan ada yang digunakan untuk menimbun jalan atau untuk tempat mencuci kaki (jawa; jeding).
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menggunakan bekas material masjid sebagaimana diskripsi diatas ?
(PCNU OKI)
Jawab: Tidak diperbolehkan apabila masih dibutuhkan untuk  masjid tersebut, jika tidak maka digunakan untuk masjid terdekat, jika masjid-masjid tidak lagi membutuhkan maka boleh diginakan untuk pesantren, sumur dll.  

إعانة الطالبين: 3/181
(قوله: وَلَا يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ جِنْسِهِ) أَيْ وَلَا يُعَمَّرُ بِالْنَقْضِ مَا هُوَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْمَسْجِدِ (وقَوْلُهُ كَرِبَاطٍ وبِئْرٍ) تَمْثِيْلٌ لِغَيْرِ جِنْسِ الْمَسْجِدِ وَقَوْلُهً كَالْعَكْسِ هُوَ أَنْ لَا يُعَمَّرَ بِنَقْضِ الْرِبَاطِ وَالْبِئْرِ غَيْرُ الْجِنْسِ كَالْمَسْجِدِ ( قوله إِلَّا إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ ) أَيْ فَإِنَّهُ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ الْجِنْسِ ( قوله وَالَذِي يُتَّجَهُ تَرْجِيْحُهُ الخ ) فِي سِمٍّ مَا نَصَّهُ الَذِي اِعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الْشِهَابُ الْرَمْلِي أَنَّهُ إِنْ تُوُقِّعَ عَوْدُهُ حُفِظَ وإِلَّا صَرَّفَهُ لِأَقْرَبِ الْمَسَاجِدِ وَإِلَّا فَلِلْأَقْرَبِ إِلَى الْوَاقِفِ وإِلَّا فَلِلْفُقَرَاءِ والْمَسَاكِيْنِ أَوْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ

Kitab I’anah al-Tholibin, Juz 3, hlm 181:
“Bahan bekas yang dari masjid tidak boleh dipergunakan untuk memperbaiki bagunan-bagunan selain sejenisnya masjid seperti pondok dan sumur.kecuali bila mana selain jenisnya masjid tersebut tidak lagi membutuhkan. Maka diperbolehkan untuk dipergunakan selain masjid, pendapat yang dikuatkan oleh Syihab Al-Romli bahwasannya, apabila suatu saat diharapkan matrial tersebut digunakan oleh masjid itu maka matrial tersebut harus disimpan, dan bila tidak diharapkan lagi maka dialokasikan pada masjid-masjid terdekat, dan bila juga tidak dibutuhkan maka dialokasikan orang yang terdekat dengan orang yang wakaf, bila dtidak maka diberikan fakir miskin atau untuk kemaslahatan umat Islam.”

5.    Keluarga Berencana ( KB )
Karena pengaruh KB kadang menyebabkan menstruasi seorang wanita tidak teratur, kadang 3 bulan keluar darah terus menerus, kadang 4 bulan tidak keluar sama sekali, bahkan kadang menyebabkan keputihan selama berbulan-bulan.
(PCNU Palembang, PCNU OKI) 

Pertanyaan:
1.    Bagaimana cara penghitungan haidl, suci, dan istihadloh karena keluar darah tidak teratur ?
Jawab: penghitungan haid, suci dan istihadhohnya disesuaikan dengan macamnya musthadhoh yang tujuh.

الاقناع: 1/ 89
اَلْقَوْلُ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ والْمُتَحَيِرَةِ وَلَوْ اِطَّرَدَتْ عَادَةُ اِمْرَأَةٍ بِأَنْ تَحِيْضَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لَمْ يُتْبَعْ ذَلِكَ عَلَى الْاَصَحِّ، لِاَنَّ بَحْثَ اْلَاوَّلِيْنَ أَتَمُّ، وَاحْتِمَالُ عُرُوْضِ دَمِ فَسَادٍ لِلْمَرْأَةِ أَقْرَبُ مِنْ خَرْقِ الْعاَدَةِ الْمُسْتَقِرَّةِ، وَتُسَمَّى الْمُجَاوَزَةِ لِلْخَمْسَةَ عَشَرَ بِالْمُسْتَحَاضَةِ فَيُنْظَرُ فِيْهَا، فَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدِأَةً الخ...
(قوله: وتُسَمَّى المجُاَوَزَةُ) هَذَا أَحَدُ طَرِيْقَيْنِ لِلْفُقَهَاءِ اِنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ خَاصَّةً بِمَنْ جَاوَزَ دَمُهَا اَكْثَرَ الْحَيْضِ وَمَا عَدَاهَا يُقَالُ لَهُ دَمُ فَسَادٍ والطَرِيْقَةُ الثَانِيَةُ أَنَّ الْكُلَّ يُسَمَّى بِالْمُسْتَحَاضَةِ لَكِنْ الَاقْسَامُ السَبْعَةُ اِنَّمَا تَجْرِي فِيْمَنْ جَاوَزَ دَمُهَا اَكْثَرَ الحَيْضِ.

Kitab Al-Iqna’, Juz 1, hlm 89:
“Pendapat tentang mustahadhoh dan mutahayyiroh, apabila seorang wanita mempunyai kebiasaan haid kurang dari sehari semalam atau melebihi 15 hari, maka kebiasaan seperti itu tidak bisa diikuti menurut pendapat ashoh, karena pembahasan ulama’ tempo dulu lebih sempurna, dan kemungkinan rusaknya darah lebih dekat dari pada merusak adat yang telah ditetapkan, Ini adalah salah satu caranya ulama fikih yakni sesungguhnaya mustahadoh itu khusus bagi orang yang darahnya melebihi hitungan maksimal haid dan setiap darah yang keluar dari pada haid tersebut adalah dara yang rusak, darah yang melebihi 15 hari disebut mustahadzoh ………
Cara yang kedua adalah : sesungguhnya sumua itu disebut mustahadhoh akan tetapi bagian wanita mustahadzoh yang tujuh itu dikhususkan pada seseorang yang darahnya melebihi maksimal haid (15 hari 15 malam).

2.    Bagaimana cara bersuci dan sholat serta bagi orang yang keputihan yang kadang keluar terus dan kadang terputus-putus?

Jawab: Cara bersucinya untuk keputihan yang terus menerus keluar yaitu setiap akan melaksanakan shalat wajib berwudlu’ dengan niat: نويت الوضوء لاستباحة الصلاة . serta menyumbat bagian dalam kemaluan yang tidak tampak kecuali dalam keadaan puasa (maka cukup menyumbat bagian luar). Sedangkan keputihan yang putus-putus maka ia harus bersuci dan shalat menunggu ketika tidak keluarnya keputihan jika kebiasaannya berhenti dan waktu berhenti itu cukup untuk melaksanakan shalat dan bersucinya.

حاشيتا قليوبي وعميرة: 2/12
( وَالِاسْتِحَاضَةُ ) وَهِيَ أَنْ يُجَاوِزَ الدَّمُ أَثَرَ الْحَيْضِ وَيَسْتَمِرَّ ( حَدَثٌ دَائِمٌ كَالسَّلَسِ ) أَيْ سَلَسِ الْبَوْلِ ، وَهُوَ أَنْ لَا يَنْقَطِعَ ( فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ ) لِلضَّرُورَةِ ، ( فَتَغْسِلُ الْمُسْتَحَاضَةُ فَرْجَهَا وَتَعْصِبُهُ ) وُجُوبًا بِأَنْ تَشُدَّهُ بَعْدَ حَشْوِهِ مَثَلًا بِخِرْقَةٍ مَشْقُوقَةِ الطَّرَفَيْنِ تُخْرِجُ أَحَدَهُمَا إلَى بَطْنِهَا ، وَالْآخَرَ إلَى صُلْبِهَا ، وَتَرْبِطُهُمَا بِخِرْقَةٍ تَشُدُّهَا عَلَى وَسَطِهَا كَالتِّكَّةِ ، وَإِنْ تَأَذَّتْ بِالشَّدِّ تَرَكَتْهُ ، وَإِنْ كَانَ الدَّمُ قَلِيلًا يَنْدَفِعُ بِالْحَشْوِ فَلَا حَاجَةَ لِلشَّدِّ ، وَإِنْ كَانَتْ صَائِمَةً تَرَكَتْ الْحَشْوَ نَهَارًا وَاقْتَصَرَتْ عَلَى الشَّدِّ فِيهِ . ( وَتَتَوَضَّأُ وَقْتَ الصَّلَاةِ ) كَالْمُتَيَمِّمِ ( وَتُبَادِرُ بِهَا ) تَقْلِيلًا لِلْحَدَثِ ( فَلَوْ أَخَّرْتَ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَسِتْرٍ ، وَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ لَمْ يَضُرَّ وَإِلَّا فَيَضُرُّ عَلَى الصَّحِيحِ ) وَالثَّانِي لَا يَضُرُّ كَالْمُتَيَمِّمِ ( وَيَجِبُ الْوُضُوءُ لِكُلِّ فَرْضٍ ) كَالْمُتَيَمِّمِ لِبَقَاءِ الْحَدَثِ . ( وَكَذَا تَجْدِيدُ الْعِصَابَةِ فِي الْأَصَحِّ ) وَإِنْ لَمْ تَزُلْ عَنْ مَوْضِعِهَا وَلَا ظَهَرَ الدَّمُ جَوَانِبَهَا قِيَاسًا عَلَى تَجْدِيدِ الْوُضُوءِ . وَالثَّانِي لَا يَجِبُ تَجْدِيدُهَا إلَّا إذَا زَالَتْ عَنْ مَوْضِعِهَا زَوَالًا لَهُ وَقْعٌ ، أَوْ ظَهَرَ الدَّمُ بِجَوَانِبِهَا ، وَحَيْثُ قِيلَ بِتَجْدِيدِهَا فَتُجَدِّدُ مَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مِنْ غَسْلِ الْفَرْجِ وَإِبْدَالِ الْقُطْنَةِ الَّتِي بِفَمِهِ . ( وَلَوْ انْقَطَعَ دَمُهَا بَعْدَ الْوُضُوءِ وَلَمْ تَعْتَدْ انْقِطَاعَهُ وَعَوْدَهُ أَوْ اعْتَادَتْ ) ذَلِكَ ( وَوَسِعَ زَمَنُ الِانْقِطَاعِ ) بِحَسَبِ الْعَادَةِ ( وُضُوءًا وَالصَّلَاةَ ) بِأَقَلَّ مَا يُمْكِنُ ( وَجَبَ الْوُضُوءُ ) أَمَّا فِي الْحَالَةِ الْأُولَى فَلِاحْتِمَالِ الشِّفَاءِ ، وَالْأَصْلُ عَدَمُ عَوْدِ الدَّمِ ، وَأَمَّا فِي الثَّانِيَةِ فَلِإِمْكَانِ أَدَاءِ الْعِبَادَةِ مِنْ غَيْرِ مُقَارَنَةِ حَدَثٍ ، فَلَوْ عَادَ الدَّمُ قَبْلَ إمْكَانِ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ فِي الْحَالَتَيْنِ فَوَضْؤُهَا بَاقٍ بِحَالِهِ تُصَلِّي بِهِ ، وَلَوْ لَمْ يَسَعْ زَمَنُ الِانْقِطَاعِ إعَادَةَ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ صَلَّتْ بِوُضُوئِهَا ، فَلَوْ امْتَدَّ الزَّمَنُ بِحَيْثُ يَسَعُ مَا ذُكِرَ وَقَدْ صَلَّتْ بِوُضُوئِهَا تَبَيَّنَ بُطْلَانُ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ .

Kitab Hasiyata Qulyubi Wa ‘Amiroh, Juz 2, hlm 12:
Kesimpulan ta’bir di atas:
Ø  Orang yang istihadoh adalah orang yang mengeluarkan darah melebihi maksimal haid, dan orang tersebut juga dinamakan orang yang selalu hadas/ daimul hadats.
Ø  daimul hadats tetap diwajibkan puasa dan shalat
Ø  cara shalatnya membasuh kemaluan dan menyumbatnya dengan semacam kapas sampai pada tempat yang tidak tampak ketika duduk jongkok, kecuali dalam keadaan puasa maka cukup di luar, berwudu setelah masuk waktu dengan niat seperti di atas dan sekali wudu hanya boleh untuk satu shalat wajib.

6.    Obama
Pada tanggal 10 November Indonesia kedatanga tamu Internasional yaitu presiden Amerika Serikat Barack Obama, pada kunjunganya tersebut Obama dan istriya juga sempat mengujungi masjid Istiqlal yang didampingi oleh Imam besar Masjid Istiqlal KH Mohamad Ali Mustofa Yakub, dan bahkan Obama dan Istrinya memasuki masjid terbesar di Asia Tenggaraa tersebut tanpa melepas alas kakinya (sepatunya).
 (PWNU Sumatera Selatan)
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya memberi izin orang non muslim masuk kedalam Masjid ?

Jawab: boleh asalkan mendapat izin dari orang-orang muslim.

اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَدَّبْ ج :19 ص 437 
قالت الشافعية يَجُوْزُ دُخُوْلُ الْكَافِرِ وَلَوْ غَيْرِ كِتَابِيٍّ الْمَسْجِدَ بِإِذْنِ الْمُسْلِمِ إِلَّا مَسْجِدُ مَكَّةَ وَحَرَمِهَا

Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddab, Juz 19, hlm 437:
“Ulam Syafiiyyah berkata : orang kafir walaupun bukan kitabi dia di perbolehkan masuk masjid atas dasar ijin dari orang muslim kecuali masjid makkah dan masjid-masjid yang ada di wilayahnya tanah haram makkah.”

7.    Ziaroh wali Songo
Akhir-akhir ini marak di beberapa daerah sekelompok jama’ah mengadakan rombongan ziyaroh wali songo, yang sebagian pesertanya adalah para wanita baik yang telah lanjut usia ataupun yang masih muda, baik bersamaan dengan mahromnya ataupun tidak. Dan ketika sampai di tempat makam para wali, ada sebagian jamaah yang mengusap-usap pusaran makam, dan ada yang melambaikan tangannya kearah makam sebelum meninggalkan makam tersebut.
Pertanyaan:
1.    Bagaimana hukumnya wanita ziyaroh wali songo sebagaimana deskripsi diatas ?
Jawab:
Tetap disunnahkan namun tetap dengan menghindari hal-hal yang menimbulkan fitnah.
PCNU Muara Enim

اعانة الطالبين ج : 2 ص : 142
( قوله نَعَمْ يُسَنُّ لهَاَ زِيَارَةُ قَبْرِ النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم ) أَيْ لِأَنَّهَا مِنْ أَعْظَمِ الْقُرْبَاتِ لِلْرِجَالِ والنِسَاءِ

Kitab I’anah al-Tholibin, Juz 2, hlm 147:
Benar, disunnahkan bagi wanita ziarah makam nabi SAW, karena hal itu termasuk paling agungnya ibadah bagi laki-laki dan perempuan.

( وقوله وكذا إلخ ) أَيْ مِثْلُ زِيَارَةِ قَبْرِ النَبِيّ صلى الله عليه وسلم زِيَارَةُ سَائِرِ قَبُوْرُ الأَنْبِيَاءِ والعُلَمَاءِ والأَوْلِيَاءِ فَتُسَنُّ لَهَا

Sebagaimana ziarah makam nabi SAW adalah ziarah makamnya para nabi, ulama dan aulia maka disunnahkan bagi wanita untuk berziarah.

وفي الْتُحْفَةِ مَا نَصُّهُ قَالَ الأَذْرَعِيّ إِنْ صَحَّ أَيْ مَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ فَأَقَارِبُهَا أَوْلَى بِالْصِلَةِ مِنَ الْصَالِحِيْنَ  اهـ


“Dalam kitab al-Tuhfah lafadznya sebagai berikut: berkata Imam al-Adzra’i apablia yang diungkapkan sebaian ulama itu benar maka ziarah kepada kerabatnya seorang wanita lebih diutamakan dari orang-orang shalih.”

2.    Bagaimana pandangan fiqh tentang seseorang yang mengusap-usap pusaran makam atau melambaikan tangan saat akan meninggalkan makam ?

Jawab: Sunnah bila tujuannya mengambil berkah

حاشية الجمل ج : 8 ص : 208
وَيُكْرَهُ أَيْضًا تَقْبِيلُ التَّابُوتِ الَّذِي يُجْعَلُ فَوْقَ الْقَبْرِ كَمَا يُكْرَهُ تَقْبِيلُ الْقَبْرِ وَاسْتِلَامُهُ وَتَقْبِيلُ الْأَعْتَابِ عِنْدَ الدُّخُولِ لِزِيَارَةِ الْأَوْلِيَاءِ نَعَمْ إنْ قَصَدَ بِتَقْبِيلِ أَضْرِحَتِهِمْ التَّبَرُّكَ لَمْ يُكْرَهْ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ا هـ .

Kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 8, hlm 208:
“Dimakruhkan juga mencium peti yang ada diatas pemakaman sebagaimana makruh mencium dan mengusap kuburan, dan makruh mencium gerbang masuk ketika ke pemakaman para wali, ya benar, namun apabila mencium pemakaman para wali mengambil berkah maka tidak dimakruhkan seprti yang di fatwakan oleh al-Walid rahimakumullah.”

8.    Aqiqoh
Sebagaimana kita ketahui bahwa aqiqoh itu sunnah muakkad bagi orang tua untuk anaknya, tapi akhir-akhir ini sering bahkan hampir membudaya ada seorang anak yang mengaqiqohi orang tuanya(sudah wafat tanpa wasiat), lantaran orang tuanya tersebut belum di-aqiqohi.
Pertanyaan:
1.    Bagaimana pahala aqiqohnya bisa sampai pada orang tua yang telah awafat tersebut ?
Jawab: Dengan cara meniatkan aqiqoh tersebut pahalanya diperuntukkan pada dua orang tua.
PCNU OKUT

نهاية الزين ج : 1 ص : 193
قال المُحِبُّ الطَبَرِيّ فِي شَرْحِ الْتَنْبِيْهِ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ عِبَادَةٍ تُفْعَلُ عَنْهُ وَاجِبَةٌ أَوْ مَنْدُوْبَةٌ وقَالَ اِبْنُ حَجَرٍ نَقَلَا عَنْ شَرْحِ الْمُخْتَارِ مَذْهَبُ أَهْلِ الْسُنَّةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابُ عَمَلِهِ وَصَلَاتِهِ لِلْمَيِّتِ وَيَصِلُهُ اهـ

Kitab Nihayatu al-Zain, Juz 1, hlm 193:
Berkata Imam muhib al-Thobari di dalam syarah kitab al-Tambih “setiap ibadah yang dikerjakan untuk mayit baik ibadah wajib atau sunnah maka pahalanya akan sampai pada mayit”. Imam Ibnu Hajar berkata mengambil dari syarah al-Mukhtar madzhabnya ahli sunnah “sesungguhnya bagi manusia dianjurkan untuk menjadikan pahala amal dan shalatnya pada mayit, maka akan sampai”.



TAMBAHAN-TAMBAHAN

1.    HUKUM MENCIUM TANGAN KIYAI
Tradisi dihampir seluruh pesantren, para santri biasanya saat bersalaman dengan kyai atau ustadz dengan cara mencium tangan.
Pertanyaan :
Adakah keterangan yang mensunahkan tradisi di atas?

Jawaban :
Ada, dan memang disunahkan mencium tangan orang yang zahid, mu’allim dan orang yang lebih tua umurnya.

بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : 1 / 638
يُسَنُّ عِنْدَ الشَّافِعِيّ تَقْبِيْلُ نَحْوِ يَدِ الزَّاهِدِ وَالشَّرِيْفِ وَاْلعَالِمِ وَالْكَبِيْرِ فِي السِّنِّ وَالطِّفْلِ الَّذِي لاَ يُشْتَهَى وَلَوْ لِغَيْرِ شَفَقَةٍ وَرَحْمَةٍ، وَوَجْهِ صَاحِبِ قَدَمٍ مِنْ سَفَرٍ.

2.    ADZAN DAN IQOMAH SAAT MENGUBUR MAYIT
Sebagian daerah ketika akan menimbun mayat saat penguburan terlebih dahulu azan dan iqomat, dan sebagian daerah ada yang menganggap bahwa hal tersebut sesuatu yang tidak disyariatkan.
Pertanyaan:
Bagaiman hukumnya azan dan iqomat saat penguburan mayat?

Jawaban:
Terjadi perbedaan pendapat di antara ulama’. Menurut suatu pendapat hukumnya sunah.


اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 1 / 268
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ الْاَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِنِسْبَتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا.
الفَتَاوَى الْكُبْرَى : 2 / 17
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ ما حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ....... فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ لَا أَعْلَمُ في ذلك خَبَرًا وَلَا أَثَرًا إلَّا شيئا يُحْكَى عن بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُ قال لَعَلَّهُ مَقِيسٌ على اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ في أُذُنِ الْمَوْلُودِ وَكَأَنَّهُ يقول الْوِلَادَةُ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا آخِرُ الْخُرُوجِ منها.


3.    SHOLAT SUNNAH QOBLIAH JUM’AT
Kami melihat di sebagian jamaah masjid saat akan melakukan salat jum’at, ada yang serempak melakukan salat sunah qobliah jum’at, ada masjid yang sebagian jamaahnya melakukan salat qobliah ada yang tidak, kata mereka salat sunah qobliah jum’at tidak disunnahkan.
Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya melakukan salat qobliah jum’at ?

Jawaban :
Hukumnya sunah.





الاِقْنَاعُ : 1 / 175
وَالْجُمْعَةُ كَالظُّهْرِ فِيْمَا مَرَّ فَيُصَلِّي قَبْلَهَا أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا لِخَبَرِ مُسْلِمٍ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا وَخَبَرِ التِّرْمِذِيّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمْعَةِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا.

4.    MELAKUKAN SHOLAT TASBIH, DHUHA DENGAN BERJAMA’AH
Sebagian jama’ah Tarekat saat melakukan salat Tasbih dan duha dilaksanakan dengan berjamaah, setahu kami salat tasbih dan duha bukan termasuk saalat sunah yang di sunahkan untuk berjamaah.
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya melaksanakan salat tasbih dan dhuha dengan berjamaah?
Jawaban :
Hukumnya boleh dan tidak makruh, bahkan mendapatkan pahala apabila tujuannya untuk mendorong jamaahnya agar melaksanakan salat sunah tersebut.

بغية المسترشدين : 1 / 136
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِي نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ، وأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ الإِسْرَارِ الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ الإِبَاحَةِ، وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قَصَدَ بِهَا اْلقُرْبَةَ كَالتَّقَوِّي بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ.

5.    ORANG-ORANG YANG BEBAS DARI PERTANYAAN KUBUR
Ditempat kami ketika ada orang yang wafat orang yang sudah baligh, maka tokoh masyarakatya melakukan talqin mayat setelah penguburan. Namun bila yang meninggal dunia anak kecil maka tidak di talqin, kata tokoh tersebut anak kecil tidak akan menerima pertanyaan kubur.
Pertanyaan :
Benarkah pernyataan tokoh Masyarakat tersebut ?

Jawaban :
Ya benar, anak kecil yang belum baligh, orang yang mati syahid, orang gila dari kecil mereka tidak akan menerima pertanyaan kubur.

حاشيتا قليوبى و عميرة : 5 / 14
( فَرْعٌ ) لَا يُسْأَلُ غَيْرُ بَالِغٍ وَلَا شَهِيدٌ وَلَا نَبِيٌّ وَلَا مَجْنُونٌ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيفٌ، وَغَيْرُ هَؤُلَاءِ يُسْأَلُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ .

6.    SUNAH KIRIM SALAM KEPADA ORANG LAIN
Kebiasaan saat seseorang permisi mau pulang sehabis silaturrahim, tuan rumah menitipkan salam pada orang yang dia kenal.
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menitip dan menyampaikan salam?
Jawaban:
Hukum menitip salam adalah sunah sedangkan menyampaikannya adalah wajib apabila yang dititipi mau menerima amanah itu.

فتح المعين - (ج 4 / ص 215(
فُرُوْعٌ: يُسَنُّ إرْسَالُ السَّلاَمِ لِلْغَائِبِ وَيَلْزَمُ الرَّسُوْلُ التَّبْلِيْغَ لأَنَّهُ أَمَانَةٌ وَيَجِبُ أَدَاؤُهَا. وَمَحَلُهُ مَا إذَا رَضِيَ بِتَحَمُّلِ تِلْكَ الْاَمَانَةِ. أَمَّا لَوْ رَدَّهَا فَلاَ وَكَذَا إنَ سَكَتَ.

7.    MEMBERIKAN ZAKAT PADA ANAK ATAU KERABAT DEKAT
pak Joko panen besar, sawah yang ia garap menghasilkan kurang lebih 20 ton, namun ketika pak joko menunaikan zakat dari sawah tersebut, zakat itu diberikan pada kerabat dekatnya, bahkan sebagian diberikan kepada anaknya yang miskin yang sudah berkeluarga.
Pertanyaan :
Bagaimanakah hukumnya memberikan zakat kepada kerabat atau anak sendiri?
Jawaban :
Boleh, bahkan dianjurkan apabila kerabat atau anak tersebut termasuk orang yang tidak wajib dia beri nafkah atau orang yang wajib diberi nafkah namun pemberian zakat pada kerabat atau anak tersebut atas nama selain fakir miskin seperti atas nama orang yang memiliki hutang.



بغية المسترشدين - ج 1 / ص 219
)مَسْأَلَةُ : ب ك(: يَجُوْزُ دَفْعُ زَكَاتِهِ لِوَلَدِهِ الْمُكَلَّفِ بِشَرْطِهِ إِذْ لاَ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَِلإِتْمَامِهَا عَلَى الرَّاجِحِ ، وَإِنْ كَانَ فَقِيْراً ذَاعِيْلَةٍ ، وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ تَبَرُعاً ، بِخِلاَفِ مَنْ لاَ يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَصَبِيٍّ وَعَاجِزٍ عَنْ الْكَسْبِ بِمَرَضٍ أَوْ زَمَانَةٍ أَوْ عَمَى لِوُجُوْبِ نَفَقَتِهِ عَلَى الْوَالِدِ ، فَلاَيُعْطِيْهِ الْمُنْفِقُ قَطْعاً وَلاَ غَيْرَهُ عَلَى الرَّاجِحِ ، حَيْثُ كَفَتَهُ نَفَقَةُ الْمُنْفِقِ ، وَإِلَّا كَأَكُوْلِ لَمْ يَكْفِهِ مَا يُعْطُاهُ فَيَجُوْزُ أَخْذُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ فِي ذَلِكَ الزَّوْجَةُ ، وَكَالزَّكَاةِ كُلِ وَاجِبٍ كَالْكَفَارَةِ ، زَادَ ب : نَعَمْ إِنْ َتعَذَرَ أَخْذُهَا مِنْ الْمُنْفِقِ بِمَنْعٍ أَوْ إِعْسَارٍ أَوْ غِيْبَةٍ وَلَمْ يَتْرُكْ مُنْفِقاً وَلاَ مَالاً يُمْكِنُ التَّوَصُلُ إِلَيْهِ ، وَعَجَزَتْ الزَّوْجَةُ عَن ِالاِقْتِرَاضِ أَعْطَي كِفَايَتِهِ أَوْ تَمَامِهَا ، أَمَّا إِذَا لَمْ تَطَالِبْهُ الزَّوْجَةُ بِهَا مَعَ قُدْرَتِهَا عَلىَ التَّوَصُلِ مِنْهُ كَأَنْ سَامَحَتْهُ بِلَا مُوْجِبٍ فَلاَ تُعْطَى ِلاسْتِغْنَائِهَا بِهَا حِيْنَئِذٍ كَكُسُوْبِ تَرْكِ الْلاَئِقِ بِهِ مِنْ غَيِرِ عُذْرٍ ، وِكَنَاشِزَةٍ لِقُدْرَتِهَا عَلَيْهَا حَالاً بِالْطَاعَةِ ، وَلِلزَّوْجَةِ إِعْطَاءُ زَوْجِهَا مِنْ زَكَاتِهَا وَعَكْسِهِ بِشَرْطِهِ ، وَيَجُوْزُ تَخْصِيْصُ نَحْوِ قَرِيْبٍ بَلْ يُسَنُّ، إِذْ لاَ تَجِبُ التَّسْوِيَّةُ بَيْنَ آحَادِ الصِّنْفِ بِخِلاَفِهَا بَيْنَ الْأَصْنَافِ.

8.    FADHILAH SURAT YASIN
بغية المسترشدين : 1 / 634
فَائِدَةٌ : قَالَ الْحُبَيْشِي فِي كِتاَبِ الْبَرَكَةِ : مَنْ قَرَأَ يس أَرْبَعَ مَرَّاتٍ لاَ يَفْرِقُ بَيْنَهَا بِكَلَامٍ فِي مَوْضِعِ نَظِيْفِ خَالٍ ، ثُمَّ قَالَ ثَلاَثاً : سُبْحَانَ الْمُنَفِّسِ عَنْ كُلِّ مُدْيُوْنٍ ، سُبْحَانَ الْمُفَرِّجِ عَنْ كُلِّ مَحْزُوْنٍ ، سُبْحَانَ مَنْ أَمَرَهُ بَيْنَ الْكَافِ وَالنُّوْنِ ، سُبْحَانَ مَنْ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ ، يَا مُفَرِّجَ الْهُمُوْمِ ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ ، صَلَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَافْعَلْ لِي كَذَا وَكَذَا ، قَضِيَتْ حَاجَتُهُ مُجَرَّبٌ اهـ.

9.    MENGQODHO’ ROMADLON DENGAN PUASA SUNNAH
Sudah menjadi qodrat seorang wanita, hampir pasti setiap bulan mengalami menstruasi termasuk di bulan romadlon sehingga tidak bisa menjalankan puasa. Dan untuk menghemat waktu dia mengqodlo’ romadlon dibarengkan dengan puasa sunnah seperti puasa Syawal.
Pertanyaan : bolehkah mengqodlo’ puasa romadlon dibarengkan dengan puasa sunnah?

Jawab : Khilaf menurut imam ibnu hajar boleh dan kedua-duanya mendapatkan pahala bila kedua-duanya diniati, bahkan menurut imam romli menqodlo’ romadlon pada hari yang disunnahkan untuk puasa, walaupun puasa sunnahnya tidak diniati maka akan tetap mendapat pahala.

بغية المسترشدين 113
(مسألة : ك) : ظاهر حديث : "وأتبعه ستاً من شوّال" وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان ، لكن صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء ، بل رجح (م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها ، ما لم يصرفه عنها صارف ، كأن قضى رمضان في شوّال ، وقصد قضاء الست من ذي القعدة ، ويسنّ صوم الست وإن أفطر رمضان اهـ. قلت : واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا نواهما معاً ، كما لو نوى الظهر وسنتها ، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن عليه قضاء رمضان مطلقاً.

10.    MENGHADAP KIBLAT KETIKA SHALAT
Permasalahan yang baru-baru ini muncul di kalangan masyarakat kita adalah tentang kewajiban menghadap Qiblat, terkhusus bagi orang yang tidak bisa melihat Ka’bah, apakah cukup hanya ke arah (Jihah) dari Ka’bah itu, ataukah harus dengan perhitungan yang pasti dan tepat mengarah kepada Ka’bah yang berada di tengah al-Masjid al-Haram?
Jawaban: 
Khilaf menurut pendapat kedua. Kewajiban bagi orang yang tidak bisa melihat Qiblat hanya sebatas menghadap ke arah (jihah) Ka’bah, bahkan Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi orang yang jauh dari Ka’bah bisa menghadap ke Bangunan Ka’bah (‘ainul Ka’bah) secara tepat, karena bentuknya yang sangat kecil dibandingkan luasnya bumi. Pendapat ini banyak didukung oleh kalangan Syafi’iyyah dan dianggap pendapat yang kuat.

بغية المسترشدين, ص: 78 (الكتبة الشاملة)
الرَّاجِحُ أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنِ اسْتِقْبَالِ عَيْنِ الْقِبْلَةِ، وَلَوْ لِمَنْ هُوَ خَارِجُ مَكَّةَ فَلاَ بُدَّ مِنِ انْحِرَافٍ يَسِيْرٍ مَعَ طُوْلِ الصَّفِّ، بِحَيْثُ يَرَى نَفْسَهُ مُسَامِتاً لهَاَ ظَنّاً مَعَ الْبُعْدِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكْفِي اسْتِقْبَالِ الْجِهَةِ، أَيْ إِحْدَى الْجِهَاتِ اْلأَرْبَعِ الَّتِي فِيْهَا الْكَعْبَةُ لِمَنْ بَعُدَ عَنْهَا وَهُوَ قَوِيٌّ، اِخْتَارَهُ الْغَزَالِيّ وَصَحَّحَهُ الْجُرْجَانِيّ وَابْنُ كَجٍّ وَابْنُ أَبِي عَصْرُوْنَ، وَجَزَمَ بِهِ الْمَحَلِّي ، قَالَ اْلأَذْرَعِيّ: وَذَكَرَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ أَنَّهُ الْجَدِيْدُ وَهُوَ الْمُخْتَارُ لأَنَّ جِرْمَهَا صَغِيْرٌ يَسْتَحِيْلُ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ أَهْلُ الدُّنْيَا فَيُكْتَفَى بِالْجِهَةِ، وَلِهَذَا صَحَّتْ صَلاَةُ الصَّفِّ الطَّوِيْلِ إِذَا بَعُدُوْا عَنِ اْلكَعْبَةِ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ بَعْضَهُمْ خَارِجُوْنَ مِنْ مُحَاذَاةِ الْعَيْنِ، وَهَذَا الْقَوْلُ يُوَافِقُ الْمَنْقُوْلَ عَنْ أَبِي حَنِيْفَةَ وَهُوَ أَنَّ الْمَشْرِقَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْمَغْرِبِ وَبِالْعَكْسِ، وَالْجَنُوْبَ قِبْلَةُ أَهْلِ الشِّمَالِ وَبِالْعَكْسِ، وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدَ قِبَلَةُ أَهْلِ مَكَّةَ، وَمَكَّةَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمَ قِبْلَةُ أَهْلِ الدُّنْيَا.

احياء علوم الدين للغزالي: 2/288
فَإِذَا فَهِمَ مَعْنَى الْعَيْنِ وَالْجِهَةِ فَأَقُوْلُ: الَّذِي يَصِحُّ عِنْدَنَا فِي الْفَتْوَى أَنَّ الْمَطْلُوْبَ الْعَيْنُ إِنْ كَانَتِ الْكَعْبَةُ بِمَا يُمْكِنُ رُؤْيَتُهَا، وَإِنْ كَانَ يَحْتَاجُ إِلَى اْلاِسْتِدْلاَلِ عَلَيْهَا لِتَعَذُّرِ رُؤْيَتِهَا فَيَكْفِي اسْتِقْباَلِ الْجِهَةِ. فَأَمَّا طَلَبُ الْعَيْنِ عِنْدَ الْمُشَاهَدَةِ فَمُجْمَعٌ عَلَيْهِ. وَأَمَّا اْلاِكْتِفَاءُ باِلْجِهَةِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْمُعَايَنَةِ فَيَدُلُّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَةُ وَفِعْلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَاْلقِيَاسُ..وَأَمَّا الْقِيَاسُ: فَهُوَ أَنَّ الْحَاجَةَ تَمُسُّ إِلَى الْاِسْتِقْبَالِ وَبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ في جَمِيْعِ أَقْطَارِ اْلاَرْضِ، وَلاَ يُمْكِنُ مُقَابَلَةُ اْلعَيْنِ إِلاَّ بِعُلُوْمِ هَنْدَسِيَّةٍ لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ باِلنَّظَرِ فِيْهَا بَلْ رُبَمَا يُزْجَرُ عَنْ التَعَمُّقِ فِي عِلْمِهَا فَكَيْفَ يُنْبَنىَ أَمْرُ الشَّرْعِ عَلَيْهَا؟ فَيَجِبُ اْلاِكْتِفَاءُ بِالْجِهَةِ لِلضَّرُوْرَةِ.



SUSUNAN KEPENGURUSAN
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL PWNU SUMATERA SELATAN
TAHUN 2010-2015
 

PELINDUNG                      : Rois Syuriah PWNU Sumatera Selatan
Ketua PWNU Sumatera Selatan

PENASEHAT                      : K.H. Dimyati Dahlan                                                      
K.H. Afandi
Drs. KH. Sanusi Goloman Nasution, M.H.I
K.H. Abdul Hadi CA.
K.H. Mu'atto' Zuhdi
K.H. Junaidi Sanusi

KETUA                                 : Ust. Nur Salim Habibi, S.Pd.I

WAKIL KETUA                : K.H. Masluk Arrodhi                        (OKI)
  K. Syukron Makmun                        (OKU Timur)
                                     K. Imron Abha                                   (MUBA)
  K. Marsyidi                                         (Muara Enim)

SEKRETARIS                    : Ust. H.M. Ubaidillah Luai Adm., M.H.I
                                     Ust. Ahmad Khusaini
                                     Ust. Abu Darda’
                                     Ust. Ahmad Jaelani

ANGGOTA                          : K.H. Thobroni Hanani                          (OKU Timur)  
Ust. H.M. Syarif Chumas Asy.            (Banyuasin)    
K. Tajun Anwari                                     (OKI)
Ust. Abdullah Yazid Tamimi               (Palembang)
Ust. M. Syahrul Mubarok, S.Th.I        (Banyuasin)    
K. Utsman                                               (Musi Rawas)  Ust. Qusyairi Abror                                  (Ogan Ilir)
K. Anas Rifa’i                                         (MUBA)
Ust. Dawam Shohih                               (OKU Timur)
Ust. Hidayat Subroto, S.Pd.I                (OKI)
Ust. Ahmad Al-Rembanie

 [T1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Talak Saat Main Sinetron

Ucapan talak yang diucapkan suami ketika sepasang suami istri yang berperan sebagai pemain sinetron apakah tetap sah ? Jawaban : Tidak...