KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL I
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di PP. Nurul
Huda Ds. Sukaraja Kec. Buay Madang OKU Timur.
Tanggal 29 Mei
2010 / 16 Jumadil Akhir 1431 H.
1. Dalam rangka untuk mempermudah jama'ah dan memperlancar dalam
melontar jumroh pada hari Tasyriq, banyak di antara jama'ah haji yang
selama melempar jumroh melakukannya pada tengah malam sebelum fajar, padahal
dalam kitab-kitab Fiqh Syafi'iyah dijelaskan bahwa waktu pelemparan jumroh
tersebut adalah setelah zawal (turunnya matahari ke arah barat).
Pertanyaan:
(Dari: PWNU Sumatera Selatan)
Jawaban: Pelemparan jumroh pada tengah malam tidak sah, kecuali jika pelemparan pada
malam hari itu adalah sebagai ganti dari pelemparan siang hari sebelumnya.
Namun pendapat Imam Rofi’i yang dikuatkan oleh Imam Isnawi memperbolehkan
pelemparan jumroh tersebut mulai terbitnya fajar.
مَذْهَبُ اْلإمَامِ
الشَّافِعِيّ فِي الْعِبَادَاتِ وَأَدِلَّتُهَا: ص. 514
وَيَدْخُلُ وَقْتُ رَمْيِ كُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَيَّامِ
التَّشْرِيْقِ بِزَوَالِ شمَسِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ، وَالْاَفْضَلُ فِعْلُهُ قَبْلَ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِنِ اتَّسَعَ اْلوَقْتُ لِلصَّلاَةِ.
وَقَالَ الْكُرْدِيُّ نَقْلاً عَنِ التُّحْفَةِ: وَجَزَمَ الرَّافِعِيُّ
بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ وَإِنِ اعْتَمَدَ اْلإِسْنَوِيُّ
وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوْفُ مَذْهَبًا. وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِيْ جَوَازُهُ
مِنَ اْلفَجْرِ. وَنَقَلَ السَّيِّدُ عَلَوِيّ: هَذِهِ الْعِبَارَةُ عَنِ
التُّحْفَةِ.
Kitab Mazhab al-Imam al-Syafi’i Fi al-Ibadat Wa Adillatuh, hlm. 514:
“Masuknya
waktu melempar Jumroh pada hari Tasyriq, menurut pendapat mu’tamad, dimulai pada saat zawal al-syamsi
(condongnya/miringya matahari ke arah barat). Namun yang paling utama adalah
melakukannya sebelum shalat dzuhur jika waktunya masih mencukupi untuk sholat. Dengan mengutip dari kitab al-Tukhfah,
Al-Kurdi berkomentar bahwa Imam al-Rofi’i memperbolehkan melakukannya sebelum zawal
al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, Al-Isnawi tetap
berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan
mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, jika melihat pendapat terakhir ini,
maka selayaknya juga diperbolehkan melakukannya mulai dari munculnya fajar.
Menurut Sayyid ‘Alawi, pendapat ini bersumber dari kitab al-Tukhfah.”
حَوَاشِي الشَّرْوَانِيّ
عَلَى تُحْفَةِ الْمُحْتَاجِ
: 4/ 155-156، مكتبة دار الفكر.
(
وَإِذَا ) ( تَرَكَ رَمْيَ )، أَوْ بَعْضَ رَمْيِ ( يَوْمٍ ) لِلنَّحْرِ، أَوْ مَا
بَعْدَهُ عَمْدًا، أَوْ غَيْرَهُ ( تَدَارَكَهُ فِي بَاقِي الْأَيَّامِ )
وَيَكُونُ أَدَاءً (فِي الْأَظْهَرِ) .... وَجَزْمُ الرَّافِعِيِّ بِجَوَازِهِ
قَبْلَ الزَّوَالِ كَالْإِمَامِ ضَعِيفٌ، وَإِنْ اعْتَمَدَهُ الْإِسْنَوِيُّ
وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوفُ مَذْهَبًا وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِي جَوَازُهُ مِنْ
الْفَجْرِ نَظِيرَ مَا مَرَّ فِي غُسْلِهِ .
Kitab Hawasyi al-Syarwani ala Tukhfah al-Muhtaj, Juz 4, hlm. 155-156:
“Melempar
jumroh pada hari nahr (10 Dzulhijjah) atau hari-hari setelahnya, jika
ditinggalkan boleh disusul atau diganti pada hari berikutnya, dan menurut Qaul
Adzhar tetap dihukumi ada’ (tepat waktunya)…..
Imam
al-Rofi’i memperbolehkan melempar jumroh pada hari Tasyriq sebelum zawal
al-sayamsi. Meskipun pendapat ini lemah, al-Isnawi tetap
berpedoman kepadanya dan menganggap pendapat inilah yang populer di kalangan
mazhab syafi’iyyah. Dengan demikian, selayaknya juga diperbolehkan
melakukannya mulai dari munculnya fajar, karena disamakan dengan kesunahan
mandi pada hari itu.”
حَاشِيَةُ
الْعَلاَمَةِ
ابْنِ
حَجَرٍ
الهَيْتَمِيّ
عَلَى
شَرْحِ
اْلإيْضَاحِ
فِيْ مَنَاسِكِ اْلحَجِّ: 405
لاَ
يَصِحُّ الرَّمْيُ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ اِلاَّ بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ
وَيَبْقَى وَقْتُهُ إِلَى غُرُوْبِهَا وَقِيْلَ يَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ,
وَاْلاَوَّلُ أَصَحُّ.
Kitab Hasyiyah
al-Allamah Ibn Hajr al-Haitami ‘Ala Syarh al-Idhah Fi Manasik al-Hajj, hlm. 405:
“Melempar
jumroh pada hari tasyriq hanya sah jika dilakukan setelah zawal al-syamsi,
dan berakhir sampai terbenamnya matahari. Ada yang mengatakan bahwa waktunya
berakhir sampai munculnya fajar hari berikutnya. Pendapat pertamalah yang
paling shahih.”
2.
Banyak
sekali tradisi atau praktek pelaksanaan perawatan mayit/jenazah yang di antara
satu daerah dengan daerah lain tidak sama, seperti mewudlu’kan mayit, ada yang dilakukan setelah memandikan mayit,
ada yang dilakukan sebelum memandikan. Begitu juga dalam memposisikan kepala
mayit, ada yang membedakan antara mayit laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan:
Sebenarnya bagaimana praktek yang
benar menurut pandangan Ulama Fiqh?
(Dari: PCNU Banyuasin)
Jawaban: Adapun dalam mewudhukan mayit disunnahkan untuk dilakukan
sebelum memandikan, namun jika tidak dilakukan sebelumnya maka tetap disunnahkan untuk
mewudlu’kannya setelah memandikan. Sedangkan untuk
posisi kepala mayit ketika disholati; kepala mayit
laki-laki berada disebelah kiri orang yang mensholati, dan kepala mayit perempuan disebelah kanan orang yang mensholati.
اَلْفِقْهُ اْلإسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/251
اِتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ عَلَى
أَنَّ اْلغَاسِلَ يُوَضِّئُ الْمَيِّتَ غَيْرَ الصَّغِيْرِ كَالْحَيِّ بَعْدَ
إِزَالَةِ مَا بِهِ مِنْ نَجْسٍ أَوْ وَسْخٍ، بِالسِّدْرِ أَوِ الصَّابُوْنِ، وَغَسَلَ
سَوْأَتَيْهِ بِخِرْقَةٍ، لَكِنْ بِدُوْنِ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ عِنْدَ
الْحَنَفْيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ لِلْحَرَجِ، ِلأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ اْلمَاءُ فِي
اْلفَمِ وَاْلأَنْفِ، فَوَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ حَرَّكَ النَّجَاسَةَ. وَبِهِمَا
قَلِيْلاً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ بِأَنْ يَضَعَ اْلغَاسِلُ
اْلماَءَ فِي فَمِهِ عِنْدَ إِمَالَةِ رَأْسِهِ. فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ جُنُبًا
أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ، فُعِلاَ اِتِّفَاقًا، تَتْمِيْمًا لِلطَّهَارَةِ.
وَعَلَى هَذَا فَيُبْدَأُ باِلْوُضُوْءِ فيِ غُسْلِ الْمَيِّتِ.
Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 3, hlm. 251:
“Para
Imam Mazhab sepakat bahwa mewudlu’kan mayit selain mayit anak kecil dilakukan
seperti halnya orang yang hidup setelah membersihkan kotoran dan najis dengan
air sabun dan dedaunan. Kemudian kubul dan duburnya dibersihkan dengan kain,
namun menurut Hanafiah dan Hanabilah tidak perlu
mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidung mayit, karena air yang masuk ke
mulut dan hidung akan menyebabkan bergeraknya najis. Sedangkan menurut Malikiyah
dan Syafi’iyyah boleh saja dengan
sedikit
memasukkan air di mulut mayit ketika menundukkan kepalanya. Dan jika mayit
tersebut dalam kondisi junub, haid atau nifas maka secara sepakat perlu
berkumur dan memasukkan air ke hidung mayit untuk menyempurnakan bersucinya.
Dengan demikian, mewudlu’kan mayit dilakukan sebelum memandikannya.”
فَتْحُ اْلمُعِيْنِ : 94
وَلَوْ
تَوَضَّأَ أَثْناَءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ،
لَكِنِ
اْلاَفْضَلُ
تَقْدِيْمُهُ،
وَيُكْرَهُ
تَرْكُهُ.
Kitab Fath al-Mu’in, hlm. 94:
“Jika
berwudlu’ dilakukan di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, maka tetap mendapat
kesunnahan, tetapi yang paling utama adalah mendahulukan wudlu atas mandi, dan
makruh jika ditinggalkan.”
اَلْبُجَيْرَمِيُّ
عَلَى
الْخَطِيْبِ
: 6/97
قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ
الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ
يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى
وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا
لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا
عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .
Kitab Al-Bujairimi ala al-Khatib, Juz 6, hlm. 97:
“Ketika
shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga
mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal
ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan
atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di
sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”
3.
Dewasa
ini muncul kesimpangsiuran di tengah masyarakat, ada yang mengatakan bahwa
karet, sawit, dan usaha sarang wallet adalah sesuatu
yang harus dizakati, dan ada yang mengatakan tidak. Dalam
pelaksanaanya
pun prosentasenya tidak
sama, ada yang mengeluarkan 2,5 %, dan ada yang menyamakan dengan zakatnya tanaman.
Pertanyaan:
a.
Wajibkah
karet, sawit, dan wallet dizakati ?
b.
Jika
wajib berapa persen dan bagaimana cara pengeluarannya?
( Dari: PCNU OKI )
Jawaban:
a. Untuk karet dan sawit wajib dizakati menurut Madzhab Abu Hanifah.
Sedangkan untuk usaha walet tidak wajib dizakati, kecuali apabila uang yang berlaku
dianggap sama seperti emas atau perak (mata uang rupiah dijadikan sebagai alat
transaksi yang senilai dengan emas atau perak) maka hasil penjualan walet, atau
karet dan sawit wajib dizakati sebagaimana zakat emas atau perak.
إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ
حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan:
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu
wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu
Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.”
اَلْمَوْسُوْعَةُ
الْفِقْهِيَّةِ: 2 / 13459
المكتبة الشاملة
وَاتَّّفَقَ
الْجَمِيْعُ
عَلَى
جَرْيَانِ
الرِّبَا
فِي
الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ ,
وَمَا
يَحِلُّ
مَحَلَّهُمَا
مِنَ
اْلأَوْرَاقِ
النَّّقْدِيَّةِ
عَلَى
الصَّحِيْحِ.
Kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz 2, hlm.
13459:
“Semua
ulama sepakat bahwa perbuatan riba bisa masuk ke dalam sistem pertukaran
emas dan perak serta barang yang statusnya disamakan dengan emas dan perak
seperti uang kertas. Hal ini berdasarkan pendapat yang shahih.”
b. Cara pengeluarannya; untuk karet dan
sawit wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen sebagaimana zakat tanaman, hanya
saja Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan nishob, sehingga berapapun hasilnya
wajib dikeluarkan zakatnya seperti persentase zakat tanaman. Sedangkan hasil dari usaha walet, apabila uang rupiah -yang diperoleh dari
penjualan-dianggap sama seperti emas dan perak, maka nishob dan cara pengeluaran zakatnya sebagaimana
zakatnya emas dan perak. Hanya saja boleh zakat itu dikeluarkan setiap waktu
memanen sarang walet asalkan sudah mencapai satu nishob. Hal ini disebut
sebagai ta’jil al-zakat qabl al-haul (mempercepat pengeluaran zakat
sebelum masa setahun).
إِثْمِدُ الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ : أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ
حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ
حَطَبًا أَوْ قَصَبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ يَعْتَبِرُ نِصَابًا
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan:
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu
wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu
Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini.
رَوْضَةُ
الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ
جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى
اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ
أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ.
ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ
يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ
النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ اْلعَيْنِيَّةِ.
Kitab Raudhah al-Thalibin, Juz 1, hlm. 219:
Mempercepat
(ta’jil) dalam pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut
pendapat yang benar dan dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang
menerima dari Abu Ubaid ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang
mempercepat pembayaran zakat ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi
harta yang wajib dizakati, maka terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul
(satahun) dan harta yang tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta
yang pertama boleh mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya,
tetapi bagi zakat yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum
sempurnanya nishab.
4.
Mayoritas
masjid atau musholla di Indonesia, meletakkan Shof jama'ah putri disebelah
kanan atau kiri jama'ah putra dengan diberi penghalang (satir) atau dinding.
Pertanyaan:
Adakah keterangan yang membenarkan praktek Shof seperti
diatas ?
(Dari: PCNU
Muara Enim)
Jawaban: Praktek tersebut dibenarkan jika
memang jama’ah putri berada pada tempat tersendiri dan mereka tetap mendapat
fadhilahnya jama’ah.
الشَّرْحُ الْمُخْتَصَرُ عَلَى بُلُوْغِ الْمَرَامِ: 3/ 244
أَنَّ
النِّسَاءَ يُشْرَعُ لَهُنَّ الصُّفُوْفُ كَالرِّجَالِ فَإِذَا كَانَتِ
النَّسَاءُ فِي مَكَانٍ خَاصٍّ كَمَا يُوْجَدُ اْلآنَ فِي كَثِيْرٍ مِنَ
الْمَسَاجِدِ فَإِنَّ خَيْرَ صُفُوْفِهِنَّ أَوَّلُهَا لِبُعْدِهِنَّ عَنِ
الرِّجَالِ.
Kitab Al-Syarh al-Mukhtashar ala Bulugh al-Maram, Juz 3,
hlm. 244:
Sesungguhnya
ketentuan shaf dalam shalatnya sama seperti laki-laki, jika berada di
dalam tempat tersendiri, seperti yang banyak ditemui sekarang di berbagai
masjid. Dan shaf yang terbaik bagi perempuan dalam hal ini adalah shaf yang
pertama karena jauh dari barisan laki-laki.
5.
Seperti
termaktub dalam kitab-kitab fiqh bahwa tanaman
padi jika pengairannya tidak menggunakan biaya, maka zakatnya 10 %.
Dan bila menggunakan biaya maka zakatnya 5% tanpa mempertimbangkan pupuk dan
lain-lainnya, meskipun biayanya lebih besar. Sedangkan praktek yang terjadi
pada umumnya begitu selesai panen, petani langsung mengeluarkan zakat, walaupun
pada panen pertama itu belum sampai satu nishob, sebab mereka yakin nanti akan
sampai satu nisob, ketika dikumpulkan dengan panen kedua.
Pertanyaan:
a.
Adakah
pendapat yang mengatakan bahwa pupuk dll, bisa mempengaruhi jumlah nishob
dan prosentase zakatnya padi
?
b.
Sahkan
mengeluarkan zakat sebelum mencapai satu nishob seperti diskripsi di atas?
(Dari: PCNU
OKU TIMUR)
Jawaban:
a.
Hasil
panen boleh
digunakan terlebih dahulu untuk
membayar biaya tanam yang berhutang, seperti pupuk dan
lain-lain. Kemudian sisanya dizakati bila mencapai satu nishob. Namun demikian, pendapat tentang pupuk
bisa mengurangi prosentase pengeluaran zakat (menjadi 5 %) itu tidak ada.
قُرَّةُ
الْعَيْنِ فِي
هَامِشِ بُغْيَةِ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: ص. 100
سُئِلَ
فِى أَهْلِ بَلَدٍ يَعْتَادُوْنَ تَسْمِيْدَ اَشْجَارِهِمْ بَدَلَ السِّقَايَةِ
وَيَرَوْنَ أنَّهَا لِنُمُوِّ الثَّمْرَةِ مِنَ السِّقَايَةِ لهَاَ وَيُخْرِجُوْنَ
عَلَى ذَلِكَ خَرْجَ السِّقَايَةِ بَلْ اَكْثَرَ. فَهَلْ يَجِبُ عَلَى مَالِكِ
اْلاَشْجَارِ اْلعُشُرُ أَوْ نِصْفُهُ. ( اَجَابَ ) اَلتَّسْمِيْدُ
وَالتَّحْرِيْثُ لاَ يُغَيِّرُ حُكْمَ الْوَاجِبِ فَيَجِبُ نِصْفُ الْعُشْرِ اِنْ
سُقِيَتْ بِمُؤْنَةٍ وَإلاَّ فَاْلوَاجِبُ اْلعُشُرُ .
Kitab Qurroh al-Ain fi Hamisy Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 100:
Ada
sebuah pertanyaan tentang kebiasaan masyarakat yang memberi pupuk tanamannya sebagai ganti air siraman karena mereka
menganggap hasil yang diperoleh akan lebih besar. Dan kemudian mereka
mengeluarkan biaya pemupukan sebagaiman biaya pengairan, bahkan lebih besar.
Pertanyaanya, berapa besar zakat yang wajib dikeluarkan bagi pemiliki kebun
tersebut, 10 % atau 5 %? Jawab: pupuk
dan obat perangsang tanaman tidak mempengaruhi ukuran zakat yang dikeluarkan
seseorang, jika pengairannya membutuhkan biaya maka zakatnya 5 %, dan jika
tidak maka 10 %.
فِقْهُ
السُّنَّةِ: 1/ 358-359
وَمَذْهَبُ
ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ يُحْسَبُ مَا
اقْتَرَضَهُ مِنْ أَجْلِ زَرْعِهِ وَثَمْرِهِ. عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -فِي الرَّجُلِ يَسْتَقْرِضُ
فَيُنْفِقُ
عَلَى
ثَمْرَتِهِ
وَعَلَى
أَهْلِهِ -
قاَلَ:
قَالَ
ابْنُ
عُمَرُ:
يَبْدَأُ
بِمَا
اسْتَقْرَضَ
فَيَقْضِيْهِ
وَيُزَكِّي
مَا
بَقِيَ.
Kitab Fiqh al-Sunnah, Juz 1, hlm. 358-359:
“Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. menghitung adanya biaya tanaman yang
terhutang. Bahkan diceritakan oleh Jabir
ibn Zaid, dari Ibn Abbas dan Ibn Umar Ra. bahwa mereka memperbolehkan seorang
laki-laki yang menghutang untuk keperluan tanaman dan keluarganya. Dan Ibn Umar
berkomentar bahwa hasil dari tanaman terlebih dahulu boleh ia potong untuk
biaya tanaman yang terhutang, kemudian baru sisanya ia keluarkan zakatnya.”
b.
Khilaf. Menurut Mazhab Hanafiah dianggap
sah karena tidak adanya nishab bagi zakat tanaman (zuru’). Sedangkan menurut Mazhab lain disyaratkan untuk mencapai nishab.
إِثْمِدُ
الْعَيْنِ: ص.47-48
مَسْأَلَةٌ :
أَفَادَ أَيْضًا أَنَّ مَذْهَبَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ فِي كُلِّ
مَا خَرَجَ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ حَطَبًا أَوْ قَصْبًا أَوْ حَشِيْشًا، وَلاَ
يُعْتَبَرُ نِصَابًا وَعِنْدَ اْلإِمَامِ أحْمَدَ، وَلاَبُدَّ مِنَ النِّصَابِ
عِنْدَ مَالِكٍ كَالشَّافِعِيِّ اهـ.
Kitab Itsmid al-Ain, hlm. 47-48:
“Permasalahan:
Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa sesuatu yang dihasilkan dari bumi itu
wajib dikeluarkan zakatnya kecuali kayu bakar, tebu dan rumput. Imam Abu
Hanifah juga tidak mensyaratkan nishob dalam zakat ini, begitu pula menurut
Imam Ahmad. Berbeda dengan Imam Malik dan Syafi’i yang mengharuskan telah
sampai nishobnya.”
رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1 / 219
اَلتَّعْجِيْلُ جَائِزٌ فِي الْجُمْلَةِ، هَذَا هُوَ
الصَّوَابُ الْمَعْرُوْفُ, وَحَكَى اْلمُوَفَّقُ أَبُوْ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي
عُبَيْدِ بْنِ حَرْبَوَيْه مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْعَ التَّعْجِيْلِ وَلَيْسَ
بِشَيْءٍ وَلاَ تَفْرِيْعٍ عَلَيْهِ. ثُمَّ مَالُ الزَّكَاةِ ضَرْبَانِ
مُتَعَلِّقٌ باِلْحَوْلِ
وَغَيْرُ مَتَعَلِّقٍ فَاْلأَوَّلُ يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ زَكَاتِهِ قَبْلَ
الْحَوْلِ وَلاَ يَجُوْزُ قَبْلَ تَمَامِ النِّصَابِ فِي الزَّكَاةِ
اْلعَيْنِيَّةِ.
Kitab Raudhah al-Thalibin, juz 1, hlm. 219:
“Mempercepat (ta’jil) dalam
pembayaran zakat secara umum diperbolehkan menurut pendapat yang benar dan
dikenal oleh banyak kalangan. Tetapi Abu Thahir yang menerima dari Abu Ubaid
ibn Harbawaih (seorang Ulama Syafi’iyyah) melarang mempercepat pembayaran zakat
ataupun membagikannya. Jika melihat dari segi harta yang wajib dizakati, maka
terbagi dua yaitu harta yang ada ketentuan Haul (satahun) dan harta yang
tidak ada ketentuan Haul-nya. Untuk jenis harta yang pertama boleh
mendahulukan pengeluaran zakatnya sebelum Haul-nya, tetapi bagi zakat
yang bersifat kebendaan ini tetap tidak boleh sebelum sempurnanya nishab.”
6.
Seperti
yang dimaklumi di Makkah dan Madinah pada umumnya masyarakatnya
tidak bermadzhab Syafi'i sehingga mayoritas Imam sholat tidak terdengar membaca
basmallah. Ada yang membaca dengan sirri, namun
ada
pula yang memang
tidak membaca basmallah .
Pertanyaan:
Bagaimanakah
hukumnya makmum dengan imam tersebut ?
(Dari: PCNU MUBA)
Jawaban:
Khilafiyah.
Menurut Imam al-Qaffal sah secara mutlak, meskipun sedangkan menurut
Qaul al-Ashoh,
tidak sah bila diyakini imam tersebut tidak membaca basmalah.
اَلْمَجْمُوْع شَرْحُ الْمُهَذَّبِ
- (ج 4 / ص 288-289)
(فَرْعٌ)
فِي
مَسِائِلَ
تَتَعَلَّقُ
باِلْبَابِ
(إاحْدَاهَا)
اْلاِقْتِدَاءُ
بِأاصْحَابِ
اْلمَذَاهِبِ
اْلمُخَالِفِيْنَ
بِأَانْ
يَقْتَدِىَ
شَافِعِيٌّ
بِحَنَفِىٍّ
أَوْ
مَالِكِىٍّ
لاَ
يَرَى
قِرَاءَةَ
الْبَسْمَلَةِ
فِي
الْفَاتِحَةِ
وَلاَ
اِيْجَابَ
التَّشَهُّدِ
اْلاَخِيْرِ
وَالصَّلاَةِ
عَلَىي
النَّبِيِّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَلاَ
تَرْتِيْبَ
الْوُضُوْءِ
وَشِبْهَ
ذَلِكَ.
وَضَابِطُهُ
أَنْ
تَكُوْنَ
صَلاَةُ
اْلاِمَامِ
صَحِيْحَةً
فِي
اعْتِقَادِهِ
دُوْنَ
اعْتِقَادِ
الْمَأْمُوْمِ
أَوْ
عَكْسَهُ
ِلاخْتِلاَفِهِمَا
فِي
اْلفُرُوْعِ.
فِيْهِ
أَرْبَعَةُ
أَوْجُهٍ
(اَحَدُهَا)
الصِّحَّةُ
مُطْلَقًا
قَالَهُ
الْقَفَّالُ
اِعْتِبَارًا
بِاعْتِقَادِ
اْلاِمَامِ
(وَالثَّانِي)
لاَ
يَصِحُّ
اقْتِدَاؤُهُ
مُطْلَقًا
قَالَهُ
أَبُوْ
اِسْحَقَ
اْلاِسْفِرَايِنِيّ
لاَنَّهُ
وَاِنْ
اَتَى
بِمَا
نَشْتَرِطُهُ
وَنُوْجِبُهُ
فَلاَ
يَعْتَقِدُ
وُجُوْبَهُ
فَكَأَنَّهُ
لَمْ
يَأْتِ
بِهِ.
(وَالثَّالِثُ)
اِنْ
اَتَىي
بِمَا
نَعْتَبِرُهُ
نَحْنُ
لِصِحَّةِ
الصَّلاَةِ
صَحَّ
اْلاِقْتِدَاءُ
وَاِنْ
تَرَكَ
شَيْئًا
مِنْهُ
أَوْ
شَكَكْنَا
فِي
تَرْكِهِ
لَمْ
يَصِحَّ.
(وَالرَّابِعُ)
وَهُوَ
اْلاَصَحُّ
وَبِهِ
قَالَ
أَبُوْ
اِسْحَقَ
اْلمَرْوَزِىّ
وَالشَّيْخُ
أَبُوْ
حَامِدٍ
اْلاِسْفِرَايِنِىّ
والبندنيجى وَاْلقَاضِي
أَبِوْى
الطَّيِّبِ
وَاْلاَكْثَرُوْنَ؛
اِنْ
تَحَقَّقْنَا
تَرْكَهُ
لِشَيْءٍئ
نَعْتَبِرُهُ
لَمْ
يَصِحَّ
اْلاِقْتِدَاءُ
وَاِنْ
تَحَقَّقْنَا
اْلاِتْيَانَ
بِجَمِيْعِهِ
أَوْ
شَكَكْنَا
صَحَّ
وَهَذَا
يَغْلِبُ
اعْتِقَادَ
الْمَأْمُوْمِ
هَذَا
حَاصِلُ
الْخِلاَفِ
فَيَتَفَرَّعُ
عَلَيْهِ
لَوْ
مَسَّ
حَنَفِيٌّى
امْرِأَةً
أَوْ
تَرَكَ
طُمَأْنِيْنَةً
أَوْ
غَيْرَهَا
صَحَّ
اقْتِدَاءُ
الشَّافِعِيُّ
بِهِ
عِنْدَ
الْقَفَّالِ
وَخَالَفَهُ
الْجُمْهُوْرُ
وَهُوَ
الصَّحِيْحُ
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz 4, hlm. 288-289:
Sebuah permasalahan yang berhubungan dengan bab ini.
Pertama, tentang hukum bermakmum kepada imam yang berlainan mazhabnya, seperti
penganut mazhab Syafi’i yang bermakmum kepada imam penganut mazhab Hanafi atau
Maliki yang tidak membaca basmalah pada Surat al-Fatihah, tidak
mewajibkan membaca Tasyahhud Akhir, shalawat kepada Nabi SAW, tidak ada
rukun tartib di dalam wudlu’nya dan lain sebagainya. Yang intinya
batasan keabsahan shalat antara imam dan makmum berbeda, shalatnya imam sah
menurut keyakinannya sendiri, tidak berdasarkan keyakinan makmum. Begitu pula
sebaliknya. Dalam permasalahan ini ada empat pendapat. Pertama, shalatnya
sah secara mutlak seperti yang diutarakan oleh Imam al-Qaffal karena berpedoman
pada keyakinannya Imam. Kedua, bermakmumnya dihukumi tidak sah secara
mutlak, seperti yang disampaikan oleh Abu Ishaq al-Isfirayini, karena jika kita
melaksanakan kewajiban dari rukun atau syarat, namun imam tidak meyakini akan
kewajiban itu, maka sama halnya ia tidak melaksakan kewajiban tersebut. Ketiga,
jika imam melaksanakan semua perkara yang menjadikan shalat sah menurut
pandangan kita, maka sah bermamkmum kepadanya, tetapi jika ia meninggalkan
perkara tersebut, atau diragukan maka tidak sah bermakmum padanya. Keempat,
pendapat ini merupakan pendapat yang paling shahih yang didukung oleh Abu Ishaq
al-Marwazi, Syekh Abu Hamid al-Firayini, Qadli Abu Thayyib dan mayoritas
fuqaha’, yaitu apabila nyata-nyata imam meninggalkan hal yang kita anggap
wajib, maka tidak sah bermakmum padanya, namun apabila secara umum nyata-nyata
ia melakukannya atau masih diragukan, maka dianggap sah bermakmum padanya. Hal
ini diukur berdasarkan keyakinan makmum. Kesimpulan dari ikhtilaf di
atas bisa dicontohkan misalnya jika seorang yang bermazhab Hanafi menyentuh
perempuan atau meninggalkan thuma’ninah di dalam shalat dan lain-lain,
maka sah kita bermakmum padanya menurut Imam al-Qaffal, tidak menurut mayoritas
fuqaha’.
7.
Akhir
- akhir ini sepak terjang Satpol PP menjadi sorotan masyarakat luas. Tidak
hanya karena bentrok yang terjadi di Tanjung Priok yang menewaskan 3 anggota
Satpol PP, namun penertiban yang mereka lakukan selama ini kadang dianggap
berlebihan, terutama di dalam penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL).
Pertanyaan :
Bagaimana pandangan fiqh
untuk menyikapi penertiban PKL oleh Satpol PP
tersebut?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)
Jawaban: Dibenarkan apabila berdasarkan
instruksi kepala daerah, atau untuk menertibkan para pedagang yang mengganggu
ketertiban umum, atau memang tempat tersebut dilarang untuk dipakai berdagang.
حَـاشِيَةُ
الْقُلْيُوْبِيّ ج : 9 ص : 445
فَصْلٌ
: مَنْفَعَةُ الشَّارِعِ الْأَصْلِيَّةِ ( الْمُرُورُ ) فِيهِ ( وَيَجُوزُ
الْجُلُوسُ بِهِ لِاسْتِرَاحَةٍ وَمُعَامَلَةٍ وَنَحْوِهِمَا إذَا لَمْ يُضَيِّقْ
عَلَى الْمَارَّةِ ، وَلَا يُشْتَرَطُ إذْنُ الْإِمَامِ ) فِي ذَلِكَ
لِاتِّفَاقِ النَّاسِ عَلَيْهِ عَلَى تَلَاحُقِ الْأَعْصَارِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ
.(وَلَهُ تَظْلِيلُ مَقْعَدِهِ ) فِيهِ ( بِبَارِيَّةٍ ) بِتَشْدِيدِ
التَّحْتَانِيَّةِ (وَغَيْرِهَا) مِمَّا لَا يَضُرُّ بِالْمَارَّةِ وَهُوَ
مَنْسُوجُ قَصَبٍ كَالْحَصِيرِ.
Kitab Hasiyah al-Qulyubi, Juz 9, hlm.
445:
“Pasal;
secara mendasar jalan umum bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlalu-lalang, dan
boleh juga duduk dipinggirnya untuk beristirahat, berdagang dan sebagainya
apabila tidak mengganggu orang yang lewat, bahkan pemanfaatan ini tidak perlu
adanya izin dari penguasa/imam karena pemanfaatan itu telah lazim bagi
masyarakat. Dan
diperbolehkan pula mendirikan tenda atau sejenisnya di kanan-kiri jalan
sekiranya tidak mengganggu orang yang melintasi jalan tersebut.”
اَلْاَحْكَامُ
السُّلْطَانِيَّةُ: ص : 376
وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّالِثُ وَهُوَ مَا اخْتَصَّ
بِأَفْنِيَةِ الشَّوَارِعِ وَالطُّرُقِ فَهُوَ مَوْقُوفٌ عَلَى نَظَرِ
السُّلْطَانِ .وَفِي نَظَرِهِ وَجْهَانِ ... وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ نَظَرَهُ
فِيهِ نَظَرُ مُجْتَهِدٍ فِيمَا يَرَاهُ صَلَاحًا فِي إجْلَاسِ مَنْ يُجْلِسُهُ
وَمَنْعِ مَنْ يَمْنَعُهُ وَتَقْدِيمِ مَنْ يُقَدِّمُهُ كَمَا يَجْتَهِدُ فِي
أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ
وَإِقْطَاعِ الْمَوَاتِ وَلَا
يَجْعَلُ السَّابِقَ أَحَقَّ وَلَيْسَ لَهُ عَلَى الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَأْخُذَ
مِنْهُمْ عَلَى الْجُلُوسِ أَجْرًا .
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 376:
“Bagia ketiga yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan jalan umum yang rusak/ kosong. Hal ini harus sesuai
persetujuan penguasa/pemerintah dengan dua kebijakan…. Yang kedua, bedasarkan
pertimbangan dan kebijakan pemerintah -seperti pertimbangannya seorang
mujtahid- dengan menilik sisi maslahat di dalam memposisikan atau
melarang orang untuk menempatinya, sebagaimana pula pertimbangan ini dilakukan
dalam masalah harta baitul mal dan tanah mati. Pemerintah dalam hal ini
tidak bisa memutuskan bahwa orang yang lebih dulu adalah yang lebih berhak dan
tidak bisa pula memungut upah dari orang yang telah memanfaatkannya.”
بُغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ:
189
يَجِبُ
امْتِثَالُ
أَمْرِ
اْلإِمَامِ
فِي
كُلِّ
مَا
لَهُ
فِيْهِ
وِلاَيَةٌ كَدَفْعِ
زَكَاةِ
الْمَالِ
الظَّاهِرِ،...وَإِنْ
كَانَ
اْلمَأْمُوْرُ
بِهِ
مُبَاحاً
أَوْ
مَكْرُوْهاً
أَوْ
حَرَاماً
لَمْ
يَجِبْ
اِمْتِثَالُ
أَمْرِهِ
فِيْهِ
كَمَا
قَالَهُ
(م ر) وَتَرَدَّدَ
فِيْهِ
فِي
التُّحْفَةِ،
ثُمَّ
مَالَ
إِلَى
الْوُجُوْبِ
فِي
كُلِّ
مَا
أَمَرَ
بِهِ
اْلإِمَامُ
وَلَوْ
مُحَرَّماً
لَكِنْ
ظَاهِراً
فَقَطْ،
وَمَا
عَدَاهُ
إِنْ
كَانَ
فِيْهِ
مَصْلَحَةٌ
عَامَّةٌ
وَجَبَ
ظَاهِراً
وَبَاطِناً
وَإِلاَّ
فَظَاهِراً
فَقَطْ.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 189:
“Perintah seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan dalam
bidangnya wajib untuk ditaati seperti memberikan zakat mal,… dan apabila
perintah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang mubah, makruh
atau haram maka tidak wajib untuk mentaatinya, seperti yang dikemukakan
oleh Imam Romli di dalam kitab Tukhfah. Namun ia cenderung mewajibkan secara
lahiriyah untuk taat terhadap semua perintah pemimpin walaupun perintah itu
berkaitan dengan hal yang haram. Dan jika terdapat kemaslahatan di dalamnya,
maka wajib secara lahir dan batin untuk mentaatinya.”
8.
Pada
saat seseorang melakukan pembelian sepeda motor, disana ada " Brosur" yang menjelaskan bahwa harga antara
cash dan kredit tidak sama, misalnya kalau kontan / cash harganya 14 Juta , dan bila
kredit total harganya sampai 18 Juta. Dalam kitab fiqh, kita ketahui bahwa
termasuk transaksi yang dilarang adalah menjual barang dengan dua harga.
Pertayaan:
Apakah praktek jual beli di atas
termasuk menjual barang
dengan dua
harga? Dan bagaimana hukumnya?
(Dari: PCNU OKU TIMUR)
Jawaban: Jual beli tersebut dihukumi sah dan
tidak termasuk jual beli dengan 2 harga, karena dua harga itu hanya sekedar
penawaran dari penjual untuk dipilih oleh pembeli. Brosur yang memcantumkan
harga cahs dan kredit tidak bisa disebut shighot karena tidak ada khitob (sasaran pembeli yang sudah pasti)
dan brosur tersebut tidak ada penyerahan kepemilikan atau penerimaan hak milik.
Yang
bisa disebut
shighot adalah kesepakatan pembeli dan penjual, yang pada prakteknya mereka
menyepakati salah satu di
antara akad
cash atau kredit.
مُغْـنِي
المُحْتَاجِ
. ج: 6 ص : 232
( وَأَنْ يَقْبَلَ عَلَى وَفْقِ
الْإِيجَابِ ) فِي الْمَعْنَى كَالْجِنْسِ وَالنَّوْعِ وَالصِّفَةِ وَالْعَدَدِ
وَالْحُلُولِ
وَالْأَجَلِ ( فَلَوْ قَالَ : بِعْتُك ) هَذَا الْعَبْدَ
مَثَلًا ( بِأَلْفٍ مُكَسَّرَةٍ فَقَالَ : قَبِلْت
بِأَلْفٍ صَحِيحَةٍ ) أَوْ عَكْسُهُ.
Kitab Mughni al-Muhtaj, Juz 6, hlm. 232:
Penerimaan
(Qabul) atas akad jual beli maknanya harus sesuai dengan ijab-nya,
seperti jenis, macam, sifat, jumlah dan tempo/kontannya. Misalnya jika pembeli
mengatakan “saya menjual barang ini kepadamu dengan harga seribu”, maka qabul-nya
berbunyi: “saya terima dengan harga seribu.”
مُغْـنِي
المُحْتَاجِ
. ج: 6 ص : 219
أَحَدُهُمَا
أَنَّ إسْنَادَ
الْبَيْعِ إلَى الْمُخَاطَبِ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَوْ كَانَ
نَائِبًا عَنْ غَيْرِهِ حَتَّى لَوْ لَمْ يُسْنَدْ إلَى أَحَدٍ كَمَا يَقَعُ فِي
كَثِيرٍ مِنْ الْأَوْقَاتِ أَنْ يَقُولَ الْمُشْتَرِي لِلْبَائِعِ : بِعْت هَذَا
بِعَشَرَةٍ مَثَلًا، فَيَقُولُ : بِعْتُ فَيَقْبَلُهُ الْمُشْتَرِي لَمْ يَصِحَّ،
وَكَذَا لَوْ أَسْنَدَهُ إلَى غَيْرِ الْمُخَاطَبِ كَبِعْت مُوَكِّلَك بِخِلَافِ
النِّكَاحِ.
Kitab Mughni al-Muhtaj, juz 6, hlm. 219:
“Dalam jual beli diharuskan
menyandarkan kata-kata ijab kepada seorang yang telah dituju, walaupun
orang tersebut statusnya sebagai wakil / pengganti. Oleh karenanya, jual beli
yang tidak ditujukan kepada orang tertentu, misalnya seperti pertanyaan seorang
pembeli; “engkau mau menjual barang ini dengan harga sepuluh”, lalu penjual pun
menjawab; “iya”, dan pembeli pun kemudian menerima akad tersebut, maka yang
demikian akadnya dihukumi tidak sah.”
9. Menjual
barang - barang yang najis adalah termasuk jual
beli yang tidak sah, namun kenyataanya
banayak masyarakat menjual kotoran sapi untuk pupuk. Dalam sebagian kitab fiqh
dijelaskan tentang solusi untuk kasus di atas yaitu bisa dengan cara نقل
اليد
Pertayaan:
Sebenarnya bagaimana praktek dari نقل اليد ? Dan bagaimana andaikan masyarakat
yang menjual tidak mau tahu tentang نقل اليد yang penting mereka dapat duit ?
(Dari: PCNU Muara Enim)
Jawaban: Praktek
نقل اليد dalam masalah diatas adalah
dicontohkan seperti perkataan dari pemilik pupuk kepada penerima; “saya berikan
pupuk ini kepadamu dengan harga 100 ribu rupiah.” Kemudian penerima berkata;
“saya terima.” Bentuk transaksi seperti ini boleh, meskipun pelakunya tidak
tahu tentang siapa ulama yang berpendapat
bahwamemperbolehkan transaksi ini boleh, yang penting cukup dia yakin bahwa
praktek transaksi di atas ada yang memperbolehkannya.
تُحْفَةُ
الْمُحْتَاجِ
فِيى
شَرْحِ
الْمِنْهَاجِ،
ج :16 ص : 299
وَيَجُوزُ
نَقْلُ الْيَدِ عَنْ النَّجِسِ بِالدَّرَاهِمِ كَمَا فِي النُّزُولِ عَنْ
الْوَظَائِفِ .وَطَرِيقُهُ أَنْ يَقُولَ الْمُسْتَحِقُّ لَهُ أَسْقَطْت حَقِّي
مِنْ هَذَا بِكَذَا فَيَقُولُ الْآخَرُ قَبِلْت.
Kitab Tukhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz 16, hlm. 299:
“Diperbolehkan memindah kepemilikan
(akad Naql al-Yad) atas suatu barang yang najis dengan diganti uang
dirham, seperti kebiasaan yang terjadi di rumah-rmah. Bentuk akad tersebut yaitu seperti
perkataan pemilik barang kepada orang lain, “saya serahkan hakku barang ini
dengan gantian uang sekian”, lalu orang tesebut menjawab; “baiklah, saya
terima.”
بُغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ:
ص. 257
اَلْعَامِيُّ
لاَ
مَذْهَبَ
لَهُ،
بَلْ
إِذَا
وَافَقَ
قَوْلاً
صَحِيْحاً
صَحَّتْ
عِبَادَتُهُ
وَمُعَامَلَتُهُ،
وَإِنْ
للَمْ
يَعْلَمْ
عَيْنَ
قَائِلِهِ
كَمَا
مَرَّ
فِي
اْلمُقَدَّمَةِ.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 257
Orang
yang awam dikategorikan sebagai orang yang tidak bermazhab, sehingga apa yang
dilakukannya jika sesuai dengan pendapat yang benar (sahih) maka sah ibadah
dan muamalah-nya itu, walaupun ia tidak mengetahui pendapat siapa itu.
KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KE II
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di Pon. Pes. Al-Falah Ds. Putak Kec. Gelumbang Kab.
Muara Enim
Tanggal 6 Oktober 2010 M. / 27 Syawal 1431 H.
1. Amil
Zakat
Ada beberapa cara penyaluran zakat
yang dilakukan oleh para hartawan dan dermawan di masyarakat kita, baik dengan
penyaluran sendiri ke para mustahiq zakat atau melalui lembaga-lembaga
tertentu yang menawarkan jasa sebagai penyalur dan pengelola harta zakat, di
antaranya seperti BAZIS dan lembaga swasta yang disebut Rumah Zakat. Rumah Zakat Indonesia merupakan Organisasi Pengelola Zakat terbesar pengumpulan donasinya
se-Indonesia,
sehingga pada tahun 2009 hasil pengumpulan dana zakatnya mencapai 107,3 milyar
rupiah.
Pertanyaan:
a. Siapa
saja yang bisa mengangkat Amil sebagai petugas penyalur Zakat?
b. Adakah
batasan bagian bagi Amil yang telah disahkan di dalam harta zakat
tersebut?
c. Bagaimana
hukumnya Amil mengelola harta Zakat dengan maksud agar lebih bermanfaat?
Jawaban:
a.
Yang bisa menunjuk dan mengangkat amil
(petugas) zakat adalah pemerintah setempat.
اَلْمَوْسُوْعَةُ
الْفِقْهِيَّةُ اْلكُوَيْتِيَّةُ:
2/ 10543
اَلْعَامِلُ عَلَى الزَّكَاةِ هُوَ الْمُتَوَلِّي عَلَى
الصَّدَقَةِ وَالسَّاعِيْ لِجَمْعِهَا مِنْ أَرْبَابِ الْمَالِ، وَالْمُفَرِّقُ
عَلَى أَصْنَافِهَا إِذَا فَوَّضَهُ اْلإِمَامُ بِذَلِكَ .
Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, Juz II, hlm 10543:
“Amil zakat adalah : orang yang
mengatur zakat dan mengumpulkannya dari pemilik harta, serta membagikannya pada
golongan penerima zakat, hal tersebut apabila dia (amil) diangkat oleh
pemerintah untuk mengurusi hal tersebut diatas.”
فِقْهُ السُّنَّةِ: 1/ 386
اَلْعَامِلُوْنَ عَلَى الزَّكَاةِ، وَهُمُ الَّذِيْنَ
يُوَلِّيْهِمُ اْلاِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ اْلعَمَلَ عَلَى جَمْعِهَا مِنَ
اْلاَغْنِيَاءِ. وَهُمُ الْجُبَاةُ، وَيَدْخُلُ فِيْهِمُ الْحَفَظَةُ لَهَا،
وَالرُّعَاةُ لِلْاَنْعَامِ مِنْهَا، وَاْلكَتَبَةُ لِدِيْوَانِهَا.
Kitab Fiqh as-Sunnah, Juz I, hlm 386:
“Amil-amil zakat adalah : mereka
yang diberi kekuasaan (mandat) dari permerintah atau wakilnya untuk mengerjakan
pengumpulan zakat dari orang-orang kaya …….. termasuk amil adalah orang-orang
yang menjaga harta zakat, pengembala binatang ternaknya zakat dan orang-orang
yang mencatat pada pembukuan zakat.”
b. Batasan
bagian yang diberikan kepada amil adalah ujroh al-mitsl, yaitu
sebesar ongkos/upah yang berlaku di wilayah setempat.
شَرْحُ
الْبَهْجَةِ الوردية: 14/ 81
(الثَّالِثُ الْعَامِلُ فِيهَا ) أَيْ فِي الزَّكَاةِ
وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا ( الْأَجْرُ لَهْ ) أَيْ لَهُ أُجْرَةُ الْمِثْلِ دُونَ
السَّهْمِ ؛ لِأَنَّ اسْتِحْقَاقَهُ بِالْعَمَلِ ….. فَإِنْ كَانَ سَمَّى لَهُ أَكْثَرَ مِنْ
أُجْرَةِ الْمِثْلِ بَطَلَتْ التَّسْمِيَةُ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ.
Kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiah, Juz 14, hlm 81:
“Yang ketiga adalah Amil zakat walaupun kaya, dia mendapatkan
upah yang sepadan dengan pekerjaannya, tidak mendapatkan bagian pasti karena
haknya didapatkan sebab bekerja. Dan apabila bagiannya ditentukan melebihi ujroh
al-mitsli, maka tidak dibenarkan dan dia hanya berhak mendapatkan upah sepadan.”
c. Tidak
boleh, apabila tidak mendapat izin dari mustahiq (orang yang berhak atas
bagian) zakat tersebut.
اَلْمَجْمُوْعُ
شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 6/178
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى, وَلاَ
يَجُوْزُ لِلسَّاعِيْ وَلاَ لِلْاِمَامِ اَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْمَا يَحْصُلُ
عِنْدَهُ مِنَ الْفَرَائِضِ حَتىَّ يُوْصِلَهَا اِلَى أَهْلِهَا ِلاَنَّ
اْلفُقَرَاءَ اَهْلُ رُشْدٍ لاَ يُوَلىَّ عَلَيْهِمْ فَلاَ يَجُوْزُ
التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِمْ بِغَيْرِ اِذْنِهِمْ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Juz 6, hlm 178:
“Kyai pengarang berkata tidak
diperbolehkan bagi pengurus zakat atau pemerintah untuk mengelola sesuatu yang
terkumpul dari beberapa harta benda yang wajib sehingga menyerahkannya pada
pemiliknya, karena orang fakir adalah orang yang cakap dalam mengelola harta
maka tidak boleh mengelola hartanya tanpa izin dari mereka.”
2. Ashnaf
(golongan)
penerima Zakat.
a. Bagaimana
batasan atau kriteria-kriteria sehingga seseorang dikategorikan sebagai faqir
dan miskin yang berhak menerima zakat?
b. Adakah
ketentuan bagi seorang muallaf di dalam lamanya ia memeluk agama Islam
(terhitung sejak ia bersyahadah masuk agama Islam), sehingga ia dikategorikan
sebagai orang yang berhak menerima zakat?
c. Di
dalam penyaluran zakat, salah satu kelompok yang berhak menerimanya adalah
golongan fi sabilillah atau sabilil khoir yang pada masa
sekarang termasuk di dalamnya adalah para guru TPA, Khotib, Imam dsb. Bagaimana
hukumnya jika mereka menerima bagian zakat, sedangkan mereka sudah menerima
tunjangan/gaji dari pemerintah setempat/yayasan terkait?
Jawaban:
a.
Fakir adalah orang yang tidak
memiliki kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan juga tidak memiliki pekerjaan. Termasuk kategori
fakir ialah orang yang mempunyai harta dan pekerjaan tetapi semuanya masih
dibawah 50% dari kebutuhan hidup
dirinya
dan keluarga yang wajib ia nafkahi. Jika harta yang dimiliki dan penghasilan
dari pekerjaannya sudah mencapai di atas 50% dari kadar kebutuhannya yang layak
tetapi masih tidak mencukupi, maka ia tergolong miskin. Untuk batasan kecukupan
seseorang yang memiliki pekerjaan adalah tercukupinya kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki pekerjaan (seperti orang lumpuh)
adalah tercukupinya kebutuhan seumur hidup (dengan ukuran usia rata-rata
manusia/62 tahun).
اَلْفِقْهُ
اْلاِسْلاَمِيّ وَأَدِلَّتُهُ: 3 /1952
فَالْفَقِيْرُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ
وَالْحَنَابِلَةِ... ، هُوَ مَنْ لاَ مَالَ لَهُ وَلاَ كَسْبَ اَصْلاً، اَوْكَانَ
يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ مَا يَكْفِيْهِ لِنَفْسِهِ وَمَنْ
تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ (مَمُوْنُهُ) مِنْ غَيْرِ اِسْرَافٍ وَلاَ تَقْتِيْرٍ.
وَالْمِسْكِيْنُ: هُوَ مَنْ يَمْلِكُ اَوْ يَكْتَسِبُ نِصْفَ مَا يَحْتَاجُهُ
فَاَكْثَرَ، وَلَكِنْ لاَيَصِلُ اِلَى قَدْرِ كِفَايَتِهِ. وَالْمُرَادُ
بِالْكِفَايَةِ فِى حَقِّ اْلمُكْتَسِبِ: كِفَايَةُ يَوْمٍ بِيَوْمٍ، وَفِى حَقِّ
غَيْرِهِ: مَا يَبْقَى مِنْ عُمْرِهِ الْغَالِبِ وَهُوَ اِثْنَانِ وَسِتُّوْنَ
سَنَةً.
Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 1952:
“Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah
Faqir adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan sama sekali,
atau memiliki harta atau pekerjaan namun penghasilannya tidak sampai separuh
dari kecukupannya dan kecukupan orang yang harus ia nafkahi dengan tidak boros
dan tidak terlalu hemat (irit). Miskin adalah orang yang memiliki harta benda
atau pekerjaan yang penghasilannya mencapai separuh lebih namun masih belum
mencukupi kebutuhannya. Yang dimaksud dengan mencukupi bagi yang mempunyai
pekerjaan adalah : kecukupan sehari-hari. Bagi yang tidak memiliki pekerjaan
(seperti lumpuh) adalah harta yang mencukupi untuk kebutuhan seumur hidup (62
Th).”
b.
Batasan muallaf adalah orang yang baru
memeluk agama Islam menurut penilaian umum (urf).
اَلْفِقْهُ
اْلاِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/2004
وَأَمَّا الْمُؤَلَّفَةُ الْمُسْلِمُوْنَ فَيُعْطَوْنَ
مِنَ الزَّكَاةِ اِتِّفَاقًا اِذَا كَانُوْا حَدِيْثِيْ عَهْدٍ بِإِسْلاَمٍ
لِيَتَمَكَّنَ اْلاِسْلاَمُ فِى نُفُوْسِهِمْ كَمَا ذَكَرَ الدَّسُوْقِيُّ،
Kitab Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz 3, hlm 2004:
“Al-Mu’allafah Al-Muslimun maka mereka
diberi zakat menurut sepakatnya ulama’ apabila mereka baru masanya memeluk
agama islam supaya agama islam itu menetap dalam hatinya. Seperti penjelasan
Imam Ad-Dasuqi.”
اَلْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ: 1/ 180
الْمَبْحَثُ الْخَامِسُ قَالَ الْفُقَهَاءُ : كُلُّ مَا
وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا ، وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ ، وَلَا فِي
اللُّغَةِ ، يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ .
Kitab Al-Asybah Wa An-Nadzoir, Juz I, hlm 180:
“Pembahasan yang kelima adalah
ungkapan Ulama’ Fiqh: “semua perkara yang dibawa oleh syara’ yang bersifat
mutlak, serta tidak memiliki batasan pasti didalam syara’ maupun kebahasaan,
maka perkara tersebut dikembalikan pada ‘Urf.”
c.
Mereka
yang tersebut di atas tidak berhak lagi menerima bagian zakat dengan meng-atas
namakan golongan fi sabilillah/sabilil khair karena telah
memperoleh gaji/tunjangan dari pekerjaan atau jasa yang dilakukannya.
شَرْحُ
مُخْتَصَرِ خَلِيْلٍ لِلْمَالِكِيِّ: 6/350 – 351
فَقَدْ أَجَابَ سَيِّدِي مُحَمَّدٌ الصَّالِحُ بْنُ
سُلَيْمٍ الْأَوْجَلِيُّ حِينَ سُئِلَ عَنْ إعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِلْعَالِمِ
الْغَنِيِّ وَالْقَاضِي وَالْمُدَرِّسِ وَمَنْ فِي مَعْنَاهُمْ مِمَّنْ نَفْعُهُ
عَامٌّ لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا نَصُّهُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ يَجُوزُ إعْطَاءُ
الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيهِ مَنْفَعَةٌ
لِلْمُسْلِمِينَ وَلَوْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُومِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ
الدِّيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِهَا ابْنُ رُشْدٍ وَاللَّخْمِيُّ وَقَدْ
عَدَّهُمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ
الَّتِي تُعْطَى لَهُمْ الزَّكَاةُ حَيْثُ قَالَ {وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ}....
قَالَ شَيْخُنَا السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ : هَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ
رَاتِبٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ.
Kitab Syarh Muhtashor Kholil Li al-Malikiy, Juz 6, hlm 350-351:
“Sayyidi Muhammad Sholih bin Sulaim
Al-Aujali memberikan jawaban ketika ditanya tentang pemberian zakat kepada
orang ‘alim yang kaya, Qodhi, Guru, dan orang-orang yang semakna dengan mereka
dari golongan orang yang memberikan manfaat secara luas kapada kaum muslimin
dengan redaksi jawaban: “ segala puji bagi Allah, diperbolehkan memberikan
zakat kepada seorang Qori’(ahli baca al-Qur’an), orang ‘alim, guru, dan setiap
orang yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin meskipun mereka adalah
orang kaya, di karenakan memberi manfaat secara luas serta demi kelestarian
agama (Islam) sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Rusyd dan Al-Lakhmi
tentang hukum bolehnya. Dan Allah SWT mengelompokkan mereka kedalam delapan
golongan orang-orang yang berhak menerima zakat sebagaimana Allah berfirman
“(dan orang yang berjuang di jalan Allah) …… Syaikh Sayyid Muhammad berkata:
“hukum ini berlaku selama mereka tidak mendapat tunjangan dari baitul mal.”(red.)
3. Zakat
Fitrah
a. Dengan
tinjauan berbagai Madzhab, bagaimana hukum pembayaran zakat fitrah dengan
memakai uang? Jika diperbolehkan, senilai berapa kilogram beras uang yang harus
dikeluarkan?
Jawaban:
a. Membayar
zakat fitrah dengan memakai uang diperbolehkan menurut
madzhab Hanafiah dengan pertimbangan kemanfaatannya yang lebih besar. Adapun jumlah zakat yang dikeluarkan
adalah sebesar harga beras satu sha’ / 2,7 kg menurut Imam Abu Yusuf
(seorang ulama pengikut Madzhab Hanafi).
اَلْفِقْهُ عَلَى اْلمَذَاهِبِ اْلاَرْبَعَةِ: 1/989
اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا: حُكْمُ صَدَقَةِ اْلفِطْرِ
الْوُجُوْبُ بِالشَّرَائِطِ اْلآتِيَةِ.... وَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ قِيْمَةَ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ مِنَ
الْنُقُوْدِ بَلْ هَذَا أَفْضَلُ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ نَفْعًا لِلْفُقَرَاءِ.
Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arbi’ah, Juz 1, hlm 989:
“Ulama’ hanafiah berkata: “zakat
fitrah berhukum wajib dengan syarat-syarat yang akan disebutkan …… boleh bagi
Muzakki (wajib zakat) untuk membayar zakat wajib dengan uang senilai zakat
tersebut; bahkan hal ini lebih utama karena dianggap lebih banyak manfaatnya
bagi orang-orang fakir.”
رَحْمَةُ
اْلأُمَّةِ فِي اخْتِلاَفِ اْلأَئِمَّةِ: ص.87
وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْوَاجِبَ صَاعٌ بِصَاعِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ جِنْسٍ مِنَ الْخَمْسِ
إِلاَّ أَباَ حَنِيْفَةَ، فَقَالَ: يُجْزِئُ مِنَ الْبُرِّ نِصْفُ صَاعٍ، ثُمَّ
اخْتَلَفُوْا فِي قَدْرِ الصَّاعِ، فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَاَحْمَدُ
وَأَبُوْ يُوْسُفَ: هُوَ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثٌ بِاْلعِرَاقِيّ، وَقَالَ
أَبُوْ حَنِيْفَةَ: ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ.
Kitab Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, hlm 87:
“Ulama’ bersepakat bahwa yang wajib
dikeluarkan (dalam zakat fitrah) adalah satu sho’ dengan takaran sho’-nya
Rasulullah SAW dari setiap jenis dari lima jenis makanan pokok, kecuali menurut
Abu Hanifah yang berkata: zakatnya gandum putih adalah setengah sho’. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat
tentang ukuran satu sho’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu
Yusuf (ulama’ Hanafiah) : satu sho’ sama dengan 5 rithl Iraq. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah
adalah 8 rithl.”
اِتْحَافُ السَّادَةِ الْمُتَّقِيْنَ: 4/ 54
(فَصْلٌ) وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٌ
الصَّاعُ النَّبَوِيُّ ثَمَانِيَةُ أَرْطَالٍ بِالْبَغْدَادِيّ... وَخَالَفَ فِي
ذَلِكَ أَخَرُوْنَ فَقَالُوْا وَزْنُهُ خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلْثُ رِطْلٍ،
وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ أَبُوْ يُوْسُفَ.
Kitab Ittihaf as-Saadat al-Muttaqiin, Juz 4, hlm 54:
“(Pasal) Imam Abu Hanifah dan Syaikh
Muhammad mengungkapkan bahwa satu sho’-nya Nabi adalah 8 rithl Bagdad….. Ulama’
yang lain berbeda pendapat akan hal ini dengan mengatakan bahwa : “satu sho’
adalah 5 rithl, diantara yang mengungkapkan hal ini
adalah Imam Abu Yusuf.”
4. Shalat
dalam Kondisi Sakit
Shalat
fardlu lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dalam
kondisi dan situasi bagaimanapun. Namun demikian, syara’ telah memberikan
beberapa solusi dan cara bagi orang yang berada dalam kondisi tidak normal atau
di luar lazimnya untuk tetap melaksanakan kewajiban salat tersebut, seperti
dalam keadaan sakit, perjalanan dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, sering
kita temukan orang yang menderita sakit stroke (gangguan aliran darah)
dengan berefek pada ketidakstabilan kesadaran dan kondisi tubuhnya.
Pertanyaan:
a. Bagaimana
hukum salat dan puasanya orang yang menderita penyakit stroke dengan
kondisi yang tidak menentu, terkadang ia sadar atau mampu untuk melakukan
gerakan salat dan terkadang sebaliknya? Apakah ia tetap wajib untuk shalat/puasa
ataukah tidak?
b. Bagaimana
cara bersuci dan shalatnya orang dalam kondisi tersebut?
Jawaban:
a.
Puasanya tetap dihukumi wajib,
sehingga jika ia tidak berpuasa maka wajib untuk meng-qadla’-nya.
Sedangkan dalam masalah shalat, jika kesadarannya itu berlangsung lama yang kiranya mencukupi untuk melaksanakan shalat ( جاء
المانع ), namun dia belum
sempat melaksanakan maka ia tetap diwajibkan meng-qodho’
shalat, dan sebaliknya jika masa kesadarannya itu
tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat maka ia tidak wajib meng-qadla’
lantaran meninggalkan salat pada waktu itu. Dan
apabila sebelum masuk waktu dia tidak sadarkan diri kemudian dia sadar sebelum
habis waktu sholat ( زوال
المانع ), sekiranya waktu yang tersisa masih
mencukupi untuk takbirotul ihrom maka dia wajib meng-qodho’ sholat itu dan
shalat sebelumnya bila bisa dijama’.
تخفة المختاج:
5/16
( قَوْلُهُ : أَوْ ذِي جُنُونٍ ، أَوْ إغْمَاءٍ إلَخْ ) سَوَاءٌ
قَلَّ زَمَنُ ذَلِكَ أَمْ طَالَ وَإِنَّمَا وَجَبَ قَضَاءُ الصَّوْمِ عَلَى
مَنْ اسْتَغْرَقَ إغْمَاؤُهُ جَمِيعَ النَّهَارِ لِمَا فِي قَضَاءِ الصَّلَاةِ
مِنْ الْحَرَجِ لِكَثْرَتِهَا بِتَكَرُّرِهَا بِخِلَافِ الصَّوْمِ نِهَايَةٌ
وَمُغْنِي ( قَوْلُهُ : أَوْ سُكْرٍ ) وَمِثْلُ مَا ذُكِرَ الْمَعْتُوهُ ،
وَالْمُبَرْسَمُ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ وَشَرْحُ بَافَضْلٍ وَفِي الْقَامُوسِ
الْمَعْتُوهُ هُوَ نَاقِصُ الْعَقْلِ ، أَوْ فَاسِدُهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ هُوَ
الَّذِي أَصَابَتْهُ عِلَّةٌ يَهْذِي فِيهَا.
Kitab Tuhfah Al-Mukhtaj, Juz 5, hlm 16:
“Memang wajib mengqodho’ puasa bagi
seseorang yang pingsannya selama seharian penuh karena adanya kesusahan dalam
mengqodho’ sholat dikarenakan banyak serta berulang-ulangnya sholat, lain
halnya dengan ibadah puasa.
Seperti hukum di atas adalah orang
yang kurang atau rusak akalanya dan orang yang mengidap penyakit radang selaput
dada yang bisa mengakibatkan orang mengigau (ngelantur: jawa).”
اَلْفِقْهُ عَلَى الْمَذَاهِبِ الاَرْبَعَةِ: 1/87
اَلثَّانِي : التَّمْيِيْزُ فَلاَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ
مُمَيِّزٍ فَإِنْ كَانَ مَجْنُوْنًا لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُ وَإِنْ جَنَّ لَحْظَةً
مِنْ نَهَارٍ وَإِنْ كَانَ سَكْرَانَ أَوْ مُغْمًى عَلَيْهِ لاَ يَصِحُّ
صَوْمُهُمَا إِذَا كَانَ عَدَمُ التَّمْيِيْزِ مُسْتَغْرِقًا لِجَمِيْعِ
النَّهَارِ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَقَطْ فَيَصِحُّ وَيَكْفِي
وُجُوْدُ التَّمْيِيْزِ وَلَوْ حُكْمًا فَلَوْ نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ
وَنَامَ إِلَى اْلغُرُوْبِ صَحَّ صَوْمُهُ لِأَنَّهُ مَمَيِّزٌ حُكْمًا.
Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hlm 87:
“Yang kedua Tamyiz: maka tidak sah
berpuasa bagi selain tamyiz. Apabila seseorang itu gila maka tidak sah puasnya walaupun
gilanya hanya sebentar, apabila mabuk atau tidak sadarkan diri maka tidak sah
puasanya apabila tidak sadarnya itu selama sehari penuh, dengan demikian bila
mana mereka mendapatkan tamyiz di sebagian hari saja maka sah puasnya, dan
dalam permasalahan tamyiz ini cukup dengan adanya tamyiz walaupun sebatas hukum, andai kata seseorang
berniat puasa sebelum fajar lalu dia tidur sampai magrib maka puasanya sah karena
orang tersebut tamyiz secara hukum.”
رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1/170
أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاضِي مِنَ اْلوَقْتِ لاَ يَسَعُ
تِلْكَ الصّلاَةَ فَلاَ يَجِبُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ
قَطَعَ الْجَمَاهِيْرُ
وَقاَلَ أَبُوْ يَحْيَى الْبَلْخِي وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا حُكْمُ أَوَّلِ
الْوَقْتِ حُكْمُ آخِرِهِ فَيَجِبُ اْلقَضَاءُ بِإِدْرَاكِ رَكْعَةٍ أَوْ
تَكْبِيْرَةٍ عَلَى اْلأَظْهَرِ.
Kitab Roudhoh al-Tholibin, Juz I, hlm 170:
“Andai kata waktu yang telah lampau
tidak muat untuk melaksanakan sholat maka qodho’ sholat tersebut tidak wajib
menurut madzab syafi’i yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama, Abu Yahya
al-Balkhiy dan sebagian penganut syafi’i mengatakan bahwasannya hukum diawal
waktu itu seperti hukum diakhir waktu dengan demikian wajib mengqodho’ sholat
karena mendapatkan waktu yang cukup untuk sholat satu rokaat atau takbirotul
ihrom berdasarkan qoul yang lebih jelas.”
سلم التوفيق 1 /
72
فَاِنْ طَرَأَ مَانِعٌ كَحَيْضٍ بَعْدَ مَامَضَى مِنْ
وَقْتِهَا مَا يَسَعُهَا وَطُهْرُهَا لِنَحْوِ سَلِسٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا اَوْ
زَالَ الْمَانِعُ وَقَدْ بَقِيَ مِنَ اْلوَقْتِ قَدْرَ تَكْبِيْرَةٍ لَزِمَتْهُ
وَكَذَا مَا قَبْلَهَا اِنْ جُمِعَتْ مَعَهَا .
Kitab Sulam al-Taufiq,
Juz I, hlm 72:
“Apabila dating sesuatu untuk
menghalangi untuk sholat seperti haid setelah lewatnya waktu yang cukup untuk
melaksanakan sholat, dan cukup untuk bersuci bagi orang yang selalu hadats maka
wajib meng-qodho’ sholat tersebut, atau hilangnya sesuatu yang menghalangi
sholat dan masih tersisi waktu yang cukup untuk takbirotul ihrom maka wajib
melaksanakan sholat tersebut dan sholat sebelumnya apabila bisa dijama’.”
b.
Bersuci
dalam kondisi di atas diperbolehkan dengan mengusapkan kain yang telah dibasahi
kepada anggota yang sakit, dengan syarat air basahan kain tersebut bisa menetes
pada anggota wudlu’.
شَرْحُ الْوَجِيْزِ:2/295
(اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ) وَيَخَافَ مِنْ اِيْصَالِ الْمَاءِ
إِلَيْه فَيُغْسَلُ الصَّحِيْحُ بِقَدْرِ
اْلاِمْكَانِ وَيُتَلَطَّفُ إِذَا خَافَ سَيْلاَنَ الْمَاءِ إِلَى مَوْضِعِ
اْلعِلَّةِ بِوَضْعِ خِرْقَةٍ مَبْلُوْلَةٍ بِالْقُرْبِ مِنْهُ وَيَتَحَامَلُ
عَلَيْهَا لِيَنْغَسِلَ بِالْمُتَقَاطِرِ مِنْهَا
Kitab Syarh al-Wajiz,
Juz 2, hlm 290:
“Masalah kedua : mutawadhi khawatir
akan mengalirnya air pada luka, orang ini harus membasuh
anggota yang sehat semampunya. Dan pelan-pelan dengan meletakkan
kain yang dibasahi didekat anggota yang sakit serta menekan sedikit supaya
anggotanya terbasuh dengan tetesan air tersebut, bila mana dia takut untuk
menalirkan air.”
فَتَاوَى
السُّبْكَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ: 130/296
وَقَالَ آخَرُوْنَ وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا
وَعَامَّةُ الْفُقَهَاءِ: (عَلَيْهِ
إِجْرَاءُ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَلْكُهُ بِيَدِهِ ).
Kitab Fatawi al-Sabkah al-Islamiyah, Juz 130, hlm 296:
“Berkata ulama’ yang lain yaitu
pendapat ulama’ Syafi’iyah dan seluruh ulama’ fiqh bahwa wajib atas orang yang
wudhu untuk mengalirkan air pada anggota wudhu, dan tidak dicukupkan hanya
sekedar menggosok dengan tangan.”
5. Qadha’
(membayar hutang) Shalat
Fenomena
yang banyak kita temukan di masyarakat adalah sikap antusias mereka di dalam
menyambut datangnya bulan Ramadlan, seperti dengan berbondong-bondong pergi ke
masjid untuk melaksanakan salat sunah tarawih berjamaah, meskipun mungkin ada
di antara mereka yang sesekali bahkan sering meninggalkan salat fardlu lima
waktu, terutama pada bulan selain Ramadlan.
Pertanyaan:
a. Berdasarkan
kitab I’anah al-Thalibin (Hasyiyah Fath al-Mu’in) Juz 1 hal. 23 (cet.
Toha Putra Semarang), bahwa orang yang masih mempunyai tanggungan untuk meng-qadha’
(membayar hutang) shalat, ia diharamkan untuk melakukan shalat sunnah,
seperti tarawih. Adakah pendapat yang memperbolehkannya, meskipun masih
memiliki tanggungan qhadha’ tersebut?
b. Bagaimana
cara meng-qhadha’ shalat yang jumlahnya tidak diketahui atau lupa?
Jawaban:
a. Ada,
yaitu keterangan dalam kitab Al-Majmu’, bahwa seseorang yang masih mempunyai
tanggungan sholat fardhu sah dan mendapatkan pahala bila melaksanakan
sholat-sholat sunnah.
اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحَ
الْمُهُذَّبِ : 4 / 57
(فَرْعٌ) تَصِحُّ النَّوَافِلُ وَتُقْبَلُ وَاِنْ
كَانَتِ الْفَرَائِضُ نَاقِصَةً لِحَدِيْثَيْ اَبِي هُرَيْرَةَ وَتَمِيْمٍ
الدَّارِيّ السَّابِقَيْنِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ التَّاسِعَةِ وَالْعَاشِرَةِ:
وَأَمَّا الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مثل الْمُصَلِّي مِثْلُ
التَّاجِرِ لاَ يَخْلُصُ لَهُ رِبْحُهُ حَتىَّ يَخْلُصَ
رَأْسُ مَالِهِ كَذَلِكَ الْمُصَلِّي لاَ تُقْبَلُ نَافِلَتُهُ حَتىَّ يُؤَدِّيَ
الْفَرِيْضَةَ" فَحَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بَيَّنَ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرُهُ
ضُعْفَهُ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhdzdzab, Juz 4, hlm 57:
“(Far’) Sholat-sholat sunnah
berhukum sah dan diterima walaupun masih memiliki kekurangan (dalam
meng-qodho’) sholat fardhu karna berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Tamimi
Ad-Dari yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan dan kesepuluh : “
perumpamaan orang yang sholat seperti pedagang yang tidak akan bersih labanya
sehingga bersih modalnya, begitu juga orang yang sholat tidak diterima sholat
sunnahnya sehingga dia melaksanakan sholat wajib. Maka ini Hadits Dho’if, Imam Baihaqi
dan yang lain menjelaskan ke-dho’ifan hadits tersebut.”
b.
Jika kepastian jumlah shalat yang
ditinggalkan tidak diketahui, maka wajib meng-qadla shalat sejumlah
yang diyakini ditinggalkan atau tidak diragukan. Namun menurut qaul mu’tamad, wajib mengqadla’ shalat
yang ditinggalkan dengan melebihi jumlah yang diyakini, yaitu dengan
membandingkannya dengan jumlah shalat yang telah
dilaksanakan. (misalnya; dalam sebulan ia yakin shalat
sebanyak 10 hari, maka dia wajib mengqadla’ shalat
melebihi 20 hari).
الشَّرْقَاوِيّ:1/275
– 276
لَوْكَانَ عَلَيْهِ فَوَائِتُ وَاَرَادَ قَضَاؤَهَا
سُنَّ تَرْتِيْبُهَا ... وَاِذَا كَانَ لاَيَعْرِفُ عَدَدَهَا فَقَالَ
الْقَفَّالُ يَقْضِيْ مَا تَحَقَّقَ تَرْكُهُ اَيْ فَلاَ
يَقْضِي الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ
يَقْضِيْ مَا زَادَ عَلَى مَا تَحَقَّقَ فِعْلُهُ
فَيَقْضِي مَا ذُكِرَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. اهـ
Kitab Al-Syarqowiy, Juz 1, hlm 275-276:
“Apabila seseorang mempunyai beberapa
hutang shalat, dan ia bermaksud untuk meng-qadha’ maka disunnahkan meg-qadah’
sesuai urutan shalat. Dan apabila ia tidak mengetahui jumlah hutang shalatnya
maka menurut Imam Qofal dia wajib meng-qadha’ shalat yang diyakini ditinggalkan
artinya dia tidak meng-qadha’ shalat yang diragukan ditinggalkan. Al-Qodhi
Husain berkata: “dia diwajibkan meng-qadha’ dengan jumlah yang melebihi dari
shalat yang yakin dikerjakan. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat.”
6.
Aqiqah
Jika ada seorang yang beraqiqah
dengan 7 ekor kambing (misalnya; untuk 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan),
bolehkan ia menggantinya dengan 1 ekor sapi, sebagaimana hitungan dalam masalah
qurban?
Jawaban: Aqiqah dengan 1 ekor sapi seperti di atas diperbolehkan dan sah.
اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ
الْمُهَذَّبِ: 8 /429
(اَلثَّانِيَةُ) اُلسُّنَةُ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلاَمِ
شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ. فَاِنْ عُقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاةٌ
حَصَلَ أَصْلُ السُّنَةِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَلَوْ وُلِدَ لَه وَلَدَانِ
فَذُبِحَ عَنْهُمَا شَاةٌ لَمْ تَحْصُلْ العَقِيْقَةُ وَلَوْ ذَبَحَ بَقَرَةً أَوْ
بَدَنَةً عَنْ سَبْعَةِ أَوْلاَدٍ أَوِ اشْتَرَكَ فِيْهَا جَمَاعَةٌ جَازَ
سَوَاءٌ أَرَادُوْا كُلُّهُمْ العَقِيْقَةَ أَوْ أَرَادَ بَعْضُهُمْ العَقِيْقَةَ
وَبَعْضُهُمْ اللَحْمَ كَمَا سَبَقَ فِي اْلاُضْحِيَةِ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 8, hlm 429:
“Yang kedua: “ sunnah membuat aqiqoh
dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Apabila
membuat aqiqoh satu kambing untuk anak laki-laki maka sudah mendapat
kesunnahan. Apabila seseorang dikaruniai dua anak kemudian menyembelih satu
kambing maka belum dianggap aqiqoh. Dan apabila seseorang menyembelih seekor
sapi atau unta untuk tujuh anak, atau sekelompok orang bersama-sama menyembelih
seekor sapi atau unta maka hal tersebut boleh, baik mereka semua bertujuan untuk
aqiqoh, atau sebagian bertujuan aqiqoh dan sebagian yang lain sekedar mengambil
dagingnya. Seperti telah dijelaskan dalam bab qurban.”
7. Fidyah
dan Kafarat Puasa
a. Terhadap
kakek yang tidak mampu lagi berpuasa Ramadhan, bolehkah membayar semua fidyah-nya
sekaligus pada awal bulan Ramadhan?
Jawaban:
a.
Diperbolehkan membayar Fidyah setiap
hari setelah keluarnya fajar.
اَلْمَوْسُوْعَةُ اْلفِقْهِيَّةُ : 2/11539
وَقَالَ النَّوَوِيُّ : اِتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى
أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ للِشَّيْخِ الْعَاجِزِ وَالْمَرِيْضِ الَّذِيْ لاَ يُرْجَى
بَرَؤُهُ تَعْجِيْلُ الْفِدْيَةِ قَبْلَ دُخُوْلِ رَمَضَانَ، وَيَجُوْزُ بَعْدَ
طُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ
وَهَلْ يَجُوْزُ قَبْلَ الْفَجْرِ فِيْ رَمَضاَنَ ؟
قَطَعَ الدَّارِمِيّ بِالْجَوَازِ وَهُوَ الصَّوَابُ.
Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 2, hlm 11539:
“Imam Nawawi berkata: ulama’ Syafi’iyah
sepakat bahwa seorang yang tidak mampu lagi serta orang yang sakit yang tidak
lagi diharapkan sembuhnya tidak boleh mempercepat membayar fidyah sebelum masuk
romadhon, namun diperbolehkan membayar setelah fajar untuk tiap harinya. Apakah boleh dibayarkan sebelum fajar
? Imam Al-Darimiy berkata boleh.”
8. Wakaf
Masjid
Di
suatu daerah telah berdiri sebuah masjid tanpa memiliki halaman. Melihat
kondisi seperti itu, seorang warga setempat mewakafkan tanahnya yang berada di
dekat masjid tersebut, yang kemudian tanah tersebut didirikan masjid baru.
Sedangkan lokasi masjid yang lama
dijadikan halamannya.
Pertanyaan:
Bagaimana
status halaman bekas masjid lama tersebut? Dan bagaimana status wakafnya,
apakah masih sebagai Amal Jariyah atau tidak?
Jawaban: Tetap menjadi tanah wakaf, dan menjadi amal jariyahnya
فَتْحُ الْمُعِيْنِ:
211
(وَلاَ يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ وَإِنْ خَرِبَ) فَلَوِ انْهَدَمَ
مَسْجِدٌ وَتَعَذَّرَتْ إِعَادَتُهُ: لَمْ يُبَعْ، وَلاَ يَعُوْدُ مِلْكًا
بِحَالٍ- ِلاِمْكَانِ الصَّلاَةِ وَاْلاِعْتِكَافِ فِي أَرْضِهِ.
Kitab Fath al-Mu’in, hlm 211:
“Dan tidak diperbolehkan menjual
barang yang di-waqof-kan walaupun roboh, maka apabila ada masjid roboh dan
tidak bisa dikembalikan maka tidak boleh dijual dan tidak kembali menjadi milik
waqif, karena masih bisa shalat dan I’tikaf ditanah tersebut.”
KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL KE III
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di PP.
Hidayatul Fudhola’
Sri Gunung-Sungai Lilin-Musi Banyuasin
Hari / Tanggal: Sabtu, 8
Januari 2011 M. / 3 Safar 1432 H.
1. Sebagaimana banyak diterangkan di kitab-kitab fiqh, bahwa ada
beberapa macam ilmu yang wajib (fardhu ‘ain) dipelajari oleh
muslim/muslimah, di antaranya ilmu tentang sholat, thoharoh dan hal-hal yang
terkait dengannya. Namun dewasa ini banyak wanita yang belum memahami ilmu
tentang kewanitaan seperti haid, karena memang kurikulum dari Depag &
Diknas tidak ada yang secara khusus menjelaskannya, sehingga tamat dari Sekolah
mereka belum bisa memahami ilmu tersebut. Dan selanjutnya mereka meneruskan belajar
ke perguruan tinggi dengan tidak lagi
mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Pertanyaan :
a.
Bagaimana
hukumnya wanita yang tidak lagi mempelajari ilmu tentang haid?
b.
Sebatas
mana seorang wanita harus memahami ilmu-ilmu tersebut?
c.
Berdosakah
pengelola yayasan/ sekolah yang tidak mengajarkan ilmu-ilmu yang wajib (fardhu
‘ain) untuk dipelajari, seperti ilmu tentang kewanitaan?
d.
Ilmu
apa saja yang wajib dipelajari (fardu ‘ain) oleh seseorang seperti yang dijelaskan di dalam hadits?
(PCNU OKU INDUK)
Jawaban:
a. Bagi wanita yang telah masuk usia haid tetapi ia belum
memahami tentang Haid dan permasalahannya, maka haram baginya meninggalkan
(tidak) belajar tentang ilmu haid dan permasalahannya itu, karena ilmu tersebut
berhukum fardlu ain.
الإقْنَاعُ فِي حِلِّ أَلْفَاظِ أَبِي شُجَاعٍ
لِمُوْسَى الْحِجَاوِيّ :1 /94
فَائِدَةٌ:
حَكَى اَلْغَزَالِي أَنَّ اْلوَطْئَ قَبْلَ اْلغُسْلِ يُوْرِثُ الْجُذَامَ فِي اْلوَلَدِ، وَيَجِبُ
عَلَى اْلمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ
وَاْلاِسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ
تَعْلِيْمُهَا، وَإِلاَّ فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ اْلعُلَمَاءِ، بَلْ يَجِبُ
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا
إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا فَتَسْتَغْنِي بِذَلِكَ، وَلَيْسَ لَهَا
اْلخُرُوْجُ إِلَى مَجْلِسِ ذِكْرٍ أَوْ تَعْلِيْمِ خَيْرٍ إِلاَّ بِرِضاَهُ
Kitab Al-Iqna’ Fi Hil Alfadhi Abi Suja’ Li Musa
al-Hijawiy, Juz 1, hlm 94:
“Faidah : telah
dikisahkan oleh Imam Ghozali bahwa sesungguhnya bersenggama sebelum mandi (bagi
wanita yang berhenti dari hadats besar) itu bisa mengakibatkan penyakit judam
(kusta) pada anak. Wajib bagi seorang wanita mengetahui ilmu yang dibutuhkannya termasuk
hukum-hukum haid, istihadzoh, serta nifas. Andai suaminya
mengetahui ilmu tersebut maka wajib mengajarinya, dan andaikan tidak bisa maka
wanita tersebut diperbolehkan keluar untuk mengaji / bertanya pada ulama’
bahkan wajib dan haram bagi suami tersebut melarang isterinya, kecuali dia mau
bertanya dan memberi tahukan kepada isterinya sehingga isterinya sudah merasa
cukup dengan berita / kabar darinya,seorang isteri tidak boleh keluar menuju tempat dzikir
atau tempat belajar kebaikan kecuali dengan ridhonya.”
تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ فِي شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: 43
/ 426,
(
تَنْبِيهٌ ) يَنْبَغِي أَنْ
يَكُونَ مِنْ الْكَبَائِرِ تَرْكُ تَعَلُّمِ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ مَا
هُوَ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَيْهِ لَكِنْ مِنْ الْمَسَائِلِ الظَّاهِرَةِ لَا
الْخَفِيَّةِ.
Kitab Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj, Juz 43, hlm 426:
“Tanbih: Selayaknya sebagian dosa
besar bagi yang meninggalkan belajar ilmu yang bisa mengesahkan fardhu ‘ain
hanya saja sebatas permasalahan yang jelas bukannya permsalahannya yang samar.”
b. Sebatas ilmu yang ia butuhkan untuk
melaksanakan hal-hal yang difardlukan, sehingga perkara fardlu yang telah ia
laksanakan dihukumi sah. Misalnya dalam hal sholat, maka ia wajib mempelajari
tentang syarat, rukun dan hal-hal terkait dengan shalat sehingga menjadikan
sholat yang
ia lakukan itu sah.
إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ: 4/ 80
(قَوْلُهُ
وَمِنْهَا) أَيْ مِنَ اْلمَوَاضِعِ الْمَذْكُوْرَةِ وَقَوْلُهُ خُرُوْجُهَا
لِتَعَلُّمِ اْلعُلُوْمِ اْلعَيْنِيَّةِ أَيْ كَاْلوَاجِبِ تَعَلُّمُهُ مِنَ اْلعَقَائِدِ
وَاْلوَاجِبِ تَعَلُّمُهُ مِمَّا يُصَحِّحُ الصَّلاَةَ وَالصِّياَمَ وَالْحَجَّ
وَنَحْوَهَا.
Kitab I’anah al-Tholibiin, Juz 4, hlm 80:
“(Qouluhu
Khurujuha) termasuk tempat-tempat yang boleh didatangi yaitu tempat
keluarnya seorang wanita untuk mencari ilmu yang ‘ainiyah (ilmu pribadi)
contohnya seperti ilmu yang wajib dipelajarinya yaitu ilmu aqo’id, dan perkara
yang wajib dipelajarinya yaitu ilmu yang mengesahkan sholat, puasa, haji dan
sebagainya.”
c.
Jika
pengelola yayasan mengetahui muridnya tidak mengetahui ilmu fardlu ain itu,
maka berdosa jika membiarkannya, sementara pihak yayasan mampu memberikan
pelajaran tentang ilmu itu. Dan apabila tidak mampu, maka harus memberi kesempatan
muridnya untuk belajar di luar.
سُلَّمُ التَّوْفِيْقِ :ص.15
{فَصْلٌ} يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَدَاءُ جَمِيْعِ مَا
اَوْجَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ قَهْرُهُ عَلَى ذَلِكَ اِنْ قَدَرَ
عَلَيْهِ وَاِلاَّ فَيَجِبُ عَلَيْهِ اْلاِنْكاَرُ بِقَلْبِهِ اِنْ عَجَزَ
عَنِ اْلقَهْرِ وَاْلاَمْرِ وَذَالِكَ اَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ.
Kitab Sulam al-Taufiq, hlm 15:
“Faslun: Wajib bagi setiap mukallaf untuk
melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah, dan wajib pula memaksa orang
lain untuk melaksanakan kewajiban tersebut apabila punya kemampuan, dan bila
tidak punya kemampuan maka wajib ingkar dengan hati bila mana lemah untuk
memaksa dan memerintah dan ini adalah iman yang paling lemah.”
مُغْنِي الْمُحْتَاجِ إِلَى مَعْرِفَةِ
أَلْفَاظِ الْمِنْهَاجِ : 1/296
وَيَجِبُ عَلَى اْلمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ
إِلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَاْلاِسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ
تَعْلِيْمُهَا، وَإِلاَّ فَلَهَا الْخُرُوْجُ لِسُؤَالِ اْلعُلَمَاءِ، بَلْ يَجِبُ
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا
إِلاَّ أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا
Kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Alfadzi al-Minhaj, Juz 1, hlm 296.
“Wajib bagi seorang wanita
mempelajari ilmu yang dibutuhkannya yakni ilmu haid, istihdzoh dan nifas, andai
kata suaminya alim maka dia wajib mengajarinya, andaikata suaminya tidak alim
maka wanita tersebut boleh keluar untuk bertanya pada ulama’ bahkan wajib, dan
haram bagi seorang suami menghalanginya kecuali dia mau bertanya dan memberi
keterangan kepada isterinya.”
d. Ilmu
hal
(ilmu yang dibutuhkan untuk hal-hal yang sedang dihadapi), seperti pedagang,
maka diwajibkan mempelajari ilmu tentang jual beli.
تَعْلِيْمُ الْمُتَعَلِّمِ : 4
يُفْتَرَضُ عَلَى الْمُسْلِمِ طَلَبُ عِلْمِ مَا يَقَعُ
لَهُ فِي حَالِهِ فِي اَيِّ حَالٍ كَانَ فَاِنَّهُ لاَبُدَّ لَهُ مِنَ الصَّلاَةِ
فَيُفْتَرَضُ عَلَيْهِ عِلْمُ مَا يَقَعُ لَهُ فِي صَلاَتِهِ بِقَدْرِمَا
يُؤَدِّيْ بِهِ فَرْضَ الصَّلاَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ عِلْمُ مَا يَقَعُ لَهُ
بِقَدْرِ مَا يُؤَدِّي بِهِ الْوَاجِبَ
لاِنَّ مَا يُتَوَسَّلُ بِهِ اِلَى اِقَامَةِ اْلفَرْضِ يَكُوْنُ فَرْضًا وَمَا
يُتَوَسَّلُ بِهَا اِلَى اِقَامَةِ اْلوَاجِبِ يَكُوْنُ وَاجِباً وَكَذاَلِكَ فِي
الصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ اِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ وَالْحَجِّ اِنْ وَجَبَ عَلَيْهِ
وَكَذَالِكَ فِي الْبُيُوْعِ اِنْ كَانَ يَتَّجِرُ.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim, hlm 4:
“Wajib bagi orang muslim
mempelajari ilmu yang terjadi pada setiap keberadaannya (ilmu kondisional)
sesungguhnya wajib bagi orang muslim yaitu sholat oleh karenanya wajib pula
mempelajari ilmu sholat sebatas dia bisa melaksanakan fardhunya sholat. Wajib
pula mempelajari ilmu yang bisa menyempurnakan kewajiban, karena setiap perkara
yang digunakan untuk menyempurnakan fardhu maka hukumnya fardhu pula, dan
setiap perkara yang digunakan untuk meyempurnakan kewajiban maka hukumnya wajib
pula, demikian juga dalam permasalahan puasa dan zakat andai mempunyai harta,
juga haji andai sudah wajib haji, demikian juga wajib mengetahui ilmu
perdagangan bila menjadi pengusaha/ pedagang.
2. Sudah menjadi rahasia umum, setiap pengajuan proposal nominal
yang dicantumkan dalam anggaran selalu diperbesar dari kebutuhan riil, bahkan sering sumbangan dari pemerintah tidak
di alokasikan pada aturan yang telah ditetapkan penyumbang/ pemerintah, namun
dalam pelaporannya disesuaikan dengan ketentuan dari pemerintah.
Pertanyaan:
a.
Bagaimana
hukumnya memanipulasi data dalam pengajuan proposal/ laporan sumbangan ?
b.
Bagaimana
hukumnya mengalokasikan dana bantuan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan
kehendak penyumbang/ pemerintah ?
Jawaban:
a. Memanipulasi data berhukum haram,
namun jika manipulasi data tersebut merupakan jalan satu-satunya, dan dia
termasuk orang yang berhak menerima bantuan tersebut, maka diperbolehkan.
الفَتَاوَى الْفِقْهِيَّةُ الْكُبْرَى:1 / 463
لَوْ
لَمْ يَدْفَعْ السُّلْطَانُ إلَى كُلِّ الْمُسْتَحَقِّينَ حُقُوقَهُمْ مِنْ بَيْتِ
الْمَالِ فَهَلْ يَجُوزُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهُ قَالَ فِيهِ أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ
أَحَدُهَا لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ مُشْتَرَكٌ وَلَا يَدْرِي حِصَّتَهُ مِنْهُ
حَبَّةً أَوْ دَانَقَ أَوْ غَيْرَهُمَا وَهُوَ غُلُوٌّ وَالثَّانِي يَأْخُذُ قُوتَ
كُلِّ يَوْمٍ فِيهِ وَالثَّالِثُ كِفَايَةُ سَنَةٍ وَالرَّابِعُ يَأْخُذُ مَا
يُعْطَى وَهُوَ حَقُّهُ.
Kitab Al-Fatawiy Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 1, hlm 463.
Andaikata pemerintah tidak mau
menyerahkan harta dari baitul mal pada yang berhak, apakah boleh harta tersebut
diambil paksa? Mushonnif menjawab: permasalahan tersebut terdapat empat madzab.
1.
Tidak
boleh, karena harta tersebut bercampur dengan yang lain dan tidak diketahui
sedikit pun yang mana kira-kira yang menjadi bagiannya, Sedangkan harta tersebut
adalah harta yang berharga.
2.
Boleh
mengambil makanan pokok pada tiap harinya.
3.
Boleh
mengambil sebanyak perbekalan hidup satu tahun.
4.
Mengambil
harta sebatas yang hendak diberikan yakni haknya sendiri.
اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ: 9/ 349
فَرْعٌ: قَالَ
اْلغَزَالِي مَالُ اْلمَصَالِحِ لاَ يَجُوْزُ
صَرْفُهُ اِلاَّ لِمَنْ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتاَجٌ عَاجِزٌ
عَنِ اْلكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إِلَى
اْلمُسْلِمِيْنَ وَلَوْ اِشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ
فِيْهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ اْلمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيْهِ جَمِيْعُ
اَنْواَعِ عُلَماَءِ الدِّيْنَ كَعِلْمِ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَاْلفِقْهِ
وَاْلقِرَاءَةِ وَنَحْوِهاَ يَدْخُلُ فِيْهِ طَلَبَةُ هَذِهِ اْلعُلُوْمِ وَاْلقُضَاةُ
وَاْلمُؤَذِنُوْنَ وَاْلاَجْنَادُ. وَيَجُوْزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلاَءِ مَعَ
اْلغَنِيْ وَيَكُوْنُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إِلَى رَأْىِ السُّلْطَانِ وَماَ
تَقْتَضِيْهِ اْلمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضَيْقِ اْلمَالِ وَسَعَتِهِ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 9, hlm 349:
“Far’un: Imam Ghozali berkata:
harta yang disediyakan untuk kepentingan umat itu tidak boleh dialokasikan
kecuali kepada orang yang penuh dengan kemaslahatan umat (kepentingan umum)
atau kepada orang lemah yang tidak punya pekerjaan, seperti orang yang
menguasai urusan untuk kepentingan umat muslim di mana kalau dia bekerja maka
gagallah urusan tersebut, maka orang ini berhak mengambil investasi dari baitul
mal, dengan demikian masuklah dalam kata gori ini yaitu seluruh tokoh agama
seperti guru ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain sebagainya. Temasuk dalam kategori ini pula yaitu
para santri, penegak hukum, muadzin dan pasukan perang.
Diperbolehkan memberi harta pada orang-orang tersebut walaupun mereka kaya dan
kadar pemberiannya tergantung pemberian pemeritah dan menurut kadar yang dibutuhkan
untuk kemaslahatan umat, dan pemberian harta tersebut berbeda-beda dengan
melihat banyak tidaknya kas negara.
إعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ :3/288
قاَلَ فِي اْلاِحْياَءِ، وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ أَنْ
كُلَّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ إِلَيْهِ بِالصِّدْقِ
وَالْكِذْبِ جَمِيْعًا، اَلْكِذْبُ فِيْهِ حَرَامٌ أَوْ بِالكِذْبِ وَحْدَهُ
فَمُبَاحٌ إِنْ أُبِيْحَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ الْمَقْصُوْدِ.
Kitab I’anah at-Tholibin, Juz 3, hlm 288:
“Imam Ghozali berkata dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin: yang menjadi qoidah pada hal tersebut ialah setiap tujuan yang
terpuji itu mungkin saja diraih dengan cara jujur dan bohong, maka berbohong
dalam permasalahan tersebut hukumnya haram, dan atau meraih dengan cara
berbohong saja,maka berbohong diperbolehkan ini diperbolehkan apabila
diperbolehkan meraih tujuan tersebut dengan cara ini.”
b. Untuk sumbangan dari pemerintah boleh
pengelokasiannya dirubah apabila lebih maslahah dan tidak ada tanda-tanda
keharusan melaksanakan aturan pemerintah, karena pihak yayasan diposisikan
sebagai wakil dari pemerintah yang selaku pemberi sumbangan. Dan apabila
sumbangan itu berasal dari pihak swasta, maka harus sesuai dengan tujuan
penyumbang, kecuali bila ada tanda-tanda kerelaan penyumbang untuk dialokasikan
dalam bentuk apapun.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 310
لَوْ
عَيَّنَ الْمُوَكِّلُ سُوْقاً أَوْ قَدْراً أَوْ مُشْتَرِياً، وَدَلَّتِ
اْلقَرَائِنُ عَلَى ذَلِكَ لِغَيْرِ غَرَضٍ أَوْ لمَ تَدُلَّ وَكَانَتِ
اْلمصْلَحَةُ فِي خِلاَفِهِ، جَازَ لِلْوَكِيْلِ مُخَالَفَتُهُ وَلاَ يَلْزَمُهُ
فِعْلُ مَا وُكِّلَ فِيْهِ.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 310:
“Andai kata muwakkil (pihak
pertama) menentukan pasar, kadar (ukuran) dan konsumen, sedangkan di sana
terdapat isyarat pada selain yang ditentukan, atau isyarat tersebut tidak
menunjukkan akan keharusan untuk melaksanakan ketentuan dari muwakkil tersebut,
sedangkan kemaslahatannya justru terdapat pada selain yang ditentukan, dengan
demikian diperbolehkan bagi seorang wakil (pihak kedua) untuk melaksanakan hal
yang diluar ketentuan muwakkil dan tidak wajib melaksanakan apa saja yang
diwakilkannya.”
حَاشِيَةُ الْجَمَلِ: 8 / 44
مَتَى
حَلَّ لَهُ الْأَخْذُ وَأَعْطَاهُ لِأَجْلِ صِفَةٍ مُعَيَّنَةٍ لَمْ يَجُزْ لَهُ
صَرْفُ مَا أَخَذَهُ فِي غَيْرِهَا فَلَوْ أَعْطَاهُ دِرْهَمًا لِيَأْخُذَ بِهِ
رَغِيفًا لَمْ يَجُزْ لَهُ صَرْفُهُ فِي إدَامٍ مَثَلًا أَوْ أَعْطَاهُ رَغِيفًا
لِيَأْكُلَهُ لَمْ يَجُزْ لَهُ بَيْعُهُ وَلَا التَّصَدُّقُ بِهِ وَهَكَذَا إلَّا
إنْ ظَهَرَتْ قَرِينَةٌ بِأَنْ ذَكَرَ الصِّفَةَ لِنَحْوِ تَجَمُّلٍ كَقَوْلِهِ
لِتَشْرَبَ بِهِ قَهْوَةً مَثَلًا فَيَجُوزُ صَرْفُهُ فِيمَا شَاء.
Kitab Hasyiyah al-Jamal, Juz 8, hlm 44:
“Kapan saja halal bagi wakil untuk
mengambil harta serta memberikan, karena ada sifat yang jelas maka dia tidak
boleh mengalokasikan harta pada selain sifat tersebut. Andai muwakkil
memberikan satu dirham untuk membeli roti maka tidak diperbolehkan bagi wakil
untuk membelikan lauk pauk, dan atau dia memberikan roti untuk dimakan maka
tidak diperbolehkan membelanjakan dan menyedekahkan uang tersebut, kecuali
terdapat isyarat atau qorinah seperti contoh muwakkil menyebutkan sifat yang
semisal kembang bibir seperti ucapan muwakkil (ini uang untuk membeli kopi)
maka diperbolehkan bagi wakil untuk membelanjakan uang tersebut sesuai
kehendaknya.
3.
Membina
rumah tangga yang harmonis menjadi harapan setiap orang, namun dalam
kenyataanya hal ini bukan sesuatu yang mudah. Karena ada sautu masalah seorang
suami berkata pada isterinya “ kalau begini terus kamu saya tholaq “
dan ternyata masalah tersebut sering terulang, namun setelah kejadian suami
tidak sampai mengatakan “ kamu saya tholaq “ dia hanya mengucapkan seperti kata
diatas.
Pertanyaan:
Sudahkah
ucapan suami tersebut termasuk tholaq?
Jawaban:
Ucapan suami tersebut bukan termasuk
thalaq, hanya sekedar ancaman untuk menolak.
أَسْنَى
الْمَطاَلِبِ : 16 / 358
(
قَوْلُهُ الطَّرَفُ الثَّانِي فِي التَّعْلِيقِ بِالتَّطْلِيقِ إلَخْ ) قَالَ
رَجُلٌ لِامْرَأَتِهِ طَلَّقْتُك إنْ دَخَلْت الدَّارَ أَوْ إنْ دَخَلْت الدَّارَ
فَطَلَّقْتُك قَالَ الْكِنْدِيُّ عُرِضَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ بِدِمَشْقَ
مَنْسُوبَةً إلَى الْجَامِعِ الْكَبِيرِ لِمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ وَلَيْسَتْ مَذْكُورَةً
فِي كُتُبِ الشَّافِعِيَّةِ ثُمَّ أَجَابَ فِيهَا بِأَنَّ طَلَّقْتُك إنْ دَخَلْت
الدَّارَ تَطْلُقُ فِي الْحَالِ وَأَمَّا إنْ دَخَلْت الدَّارَ طَلَّقْتُك فَلَا
تَطْلُقُ إلَّا عِنْدَ دُخُولِ الدَّارِ قَالَ السُّبْكِيُّ أَخْطَأَ الْكِنْدِيُّ
فِيمَا قَالَهُ وَالصَّوَابُ أَنَّ الطَّلَاقَ فِي الْأُولَى يَقَعُ عِنْدَ
دُخُولِ الدَّارِ لَا قَبْلَهُ وَفِي الثَّانِيَةِ لَا يَقَعُ أَصْلًا إلَّا أَنْ
يَنْوِيَ بِقَوْلِهِ طَلَّقْتُك مَعْنًى أَنْتِ طَالِقٌ فَيَقَعُ عِنْدَ وُجُودِ
الشَّرْطِ.
Kitab Asna al-Matholib, Juz
16, hlm 358:
( قوله
الصواب الخ) sesungguhnya
tholaq dalam permasalahan yang pertama (kamu saya tolaq apabila kamu masuk
rumah) akan terjadi pada saat masuk rumah. Sedang pada permasalahan yang kedua
(apabila kamu masuk rumah maka aku akan menolaqmu) sama sekali tidak terjadi
tholaq kecuali adanya niat yang bersamaan dengan ucapannya semisal: “aku
telah menolakmu” dalam artian “kamu telah tertolak”. Maka terjadilah
tholak tersebut dengan terwujudnya syarat.
فتاوى كبرى: 4/145
سُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِعُلُومِهِ
وَبَرَكَتِهِ الْمُسْلِمِينَ عَمَّنْ قال إن دَخَلْت الدَّارَ طَلَّقْتُك فَهَلْ
هو تَعْلِيقٌ أو لَغْوٌ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَصَّ في الْأُمِّ على أَنَّهُ
وَعْدٌ فَيَكُونُ لَغْوًا نعم إنْ ذَكَرَ قَبْلَهُ "قد" لَفْظًا أو
نِيَّةً كان تَعْلِيقًا لِانْسِلَاخِهِ عن الْوَعْدِ حِينَئِذٍ وَاَللَّهُ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.
Kitab Fatawiy Kubro, Juz 4, hlm 145:
“Ada
seseorang yang berkata “andaikan kamu masuk rumah maka kamu aku tholak”.
Apakah perkataan ini termasuk “ta’liq” ataukah sekedar perkataan yang
tiada arti? Dalam hal ini Imam Syafi’i menuliskan didalam kitab “al-Umm”
bahwasannya ucapan tersebut dikategorikan ancaman untuk menolaq dengan demikian
perkataan tersebut tiada arti, oh ya! Andai kata sebelum perkataan tersebut dia
menyebutkan kalimat “qod” (pasti) secara lafdziah atau kira-kiranya maka
perkataan tersebut tergolong “ta’liq” sebab qod memberi faedah menghapus
ancaman.”
4.
Pergaulan
muda-mudi yang tidak terkendali terkadang menimbulkan kecelakaan, sehingga tidak
jarang seorang wanita hamil diluar nikah, karna untuk menutupi rasa malu,
buru-buru orangtuanya menikahkannya sebelum wanita tersebut melahirkan.
Pertanyaan
a.
Sahkah
menikahi wanita yang sedang hamil karena zina ?
b.
Bernasabkah
anak yang lahir karena kehamilan tersebut ?
c.
Dan
andaikan tidak bernasab, adakah pendapat yang memperbolehkan bapak yang
menghamili ibunya, sebagai wali karena untuk menutupi kalau dia anak hasil zina
?
d.
Apakah
anak tersebut mendapat warisan ?, bila salah satu kedua orang tuanya ( ibu dan
bapak yang zina ) meninggal dunia?
e.
Dan
bila yang menikahi bukan orang yang menghamilinya, sementara anak yang dikandung itu lahir lebih dari enam bulan dari
pernikahan, kemanakah nasab anak tersebut ?
f.
Apakah
pembuktian nasab melalui tes DNA bisa dibenarkan ?
Jawaban :
a.
Sah.
بُغْيَةُ
الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/419
(مسألة
: ي ش) : يَجُوْزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ مِنَ الزِّناَ سَوَاءٌ الزَانِي وَغَيْرُهُ
وَوَطْؤُهَا حِيْنَئِذٍ مَعَ اْلكَرَاهَةِ.
Kitab Bughyah
al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 419:
“Diperbolehkan menikahi wanita yang
hamil karena zina baik yang menzinahinya atau orang lain, hanya saja
menyetubuhinya saat masih hamil hukumnya makruh.”
b. Bernasab
kepada ibu yang mengandungnya, bila diyakini anak dari perzinahan
seperti anak itu lahir sebelum enam bulan dari pernikahan.
اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 2 / 146
(قَوْلُهُ:
وَيَقُوْلُ فِي وَلَدِ الزِّناَ إلخ) أَيْ لاِنَّهُ لاَ يُنْسَبُ إَلَى أَبٍ،
وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلىَ أُمِّهِ.
Kitab I’anah
al-Tholibin, Juz 2, hlm 146:
“Musonnif berkata tentang anak zina
“karena anak zina tidak bernasab kepada bapak akan tetapi bernasab kepada ibu”
c. Ada
(menurut madzhab Hanafi), apabila orang yang menghamili itu menikahinya
walaupun sehari sebelum kelahiran.
اَلْحَاوِي
الْكَبِيْر : 8 / 454
فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ
بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ
أَبُو حَنِيفَةَ : إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ
بِهِ الْوَلَدُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِه.
Kitab Al-Hawiy Al-Kabir,
Juz 8, hlm 454:
“Madzhab Syafi’I sesungguhnya anak
zina tidak bisa bernasab kepada yang menzinahinya walaupun dia mengakuinya,
imam Abu Hanifah berkata: apabila orang yang menzinahi menikahi wanita yang ia
zinahi sebelum wanita itu melahirkan walaupun jarak sehari maka anak tersebut
bernasab dengan orang yang menzinahi ibunya, dan apabila tidak menikahi maka
tidak bernasab.”
d.
Bila
yang meninggal ibunya maka dia mendapat waris sebab dia bernasab kepada ibu,
dan bila yang meninggal ayahnya maka tidak mendapat warisan kecuali mengikuti
pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak zina bisa bernasab kepada
ayah yang menghamilinya apabila ibunya telah dinikahi sebelum melahirkan.
فَيْضُ الْقَدِيْرِ : 3 / 148
وَلَدُ زِنَا لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرَثُ لأِنَّ
الشَّرْعَ قَطَعَ اْلوُصْلَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الزَّانِي …إِلاَّ مِنْ قِبَلِ أُمِّهِ وَمَاءُ الزِّنَا لاَ حُرْمَةَ
لَهُ مُطْلَقًا وَلاَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ التَّحْرِيْمِ
وَالتَّوَارُثِ وَنَحْوِهِمَا عِنْدَ الشاَفِعِيَّةِ.
Kitab Faidhu al-Qodir, Juz 3, hlm 148:
“Anak zina tidak bisa mewaris dan
tidak bisa diwaris, karena syari’at memutus persambungan antara anak dengan
orang yang berzina kecuali dari arah ibunya, dan seperma zina tidak ada
kemuliaan sama sekali secara mutlak, dan juga tidak ada keterkaitan dengan
sesuatu dari hukum mahrom, waris-mewaris dan sesamanya menurut ulama
Syafi’iyah.”
e. Anak
itu bernasab kepada orang yang menikahi apabila:
- Anak
lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, namun suami
wajib menafikan anak apabila ia yakin anak itu bukan anaknya, seperti ia tidak
pernah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
- Anak
lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia yakin
itu anaknya, sebab ia telah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
- Anak
lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia tidak
tahu apakah kehamilan istrinya dari pernikahan atau dari perzinahan.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : 1 / 496
(مسألة : ي ش) : نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّناَ فَوَلَدَتْ كَامِلاً كَانَ
لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ .... وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَتَثْبُتُ لَهُ
اْلأَحْكَامُ إِرْثاً وَغَيْرَهُ ظاَهِراً ، وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ بِأَنْ
وَلَدَتْهُ لأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ وَأَقَلَّ مِنَ اْلأَرْبَعِ السِّنِيْنَ،
وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِأَنْ لَمْ
يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ،....... وَإِمَّا لاَ حَقَّ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ
بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ كُفْرٌ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ
مِنْهُ ، أَوِ اسْتَوَى اْلأَمْرَانِ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ
فَأَكْثَرَ إِلَى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ .
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 496:
“Seseorang yang menikahi wanita
yang hamil karena zina kemudian wanita itu melahirkan anak yang sempurna, maka
ada empat hukum terkait dengannya. Adakalanya anak itu ditemukan (bernasab)
dengan orang yang menikahi ibunya serta ditetapkannya beberapa hukum padanya
seperti hukum warits dan yang lain, namun secara lahiriah saja, dan wajib
baginya (orang yang menikahi) menafikan anak tersebut seperti anak itu lahir
diatas enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, serta suami
mengetahui atau menduga kuat bahwa anak itu bukan anaknya, sebab ia tidak
pernah mengumpuli dan istrinya tidak pernah memasukkan seperma. Dan adakalanya
anak itu bernasab serta haram bahkan dosa besar bagi suami menafikannya bila ia
menduga kuat bahwa itu anaknya, atau kemungkinan sama (mungkin itu anaknya atau
anak hasil zina) seperti anak itu lahir tidak kurang dari enam bulan dan tidak
melebihi empat tahun dari dia mengumpuli istrinya.”
f. Bisa
dibenarkan.
اَلمْجْمُوْعُ
شَرْحُ اْلمُهَذَّبِ: 17/ 410
وَلَنَا أَنَّهُ يُمْكِنُ اْلاِسْتِعَانَةُ بِالطِّبِّ
الشَّرْعِيِّ فِي تَحْلِيْلِ فَصَائِلِ دَمِ كُلٍّ مِنَ الرَّجُلَيْنِ وَالاُمِّ
فَإِنْ تَشَابَهَتْ فَصَائِلُ الدَّمِ عِنْدَهُمَا أُخِذَ بِالْقَافَةِ.
Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 17, hlm 410:
“Bagi kita: mungkin saja meminta
tolong pada doter syari’at untuk menguraikan sendi-sendi darahnya laki-laki dan
perempuan juga ibu, apabila terjadi keserupaan diantara sendi-sendi darah di
antara laki-laki dan perempuan tersebut maka harus mengambil ketentuan dari
para ahli.”
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/321
وَأَمَّا مُجَرَّدُ وُجُوْدِ كِتَابٍ أَوْ كُتُبٍ أَنَّ
فُلاَناً ابْنَ عَمٍّ لِأَبَوَيْنِ مَثَلاً فَلَيْسَ بِحُجَّةٍ يَتَرَتَّبُ
عَلَيْهَا اسْتِحْقَاقُهُ الْإِرْثَ دُوْنَ ابْنِ الْعَمِ الآخَرِ، وَلاَ مُرَجِّحاً مِنْ جَانِبِهِ حَتَّى
تَكُوْنَ الْيَمِيْنُ فِي جِهَتِهِ إِذْ يَحْتَمِلُ تَزْوِيْرُهُ، نَعَمْ لَوْ
فُرِضَ ذَلِكَ فِي مُصَنَّفٍ اعْتَنَى فِيْهِ صَاحِبُهُ بِحِفْظِ النَّسَبِ،
وَاشْتَهَرَ بِكَوْنِهِ ذَا عِلْمٍ بِذَلِكَ وَدِيَانَةٍ وَوَرَعٍ عَنِ التَّكَلُّمِ
بِلاَ عِلْمٍ، وَلَمْ يَقَعْ فِيْهِ طَعْنٌ مِنْ مُعْتَبَرٍ، أَفَادَ
اْلحَاكِمُ إِمَّا عِلْماً ضَرُوْرِياً أَوْ نَظَرِيّاً أَوْ ظَنّاً غَالِباً،
يَجُوْزُ لَهُ اْلاِسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالْحُكْمُ بِعِلْمِهِ بِنَاءً عَلَى
الْأَصَحِّ مِنْ جَوَازِهِ فِي غَيْرِ الْحُدُوْدِ، وَحِيْنَئِذٍ لاَ حَاجَةَ
إِلَى يَمِيْنِ الْمُدَّعِيْ.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1, hlm 321:
“Adapun satu tulisan atau beberapa
tulisan seperti “sesungguhnya fulan ibnu ‘am itu tunggal bapak ibu” maka
tulisan itu tidak bisa dijadikan pedoman yang berdampak untuk mendapatkan
warisan bukan ibnu ‘am yang lain, dan tidak mengunggulkan dari sisinya sehingga
ada sumpah dari orang yang bersangkutan, karena bisa jadi terjadi kesalahan pada tulisan tersebut. Ya,
benar, andaikan tulisan tersebut terbukukan dan pemiliknya berpegang pada
tulisan tersebut untuk menjaga nasab, dan ia dikenal orang yang mengerti hal
itu, yang kuat agamanya dan menjaga dari berbicara dengan tanpa mengetahui,
serta tidak ada cacat dalam tulisan tersebut. Sedangkan seorang hakim bisa
mengambil keputusan dengan sebab pengetahuan yang pasti atau pandangan serta
dugaan yang kuat, maka hakim boleh berpegang dengan tulisan tersebut dan
menghukumi sesuai dangan apa yang ia ketahui berpegang pada pendapat ashoh hal diatas
diperbolehkan selain urusan had, maka tidak perlu sumpahnya orang yang
mendakwa.”
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/ 588
وعبارة س : وَلَنَا وَجْهُ أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْحَاكِمِ
إِذَا رَأَى خَطَّهُ بِشَيْءٍ أَنْ يَعْتَمِدَهُ إِذَا وَثَقَ بِخَطِّهِ وَلَمْ
تُدَاخِلْهُ رَيْبَةٌ.
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Juz 1,
hlm 588:
“Kami mempunyai suatu pendapat sesungguhnya boleh bagi
seorang hakim ketika melihat sebuah tulisan untuk mempercayai tulisan tersebut,
bila tulisan itu tidak meragukan dan bisa dipercaya.”
KEPUTUSAN
BAHTSUL MASAIL KE IV
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama
(LBM-PWNU) Sumatera Selatan
Di
PP.
Darus Syafa’at Tugu
Jaya - Lempuing - OKI
Hari / Tanggal: Sabtu, 8 Januari 2011 M. / 3 Safar 1432 H.
1. Gunung Merapi
Meletusnya
gunung merapi menyisakan duka yang mendalam karena memakan banyak korban jiwa
lebih dari 100 orang meninggal dunia, penyebab mereka tidak mau mengungsi
antara lain, lantaran yakin mereka akan selamat, sebagian karena menunggu
bisikan gaib dari penjaga gunung merapi, padahal pemerintah telah memberikan
instruksi agar mengungsi, akhirnya mereka gugur diterjang awan panas.
Pertanyaan:
Kematian mereka apakah termasuk mati syahid ? atau
tergolong bunuh diri ?
( PCNU MUBA )
Jawab:
Termasuk mati syahid apabila yakin mereka
akan selamat, meskipun sikap tersebut mengabaikan instruksi pemerintah yang
mengharuskannya untuk mengungsi. Pendapat ini bertentangan dengan al-aujah
(pendapat yang lebih unggul) kerena sikap yang diambil mereka tergolong
perilaku maksiat (membangkang kepada pemerintah).
أسنى المطالب شرح روضة الطالبين: 22 / 415
قَالَ شَيْخُنَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لِلَّعِبِ بِالْحَيَّاتِ
وَمَشْيُ الْبَهْلَوَانِ كَرُكُوبِ الْبَحْرِ إنْ غَلَبَتْ السَّلَامَةُ جَازَ
وَإِلَّا حَرُمَ.
Kitab Asna Matholib Syarh Roudhoh al-Tholibin, Juz 22,
hlm 415:
“Syaikhuna (Ibnu hajar)
telah berkata: selayaknya diperbolehkan bagi seorang untuk bermain ular, bermain
sirkus sebagaimana naik perahu didalam laut bila mana dia yakin akan selamat
dalam permainan tersebut, namun bila tidak yakin selamat maka hukumnya haram.”
تحفة المحتاج في شرح المنهاج: 41
/ 32
) قَوْلُهُ وَإِلَّا ) وَمِنْهُ الْبَهْلَوَانُ وَإِذَا مَاتَ
يَمُوتُ شَهِيدًا وَقَوْلُهُ حَلَّ
Kitab
Tuhfah al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj, Juz 41, hlm 32:
“Termasuk permainan tersebut adalah sirkus, andaikata dia mati karena permainan
ini maka matinya adalah mati syahid.”
تخفة المحتاج: 8/ 237
وَالشَّهِيدُ
إمَّا شَهِيدُ الْآخِرَةِ فَقَطْ وَهُوَ كُلُّ مَقْتُولٍ ظُلْمًا أَوْ مَيِّتٌ
بِنَحْوِ بَطَنٍ كَالْمُسْتَسْقَى وَغَيْرِهِ خِلَافًا لِمَنْ قَيَّدَهُ
بِالْأَوَّلِ أَوْ طَعْنٍ أَوْ غَرَقٍ أَوْ غُرْبَةٍ وَإِنْ عَصَى بِرُكُوبِهِ
الْبَحْرِ أَوْ بِغُرْبَتِهِ كَمَا قَالَهُ الزَّرْكَشِيُّ خِلَافًا لِمَنْ
قَيَّدَهَا بِالْإِبَاحَةِ أَوْ طَلْقٍ وَلَوْ مِنْ حَمْلِ زِنًا قِيَاسًا عَلَى
ذَلِكَ وَإِنْ اسْتَثْنَى الْحَامِلَ الْمَذْكُورَةَ ، فَأَيُّ فَرْقٍ بَيْنَهَا
وَبَيْنَ مَنْ رَكِبَ الْبَحْرَ لِيَشْرَبَ الْخَمْرَ وَمَنْ سَافَرَ آبِقًا أَوْ
نَاشِزَةً ، وَالْأَوْجَهُ فِي ذَلِكَ أَنْ يُقَالَ : إنْ كَانَ الْمَوْتُ
مَعْصِيَةً كَأَنْ تَسَبَّبَتْ فِي إلْقَاءِ الْحَمْلِ فَمَاتَتْ أَوْ رَكِبَ
الْبَحْرَ وَسَيَّرَ السَّفِينَةَ فِي وَقْتٍ لَا تَسِيرُ فِيهِ السُّفُنُ
فَغَرِقَ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الشَّهَادَةُ لِلْعِصْيَانِ بِالسَّبَبِ
الْمُسْتَلْزِمِ لِلْعِصْيَانِ بِالْمُسَبِّبِ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ السَّبَبُ
مَعْصِيَةً حَصَلَتْ الشَّهَادَةُ وَإِنْ قَارَنَهَا مَعْصِيَةٌ ؛ لِأَنَّهُ لَا
تَلَازُمَ بَيْنَهُمَا
Kitab
Tuhfah al-Muhtaj, Juz 8, hlm 237:
“( قوله او طعن ) Termasuk
mati syahid lagi yaitu orang yang mengedap peyakit tho’un, tengelam, hilang,
walaupun naik perahu dan hilangnya itu karena maksiat, seperti yang difatwakan
oleh Imam Zarkasih.
( قوله والاوجه
) yang lebih aujah dalam permasalahan tersebut ialah sekira diucapkan apabila
matinya karena maksiat seperti mati yang disebabkan menggugurkan kandungan, atau
mati yang disebabkan naik perahu yang pada umumnya tidak ada yang naik perahu maka
mati tersebut tidaklah syahid karena maksiatnya dengan sebab yang mengharuskan
bermaksiat pada musabab (yang disebabkan),dan adai kata sababnya itu adalah
tidak maksiat maka matinya adalah syahid walapun bersamaan degan maksiat
dikarenakan orang tersebut tidak menetap diantara sebab dan musabab."
2. Gadai Sawah
Dewasa ini
sering terjadi istilah mengadaikan sawah dengan contoh Pak ali menggadaikan
sawah seluas 1 Ha pada pak joko, karena pak ali hutang Rp.50 juta pada pak
joko, dan sudah menjadi kebiasaan selama pak ali belum melunasi hutangnya sawah
itu masih di kelola dan diambil hasilnya oleh pak joko.
Pertanyaan
Bolehkah transaksi seperti diskripsi diatas ? kalau
tidak boleh bagaimana solusinya ?
( PCNU OKUT )
Jawab:
Tidak boleh apabila hal
tersebut dinyatakan dalam akad, kecuali jika pak Ali (pemilik sawah)
mempersilahkan kepada pak Joko untuk menggarap sawahnya.
حاشيتا قليوبي وعميرة: 7/ 359
( وَإِنْ نَفَعَ ) الشَّرْطُ (
الْمُرْتَهِنَ وَضَرَّ الرَّاهِنَ كَشَرْطِ مَنْفَعَتِهِ ) أَيْ الْمَرْهُونِ
أَوْ زَوَائِدِهِ ( لِلْمُرْتَهِنِ بَطَلَ الشَّرْطُ ، وَكَذَا الرَّهْنُ فِي
الْأَظْهَرِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ تَغْيِيرِ قَضِيَّةِ
الْعَقْدِ .
Kitab Hasiyah Qulyubi Wa ‘Amiroh, Juz 7, hlm 359:
“Andai kata
syarat itu bermanfat bagi murtahin (orang yang menerima gadai/ orang yang
menghutangi) namun merugikan rohin (yang hutang) seperti manfaatnya marhun
(barang yang digadaikan) atau perkembaganya marhun yang diperuntukan bagi
murtahin maka syarat tersebut hukumnya batal, demikianjuga penggadainya menurut
fatwa yang lebih jelas karena disana terdapat perubahan tuntutan akad
(teransaksi).”
الفتاوى الفقهية الكبرى:2/ 280
وَسُئِلَ إذَا
قُلْتُمْ إنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ في يَدِ الْمُرْتَهِنِ وَلَا يَسْقُطُ بِذَلِكَ
شَيْءٌ من دَيْنِهِ وكان الْمَرْهُونُ مَثَلًا
غِرَاسًا وَالْمُرْتَهِنُ يَأْكُلُ ثِمَارَهَا مُدَّةً مَدِيدَةً فَهَلْ
لِلرَّاهِنِ مُطَالَبَةُ الْمُرْتَهِنِ بِمَا أَكَلَ من الثِّمَارِ أَمْ لَا
فَأَجَابَ إنْ أَبَاحَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ الثِّمَارَ إبَاحَةً
صَحِيحَةً لم يَكُنْ له الرُّجُوعُ عليه بِشَيْءٍ
Kitab Al-Fatawi Al-Fiqhiyah Al-Kubro, Juz 2, hlm 280:
“( قو له و اجاب ) shohibul fatawi menjawab andai sang rohin memperbolehkan pada murtahin
untuk mengambil buah degan kewenagan yang sah maka rohin tidak boleh menutut
pada murtahin sedikit pun.”
حاشية الجمل: 12/ 140
( قَوْلُهُ : وَفَسَدَ بِشَرْطِ إلَخْ ) وَمَعْلُومٌ
أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ
تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلَا فَسَادَ. ا هـ
Kitab
Hasyiyah al-Qulyubi, Juz 12, hlm 140:
“Sunguhnya
telah diketahui bahwasanya letak kerusakanya itu adalah apabila syarat tersebut
terjadi didalam akad, degan demikian apabila diantara rohin dan murtahain
saling sepakat untuk mempergunakan marhun sedangkan dalam akad tidak
menyebutkan syarat tersebut maka peggadaian tersebut tidaklah rusak.”
3.
Qurban
Zaid berkata pada Bakar “kambing ini aku buat Qurban”,
perkataan tersebut menurut sebagian Ustadz sudah termasuk Nadzar, meskipun
orang yang berkata tersebut tidak tahu kalau perkataan itu sudah menyebabkan
Nadzar.
Pertanyaan:
Apakah
benar perkataan Zaid kepada Bakar tersebut termasuk Nadzar? Dan apakah
juga mencakup Aqiqoh?
(PCNU Banyuasin, PCNU OKUT)
Jawab: Khilaf
(berbeda pendapat) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat contoh tersebut di atas sudah termasuk nadzar, dan
ada yang mengatakan tidak.
بغية المسترشدين: 1/ 548
(مسألة :
ب) : ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ مَنْ قَالَ : هَذِهِ أُضْحِيَةٌ أَوْ هِيَ
أُضْحِيَةٌ أَوْ هَدْيٌ تَعَيَّنَتْ وَزَالَ مِلْكُهُ عَنْهَا، وَلَا يَتَصَرَّفُ
إِلَّا بِذَبْحِهَا فِي الْوَقْتِ وَتَفْرِقَتِهَا ، وَلَا عِبْرَةَ بِنِيَّتِهِ
خِلَافَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ صَرِيْحٌ ، قَالَ الأَذْرَعِيّ: كَلَامُهُمْ ظَاهِرٌ
فِي أَنَّهُ إِنْشَاءٌ وَهُوَ بِالْإِقْرَارِ أَشْبَهٌ ، وَاسْتَحْسَنًهُ فِي
الْقَلَائِدِ قَالَ : وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ أَنِّي أُرِيْدُ
الْتَضْحِيَةَ بِهَا تَطَوُّعاً كَمَا هُوَ عُرْفٌ الْنَاسِ الْمُطَّرِدُ فِيْمَا
يَأْخُذُوْنَهُ لِذَلِكَ حُمَّلَ عَلَى مَا أَرَادَ ، وَقَدْ أَفْتَى
البُلْقِيْنِيّ والْمَرَاغِيّ بِأَنَّهَا لَا تَصِيْرُ مَنْذُوْرَةً بِقَوْلِهِ :
هَذِهِ أُضْحِيَتِيْ بِإِضَافَتِهَا إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ : هَذِهِ عَقِيْقَةُ
فُلَانٍ
Kitab
Bughyah al-Mustarsyidin, Juz I, hlm 548:
“Imam Adro’iy berkata: pendapat para ulama’ telah
jelas bahwasanya kalimat tersbut adalah insa’ dimana insa’ tersebut lebih
serupa degan ikrar (pengakuan), yang telah dinilai baik oleh shohibul qolaid
dan ia berkata begini: dari sana bisa diambil faham bahwasanya andai kata orang
yang hendak berkorban tersebut berkata: aku bermaksud berkorban sunnat sebagai
mana kebiasan kebanyakan orang yang sudah sering terjadi dalam permasalahan
tersebut,maka ucapan tersebut ditangguhkan pada apa yang dikehendaki. Dan Imam Bulqini dan Al-Maroghi berkata seseungguhnya
tidaklah menjadi nadzar ucapan seseorang : “ini kurban ku”. Dengan
menyandarakan kata kurban kepadanya.”
Seperti hukum di atas: ini adalah aqiqohnya Fulan.
الموسوعة الفقهية: 40/140
وَلاَ خِلاَفَ
بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ مَنْ نَذَرَ فَصَرَّحَ فِي صِيغَتِهِ
اللَّفْظِيَّةِ أَوِ الْكِتَابِيَّةِ بِلَفْظِ ( النَّذْرِ ) أَنَّهُ يَنْعَقِدُ
نَذْرُهُ بِهَذِهِ الصِّيغَةِ ، وَيَلْزَمُهُ مَا نَذَرَ . وَإِنَّمَا
الْخِلاَفُ بَيْنَهُمْ فِي صِيغَةِ النَّذْرِ إِذَا خَلَتْ مِنْ لَفْظِ (
النَّذْرِ ) كَمَنْ قَال : لِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا ، وَلَمْ يَقُل نَذْرًا
Kitab
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Juz 40, hlm 140:
“Ulama’ tidak khilaf menyikafi orang yang nadzar dan
ia menjelaskan kalimat nadzar baik diucapkan atau ditulis, Sungguhnya nadzarnya
dengan kalimat tersebut sah, perbedaan para ulama’adalah tentang sighot
(kalimat) nadzar ketika perkatan tersebut tidak terdapat kalimat nadzar seperti
orang yang berkata : demi allah aku puya kewajiban kepadanya sekian.”
4. Renovasi Masjid
Setiap renovasi masjid selalu
menyisakan material bekas masjid seperti genting, batu bata, kayu dll. Sebagian
dari material tersebut ada yang berupa sumbangan, waqofan, dan ada yang di beli
dari kas masjid. Material-material tersebut sebagian dimanfaatkan untuk
sekolahan, mushola, dan bahkan ada yang digunakan untuk menimbun jalan atau
untuk tempat mencuci kaki (jawa;
jeding).
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menggunakan
bekas material masjid sebagaimana diskripsi diatas ?
(PCNU
OKI)
Jawab: Tidak diperbolehkan apabila
masih dibutuhkan untuk masjid tersebut,
jika tidak maka digunakan untuk masjid terdekat, jika masjid-masjid tidak lagi
membutuhkan maka boleh diginakan untuk pesantren, sumur dll.
إعانة الطالبين:
3/181
(قوله: وَلَا يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ جِنْسِهِ) أَيْ وَلَا يُعَمَّرُ
بِالْنَقْضِ مَا هُوَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْمَسْجِدِ (وقَوْلُهُ كَرِبَاطٍ وبِئْرٍ) تَمْثِيْلٌ لِغَيْرِ جِنْسِ
الْمَسْجِدِ وَقَوْلُهً
كَالْعَكْسِ هُوَ أَنْ لَا يُعَمَّرَ بِنَقْضِ الْرِبَاطِ وَالْبِئْرِ غَيْرُ
الْجِنْسِ كَالْمَسْجِدِ ( قوله إِلَّا إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ ) أَيْ
فَإِنَّهُ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ الْجِنْسِ ( قوله وَالَذِي يُتَّجَهُ
تَرْجِيْحُهُ الخ ) فِي سِمٍّ مَا نَصَّهُ الَذِي اِعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا
الْشِهَابُ الْرَمْلِي أَنَّهُ إِنْ تُوُقِّعَ عَوْدُهُ حُفِظَ وإِلَّا صَرَّفَهُ
لِأَقْرَبِ الْمَسَاجِدِ وَإِلَّا فَلِلْأَقْرَبِ إِلَى الْوَاقِفِ وإِلَّا
فَلِلْفُقَرَاءِ والْمَسَاكِيْنِ أَوْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ
Kitab
I’anah al-Tholibin, Juz 3, hlm 181:
“Bahan bekas yang dari masjid tidak boleh dipergunakan
untuk memperbaiki bagunan-bagunan selain sejenisnya masjid seperti pondok dan
sumur.kecuali bila mana selain jenisnya masjid tersebut tidak lagi membutuhkan.
Maka diperbolehkan untuk dipergunakan selain masjid, pendapat yang dikuatkan
oleh Syihab Al-Romli bahwasannya, apabila suatu saat diharapkan matrial
tersebut digunakan oleh masjid itu maka matrial tersebut harus disimpan, dan
bila tidak diharapkan lagi maka dialokasikan pada masjid-masjid terdekat, dan
bila juga tidak dibutuhkan maka dialokasikan orang yang terdekat dengan orang
yang wakaf, bila dtidak maka diberikan fakir miskin atau untuk kemaslahatan
umat Islam.”
5. Keluarga Berencana ( KB )
Karena
pengaruh KB kadang menyebabkan menstruasi seorang wanita tidak teratur, kadang
3 bulan keluar darah terus menerus, kadang 4 bulan tidak keluar sama sekali,
bahkan kadang menyebabkan keputihan selama berbulan-bulan.
(PCNU
Palembang, PCNU OKI)
Pertanyaan:
1.
Bagaimana cara
penghitungan haidl, suci, dan istihadloh karena keluar darah tidak teratur ?
Jawab: penghitungan
haid, suci dan istihadhohnya disesuaikan dengan macamnya musthadhoh yang tujuh.
الاقناع: 1/ 89
اَلْقَوْلُ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ والْمُتَحَيِرَةِ
وَلَوْ اِطَّرَدَتْ عَادَةُ اِمْرَأَةٍ بِأَنْ تَحِيْضَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا لَمْ يُتْبَعْ ذَلِكَ
عَلَى الْاَصَحِّ، لِاَنَّ بَحْثَ اْلَاوَّلِيْنَ أَتَمُّ، وَاحْتِمَالُ عُرُوْضِ
دَمِ فَسَادٍ لِلْمَرْأَةِ أَقْرَبُ مِنْ خَرْقِ الْعاَدَةِ الْمُسْتَقِرَّةِ،
وَتُسَمَّى الْمُجَاوَزَةِ لِلْخَمْسَةَ عَشَرَ بِالْمُسْتَحَاضَةِ فَيُنْظَرُ
فِيْهَا، فَإِنْ كَانَتْ مُبْتَدِأَةً
الخ...
(قوله: وتُسَمَّى المجُاَوَزَةُ) هَذَا أَحَدُ طَرِيْقَيْنِ
لِلْفُقَهَاءِ اِنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ خَاصَّةً بِمَنْ جَاوَزَ دَمُهَا اَكْثَرَ
الْحَيْضِ وَمَا عَدَاهَا يُقَالُ لَهُ دَمُ فَسَادٍ والطَرِيْقَةُ الثَانِيَةُ
أَنَّ الْكُلَّ يُسَمَّى بِالْمُسْتَحَاضَةِ لَكِنْ الَاقْسَامُ السَبْعَةُ
اِنَّمَا تَجْرِي فِيْمَنْ جَاوَزَ دَمُهَا اَكْثَرَ الحَيْضِ.
Kitab
Al-Iqna’, Juz 1, hlm 89:
“Pendapat tentang mustahadhoh dan mutahayyiroh,
apabila seorang wanita mempunyai kebiasaan haid kurang dari sehari semalam atau
melebihi 15 hari, maka kebiasaan seperti itu tidak bisa diikuti menurut
pendapat ashoh, karena pembahasan ulama’ tempo dulu lebih sempurna, dan
kemungkinan rusaknya darah lebih dekat dari pada merusak adat yang telah ditetapkan,
Ini adalah salah satu caranya ulama fikih yakni sesungguhnaya mustahadoh itu
khusus bagi orang yang darahnya melebihi hitungan maksimal haid dan setiap
darah yang keluar dari pada haid tersebut adalah dara yang rusak, darah yang
melebihi 15 hari disebut mustahadzoh ………
Cara yang kedua adalah : sesungguhnya sumua itu
disebut mustahadhoh akan tetapi bagian wanita mustahadzoh yang tujuh itu dikhususkan
pada seseorang yang darahnya melebihi maksimal haid (15 hari 15 malam).
2.
Bagaimana cara
bersuci dan sholat serta bagi orang yang keputihan yang kadang keluar terus dan
kadang terputus-putus?
Jawab: Cara
bersucinya untuk keputihan yang terus menerus keluar yaitu setiap akan
melaksanakan shalat wajib berwudlu’ dengan niat: نويت
الوضوء لاستباحة الصلاة . serta
menyumbat bagian dalam kemaluan yang tidak tampak kecuali dalam keadaan puasa
(maka cukup menyumbat bagian luar). Sedangkan keputihan yang putus-putus maka
ia harus bersuci dan shalat menunggu ketika tidak keluarnya keputihan jika
kebiasaannya berhenti dan waktu berhenti itu cukup untuk melaksanakan shalat
dan bersucinya.
حاشيتا قليوبي وعميرة: 2/12
(
وَالِاسْتِحَاضَةُ ) وَهِيَ أَنْ يُجَاوِزَ الدَّمُ أَثَرَ الْحَيْضِ
وَيَسْتَمِرَّ ( حَدَثٌ دَائِمٌ كَالسَّلَسِ ) أَيْ سَلَسِ الْبَوْلِ ، وَهُوَ
أَنْ لَا يَنْقَطِعَ ( فَلَا تَمْنَعُ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ ) لِلضَّرُورَةِ ، (
فَتَغْسِلُ الْمُسْتَحَاضَةُ فَرْجَهَا وَتَعْصِبُهُ ) وُجُوبًا بِأَنْ
تَشُدَّهُ بَعْدَ حَشْوِهِ مَثَلًا بِخِرْقَةٍ مَشْقُوقَةِ الطَّرَفَيْنِ تُخْرِجُ
أَحَدَهُمَا إلَى بَطْنِهَا ، وَالْآخَرَ إلَى صُلْبِهَا ، وَتَرْبِطُهُمَا
بِخِرْقَةٍ تَشُدُّهَا عَلَى وَسَطِهَا كَالتِّكَّةِ ، وَإِنْ تَأَذَّتْ
بِالشَّدِّ تَرَكَتْهُ ، وَإِنْ كَانَ الدَّمُ قَلِيلًا يَنْدَفِعُ بِالْحَشْوِ
فَلَا حَاجَةَ لِلشَّدِّ ، وَإِنْ كَانَتْ صَائِمَةً تَرَكَتْ الْحَشْوَ نَهَارًا
وَاقْتَصَرَتْ عَلَى الشَّدِّ فِيهِ . ( وَتَتَوَضَّأُ وَقْتَ الصَّلَاةِ )
كَالْمُتَيَمِّمِ ( وَتُبَادِرُ بِهَا ) تَقْلِيلًا لِلْحَدَثِ ( فَلَوْ
أَخَّرْتَ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ كَسِتْرٍ ، وَانْتِظَارِ جَمَاعَةٍ لَمْ
يَضُرَّ وَإِلَّا فَيَضُرُّ عَلَى الصَّحِيحِ ) وَالثَّانِي لَا يَضُرُّ
كَالْمُتَيَمِّمِ ( وَيَجِبُ الْوُضُوءُ لِكُلِّ فَرْضٍ ) كَالْمُتَيَمِّمِ
لِبَقَاءِ الْحَدَثِ . ( وَكَذَا تَجْدِيدُ الْعِصَابَةِ فِي الْأَصَحِّ ) وَإِنْ
لَمْ تَزُلْ عَنْ مَوْضِعِهَا وَلَا ظَهَرَ الدَّمُ جَوَانِبَهَا قِيَاسًا عَلَى
تَجْدِيدِ الْوُضُوءِ . وَالثَّانِي لَا يَجِبُ تَجْدِيدُهَا إلَّا إذَا زَالَتْ
عَنْ مَوْضِعِهَا زَوَالًا لَهُ وَقْعٌ ، أَوْ ظَهَرَ الدَّمُ بِجَوَانِبِهَا ،
وَحَيْثُ قِيلَ بِتَجْدِيدِهَا فَتُجَدِّدُ مَا يَتَعَلَّقُ بِهَا مِنْ غَسْلِ
الْفَرْجِ وَإِبْدَالِ الْقُطْنَةِ الَّتِي بِفَمِهِ . ( وَلَوْ انْقَطَعَ
دَمُهَا بَعْدَ الْوُضُوءِ وَلَمْ تَعْتَدْ انْقِطَاعَهُ وَعَوْدَهُ أَوْ
اعْتَادَتْ ) ذَلِكَ ( وَوَسِعَ زَمَنُ الِانْقِطَاعِ ) بِحَسَبِ الْعَادَةِ (
وُضُوءًا وَالصَّلَاةَ ) بِأَقَلَّ مَا يُمْكِنُ ( وَجَبَ الْوُضُوءُ ) أَمَّا
فِي الْحَالَةِ الْأُولَى فَلِاحْتِمَالِ الشِّفَاءِ ، وَالْأَصْلُ عَدَمُ عَوْدِ
الدَّمِ ، وَأَمَّا فِي الثَّانِيَةِ فَلِإِمْكَانِ أَدَاءِ الْعِبَادَةِ مِنْ
غَيْرِ مُقَارَنَةِ حَدَثٍ ، فَلَوْ عَادَ الدَّمُ قَبْلَ إمْكَانِ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ
فِي الْحَالَتَيْنِ فَوَضْؤُهَا بَاقٍ بِحَالِهِ تُصَلِّي بِهِ ، وَلَوْ لَمْ
يَسَعْ زَمَنُ الِانْقِطَاعِ إعَادَةَ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ صَلَّتْ
بِوُضُوئِهَا ، فَلَوْ امْتَدَّ الزَّمَنُ بِحَيْثُ يَسَعُ مَا ذُكِرَ وَقَدْ
صَلَّتْ بِوُضُوئِهَا تَبَيَّنَ بُطْلَانُ الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ .
Kitab
Hasiyata Qulyubi Wa ‘Amiroh, Juz 2, hlm 12:
Kesimpulan
ta’bir di atas:
Ø
Orang yang istihadoh adalah orang yang mengeluarkan
darah melebihi maksimal haid, dan orang tersebut juga dinamakan orang yang
selalu hadas/ daimul hadats.
Ø
daimul hadats tetap diwajibkan puasa dan shalat
Ø
cara shalatnya membasuh kemaluan dan menyumbatnya
dengan semacam kapas sampai pada tempat yang tidak tampak ketika duduk jongkok,
kecuali dalam keadaan puasa maka cukup di luar, berwudu setelah masuk waktu
dengan niat seperti di atas dan sekali wudu hanya boleh untuk satu shalat
wajib.
6.
Obama
Pada tanggal
10 November Indonesia kedatanga tamu Internasional yaitu presiden Amerika
Serikat Barack Obama, pada kunjunganya tersebut Obama dan istriya juga sempat
mengujungi masjid Istiqlal yang didampingi oleh Imam besar Masjid Istiqlal KH
Mohamad Ali Mustofa Yakub, dan bahkan Obama dan Istrinya memasuki masjid
terbesar di Asia Tenggaraa tersebut tanpa melepas alas kakinya (sepatunya).
(PWNU Sumatera Selatan)
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya memberi izin orang non muslim
masuk kedalam Masjid ?
Jawab: boleh asalkan mendapat izin dari orang-orang
muslim.
اَلْمَجْمُوْعُ
شَرْحُ الْمُهَدَّبْ ج :19 ص 437
قالت الشافعية يَجُوْزُ دُخُوْلُ الْكَافِرِ وَلَوْ
غَيْرِ كِتَابِيٍّ الْمَسْجِدَ بِإِذْنِ الْمُسْلِمِ إِلَّا مَسْجِدُ مَكَّةَ
وَحَرَمِهَا
Kitab
Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddab, Juz 19, hlm 437:
“Ulam Syafiiyyah
berkata : orang kafir walaupun bukan kitabi dia di perbolehkan masuk masjid
atas dasar ijin dari orang muslim kecuali masjid makkah dan masjid-masjid yang
ada di wilayahnya tanah haram makkah.”
7. Ziaroh
wali Songo
Akhir-akhir
ini marak di beberapa daerah sekelompok jama’ah mengadakan rombongan ziyaroh
wali songo, yang sebagian pesertanya adalah para wanita baik yang telah lanjut
usia ataupun yang masih muda, baik bersamaan dengan mahromnya ataupun tidak.
Dan ketika sampai di tempat makam para wali, ada sebagian jamaah yang
mengusap-usap pusaran makam, dan ada yang melambaikan tangannya kearah makam
sebelum meninggalkan makam tersebut.
Pertanyaan:
1.
Bagaimana
hukumnya wanita ziyaroh wali songo sebagaimana deskripsi diatas ?
Jawab:
Tetap
disunnahkan namun tetap dengan menghindari hal-hal yang menimbulkan fitnah.
PCNU Muara Enim
اعانة الطالبين ج : 2 ص : 142
( قوله نَعَمْ
يُسَنُّ لهَاَ زِيَارَةُ قَبْرِ النَبِيِّ صلى الله عليه وسلم ) أَيْ
لِأَنَّهَا مِنْ أَعْظَمِ الْقُرْبَاتِ لِلْرِجَالِ والنِسَاءِ
Kitab I’anah
al-Tholibin, Juz 2, hlm 147:
“Benar,
disunnahkan bagi wanita ziarah makam nabi SAW, karena hal itu termasuk paling
agungnya ibadah bagi laki-laki dan perempuan.
“
( وقوله
وكذا إلخ ) أَيْ مِثْلُ زِيَارَةِ قَبْرِ النَبِيّ صلى الله عليه وسلم
زِيَارَةُ سَائِرِ قَبُوْرُ الأَنْبِيَاءِ والعُلَمَاءِ والأَوْلِيَاءِ فَتُسَنُّ
لَهَا
“Sebagaimana
ziarah makam nabi SAW adalah ziarah makamnya para nabi, ulama dan aulia maka
disunnahkan bagi wanita untuk berziarah.”
وفي الْتُحْفَةِ مَا نَصُّهُ قَالَ
الأَذْرَعِيّ إِنْ صَحَّ أَيْ مَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ فَأَقَارِبُهَا أَوْلَى بِالْصِلَةِ
مِنَ الْصَالِحِيْنَ اهـ
“Dalam
kitab al-Tuhfah lafadznya sebagai berikut: berkata Imam al-Adzra’i apablia yang
diungkapkan sebaian ulama itu benar maka ziarah kepada kerabatnya seorang
wanita lebih diutamakan dari orang-orang shalih.”
2.
Bagaimana
pandangan fiqh tentang seseorang yang mengusap-usap pusaran makam atau
melambaikan tangan saat akan meninggalkan makam ?
Jawab:
Sunnah
bila tujuannya mengambil berkah
حاشية الجمل ج : 8 ص : 208
وَيُكْرَهُ أَيْضًا تَقْبِيلُ
التَّابُوتِ الَّذِي يُجْعَلُ فَوْقَ الْقَبْرِ كَمَا يُكْرَهُ تَقْبِيلُ
الْقَبْرِ وَاسْتِلَامُهُ وَتَقْبِيلُ الْأَعْتَابِ عِنْدَ الدُّخُولِ لِزِيَارَةِ
الْأَوْلِيَاءِ نَعَمْ إنْ قَصَدَ بِتَقْبِيلِ أَضْرِحَتِهِمْ التَّبَرُّكَ لَمْ
يُكْرَهْ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ا هـ .
Kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 8, hlm 208:
“Dimakruhkan juga mencium peti yang ada diatas pemakaman sebagaimana makruh
mencium dan mengusap kuburan, dan makruh mencium gerbang masuk ketika ke
pemakaman para wali, ya benar, namun apabila mencium pemakaman para wali
mengambil berkah maka tidak dimakruhkan seprti yang di fatwakan oleh al-Walid
rahimakumullah.”
8.
Aqiqoh
Sebagaimana kita ketahui bahwa aqiqoh itu
sunnah muakkad bagi orang tua untuk anaknya, tapi akhir-akhir ini sering bahkan
hampir membudaya ada seorang anak yang mengaqiqohi orang tuanya(sudah wafat
tanpa wasiat), lantaran orang tuanya tersebut belum di-aqiqohi.
Pertanyaan:
1. Bagaimana
pahala aqiqohnya bisa sampai pada orang tua yang telah awafat tersebut ?
Jawab: Dengan cara meniatkan aqiqoh tersebut
pahalanya diperuntukkan pada dua orang tua.
PCNU OKUT
نهاية الزين ج : 1 ص : 193
قال
المُحِبُّ الطَبَرِيّ فِي شَرْحِ الْتَنْبِيْهِ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ
عِبَادَةٍ تُفْعَلُ عَنْهُ وَاجِبَةٌ أَوْ مَنْدُوْبَةٌ وقَالَ اِبْنُ حَجَرٍ
نَقَلَا عَنْ شَرْحِ الْمُخْتَارِ مَذْهَبُ أَهْلِ الْسُنَّةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ
أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابُ عَمَلِهِ وَصَلَاتِهِ لِلْمَيِّتِ وَيَصِلُهُ اهـ
Kitab Nihayatu al-Zain, Juz 1, hlm 193:
“Berkata
Imam muhib al-Thobari di dalam syarah kitab al-Tambih “setiap ibadah yang
dikerjakan untuk mayit baik ibadah wajib atau sunnah maka pahalanya akan sampai
pada mayit”. Imam Ibnu Hajar berkata mengambil dari syarah al-Mukhtar
madzhabnya ahli sunnah “sesungguhnya bagi manusia dianjurkan untuk menjadikan
pahala amal dan shalatnya pada mayit, maka akan sampai”.
TAMBAHAN-TAMBAHAN
1.
HUKUM MENCIUM TANGAN KIYAI
Tradisi
dihampir seluruh pesantren, para santri biasanya saat bersalaman dengan kyai
atau ustadz dengan cara mencium tangan.
Pertanyaan
:
Adakah
keterangan yang mensunahkan tradisi di atas?
Jawaban
:
Ada,
dan memang disunahkan mencium tangan orang yang zahid, mu’allim dan orang yang
lebih tua umurnya.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ
: 1 / 638
يُسَنُّ
عِنْدَ الشَّافِعِيّ تَقْبِيْلُ نَحْوِ يَدِ الزَّاهِدِ وَالشَّرِيْفِ وَاْلعَالِمِ
وَالْكَبِيْرِ فِي السِّنِّ وَالطِّفْلِ الَّذِي لاَ يُشْتَهَى وَلَوْ لِغَيْرِ شَفَقَةٍ
وَرَحْمَةٍ، وَوَجْهِ صَاحِبِ قَدَمٍ مِنْ سَفَرٍ.
2. ADZAN
DAN IQOMAH SAAT MENGUBUR MAYIT
Sebagian daerah ketika akan menimbun mayat saat
penguburan terlebih dahulu azan dan iqomat, dan sebagian daerah ada yang
menganggap bahwa hal tersebut sesuatu yang tidak disyariatkan.
Pertanyaan:
Bagaiman hukumnya azan dan iqomat saat penguburan
mayat?
Jawaban:
Terjadi perbedaan pendapat di antara ulama’. Menurut
suatu pendapat hukumnya sunah.
اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 1 /
268
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ
الْاَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِنِسْبَتِهِ قِيَاسًا
لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا.
الفَتَاوَى الْكُبْرَى : 2 / 17
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ
بِهِ ما حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ....... فَأَجَابَ
بِقَوْلِهِ لَا أَعْلَمُ في ذلك خَبَرًا وَلَا أَثَرًا إلَّا شيئا يُحْكَى عن
بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُ قال لَعَلَّهُ مَقِيسٌ على اسْتِحْبَابِ
الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ في أُذُنِ الْمَوْلُودِ وَكَأَنَّهُ يقول الْوِلَادَةُ
أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا آخِرُ الْخُرُوجِ منها.
3. SHOLAT
SUNNAH QOBLIAH JUM’AT
Kami
melihat di sebagian jamaah masjid saat akan melakukan salat jum’at, ada yang
serempak melakukan salat sunah qobliah jum’at, ada masjid yang sebagian
jamaahnya melakukan salat qobliah ada yang tidak, kata mereka salat sunah
qobliah jum’at tidak disunnahkan.
Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya melakukan salat qobliah jum’at ?
Jawaban :
Hukumnya sunah.
الاِقْنَاعُ : 1 / 175
وَالْجُمْعَةُ
كَالظُّهْرِ فِيْمَا مَرَّ فَيُصَلِّي
قَبْلَهَا
أَرْبَعًا
وَبَعْدَهَا
أَرْبَعًا
لِخَبَرِ
مُسْلِمٍ
إِذَا صَلَّى
أَحَدُكُمْ
الْجُمْعَةَ
فَلْيُصَلِّ
بَعْدَهَا
أَرْبَعًا
وَخَبَرِ
التِّرْمِذِيّ
إِنَّ
ابْنَ
مَسْعُوْدٍ
كَانَ
يُصَلِّي
قَبْلَ
الْجُمْعَةِ
أَرْبَعًا
وَبَعْدَهَا
أَرْبَعًا.
4.
MELAKUKAN SHOLAT TASBIH, DHUHA DENGAN BERJAMA’AH
Sebagian jama’ah Tarekat saat melakukan salat Tasbih
dan duha dilaksanakan dengan berjamaah, setahu kami salat tasbih dan duha bukan
termasuk saalat sunah yang di sunahkan untuk berjamaah.
Pertanyaan:
Bagaimanakah
hukumnya melaksanakan salat tasbih dan dhuha dengan berjamaah?
Jawaban
:
Hukumnya
boleh dan tidak makruh, bahkan mendapatkan pahala apabila tujuannya untuk
mendorong jamaahnya agar melaksanakan salat sunah tersebut.
بغية المسترشدين : 1 / 136
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ
فِي نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ،
نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ،
وأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ
الإِسْرَارِ الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ الإِبَاحَةِ،
وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قَصَدَ بِهَا اْلقُرْبَةَ كَالتَّقَوِّي
بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ.
5.
ORANG-ORANG YANG BEBAS DARI PERTANYAAN KUBUR
Ditempat kami ketika ada orang yang wafat orang yang
sudah baligh, maka tokoh masyarakatya melakukan talqin mayat setelah
penguburan. Namun bila yang meninggal dunia anak kecil maka tidak di talqin,
kata tokoh tersebut anak kecil tidak akan menerima pertanyaan kubur.
Pertanyaan :
Benarkah pernyataan tokoh Masyarakat tersebut ?
Jawaban :
Ya benar, anak kecil yang belum baligh, orang yang
mati syahid, orang gila dari kecil mereka tidak akan menerima pertanyaan kubur.
حاشيتا
قليوبى و عميرة : 5 / 14
( فَرْعٌ ) لَا يُسْأَلُ
غَيْرُ بَالِغٍ وَلَا شَهِيدٌ وَلَا نَبِيٌّ وَلَا مَجْنُونٌ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ
تَكْلِيفٌ، وَغَيْرُ هَؤُلَاءِ يُسْأَلُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ .
6.
SUNAH KIRIM SALAM KEPADA ORANG LAIN
Kebiasaan saat seseorang permisi mau pulang sehabis
silaturrahim, tuan rumah menitipkan salam pada orang yang dia kenal.
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menitip dan menyampaikan salam?
Jawaban:
Hukum menitip salam adalah sunah sedangkan
menyampaikannya adalah wajib apabila yang dititipi mau menerima amanah itu.
فتح المعين - (ج 4 / ص 215(
فُرُوْعٌ: يُسَنُّ إرْسَالُ السَّلاَمِ لِلْغَائِبِ وَيَلْزَمُ الرَّسُوْلُ
التَّبْلِيْغَ لأَنَّهُ أَمَانَةٌ وَيَجِبُ أَدَاؤُهَا. وَمَحَلُهُ مَا إذَا رَضِيَ بِتَحَمُّلِ تِلْكَ الْاَمَانَةِ. أَمَّا لَوْ رَدَّهَا فَلاَ وَكَذَا إنَ سَكَتَ.
7.
MEMBERIKAN ZAKAT PADA ANAK ATAU KERABAT DEKAT
pak Joko panen besar, sawah yang ia garap menghasilkan
kurang lebih 20 ton, namun ketika pak joko menunaikan zakat dari sawah
tersebut, zakat itu diberikan pada kerabat dekatnya, bahkan sebagian diberikan
kepada anaknya yang miskin yang sudah berkeluarga.
Pertanyaan :
Bagaimanakah hukumnya memberikan zakat kepada kerabat
atau anak sendiri?
Jawaban :
Boleh, bahkan dianjurkan apabila kerabat atau anak
tersebut termasuk orang yang tidak wajib dia beri nafkah atau orang yang wajib
diberi nafkah namun pemberian zakat pada kerabat atau anak tersebut atas nama
selain fakir miskin seperti atas nama orang yang memiliki hutang.
بغية المسترشدين - ج 1 / ص 219
)مَسْأَلَةُ
: ب ك(: يَجُوْزُ دَفْعُ زَكَاتِهِ لِوَلَدِهِ
الْمُكَلَّفِ بِشَرْطِهِ إِذْ لاَ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَِلإِتْمَامِهَا عَلَى
الرَّاجِحِ ، وَإِنْ كَانَ فَقِيْراً ذَاعِيْلَةٍ ، وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ تَبَرُعاً
، بِخِلاَفِ مَنْ لاَ يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَصَبِيٍّ وَعَاجِزٍ عَنْ الْكَسْبِ
بِمَرَضٍ أَوْ زَمَانَةٍ أَوْ عَمَى لِوُجُوْبِ نَفَقَتِهِ عَلَى الْوَالِدِ ، فَلاَيُعْطِيْهِ
الْمُنْفِقُ قَطْعاً وَلاَ غَيْرَهُ عَلَى الرَّاجِحِ ، حَيْثُ كَفَتَهُ نَفَقَةُ
الْمُنْفِقِ ، وَإِلَّا كَأَكُوْلِ لَمْ يَكْفِهِ مَا يُعْطُاهُ فَيَجُوْزُ أَخْذُ
مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ فِي ذَلِكَ الزَّوْجَةُ ، وَكَالزَّكَاةِ كُلِ
وَاجِبٍ كَالْكَفَارَةِ ، زَادَ ب : نَعَمْ إِنْ َتعَذَرَ أَخْذُهَا مِنْ الْمُنْفِقِ
بِمَنْعٍ أَوْ إِعْسَارٍ أَوْ غِيْبَةٍ وَلَمْ يَتْرُكْ مُنْفِقاً وَلاَ مَالاً يُمْكِنُ
التَّوَصُلُ إِلَيْهِ ، وَعَجَزَتْ الزَّوْجَةُ عَن ِالاِقْتِرَاضِ أَعْطَي كِفَايَتِهِ
أَوْ تَمَامِهَا ، أَمَّا إِذَا لَمْ تَطَالِبْهُ الزَّوْجَةُ بِهَا مَعَ قُدْرَتِهَا
عَلىَ التَّوَصُلِ مِنْهُ كَأَنْ سَامَحَتْهُ بِلَا مُوْجِبٍ فَلاَ تُعْطَى ِلاسْتِغْنَائِهَا
بِهَا حِيْنَئِذٍ كَكُسُوْبِ تَرْكِ الْلاَئِقِ بِهِ مِنْ غَيِرِ عُذْرٍ ، وِكَنَاشِزَةٍ
لِقُدْرَتِهَا عَلَيْهَا حَالاً بِالْطَاعَةِ ، وَلِلزَّوْجَةِ إِعْطَاءُ زَوْجِهَا
مِنْ زَكَاتِهَا وَعَكْسِهِ بِشَرْطِهِ ، وَيَجُوْزُ تَخْصِيْصُ نَحْوِ قَرِيْبٍ بَلْ
يُسَنُّ، إِذْ لاَ تَجِبُ التَّسْوِيَّةُ بَيْنَ آحَادِ الصِّنْفِ بِخِلاَفِهَا بَيْنَ
الْأَصْنَافِ.
8. FADHILAH SURAT
YASIN
بغية المسترشدين : 1 / 634
فَائِدَةٌ
: قَالَ الْحُبَيْشِي فِي كِتاَبِ الْبَرَكَةِ : مَنْ قَرَأَ يس أَرْبَعَ مَرَّاتٍ
لاَ يَفْرِقُ بَيْنَهَا بِكَلَامٍ فِي مَوْضِعِ نَظِيْفِ خَالٍ ، ثُمَّ قَالَ ثَلاَثاً
: سُبْحَانَ الْمُنَفِّسِ عَنْ كُلِّ مُدْيُوْنٍ ، سُبْحَانَ الْمُفَرِّجِ عَنْ كُلِّ
مَحْزُوْنٍ ، سُبْحَانَ مَنْ أَمَرَهُ بَيْنَ الْكَافِ وَالنُّوْنِ ، سُبْحَانَ مَنْ
إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ ، يَا مُفَرِّجَ الْهُمُوْمِ
، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ ، صَلَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَافْعَلْ
لِي كَذَا وَكَذَا ، قَضِيَتْ حَاجَتُهُ مُجَرَّبٌ اهـ.
9. MENGQODHO’
ROMADLON DENGAN PUASA SUNNAH
Sudah menjadi
qodrat seorang wanita, hampir pasti setiap bulan mengalami
menstruasi termasuk di bulan romadlon sehingga tidak bisa menjalankan puasa.
Dan untuk menghemat waktu dia mengqodlo’ romadlon dibarengkan dengan puasa sunnah
seperti puasa Syawal.
Pertanyaan
: bolehkah mengqodlo’ puasa romadlon dibarengkan dengan puasa sunnah?
Jawab : Khilaf menurut
imam ibnu hajar boleh dan kedua-duanya mendapatkan pahala bila kedua-duanya
diniati, bahkan menurut imam romli menqodlo’ romadlon pada hari yang
disunnahkan untuk puasa, walaupun puasa sunnahnya tidak diniati maka akan tetap
mendapat pahala.
بغية المسترشدين 113
(مسألة : ك) : ظاهر حديث : "وأتبعه ستاً
من شوّال" وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان ، لكن صرح
ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء ، بل رجح (م
ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها ، ما لم يصرفه عنها صارف ،
كأن قضى رمضان في شوّال ، وقصد قضاء الست من ذي القعدة ، ويسنّ صوم الست وإن أفطر
رمضان اهـ. قلت : واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا نواهما
معاً ، كما لو نوى الظهر وسنتها ، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن عليه
قضاء رمضان مطلقاً.
10.
MENGHADAP KIBLAT KETIKA SHALAT
Permasalahan
yang baru-baru ini muncul di kalangan masyarakat kita adalah tentang kewajiban
menghadap Qiblat, terkhusus bagi orang yang tidak bisa melihat Ka’bah,
apakah cukup hanya ke arah (Jihah) dari Ka’bah itu, ataukah
harus dengan perhitungan yang pasti dan tepat mengarah kepada Ka’bah
yang berada di tengah al-Masjid al-Haram?
Jawaban:
Khilaf menurut pendapat kedua. Kewajiban bagi orang
yang tidak bisa melihat Qiblat hanya sebatas menghadap ke arah (jihah)
Ka’bah, bahkan Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak mungkin (mustahil)
bagi orang yang jauh dari Ka’bah bisa menghadap ke Bangunan Ka’bah (‘ainul
Ka’bah) secara tepat, karena bentuknya yang sangat kecil dibandingkan
luasnya bumi. Pendapat ini
banyak didukung oleh kalangan Syafi’iyyah dan dianggap pendapat yang kuat.
بغية المسترشدين, ص: 78 (الكتبة
الشاملة)
الرَّاجِحُ
أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنِ اسْتِقْبَالِ عَيْنِ الْقِبْلَةِ، وَلَوْ لِمَنْ هُوَ خَارِجُ
مَكَّةَ فَلاَ بُدَّ مِنِ انْحِرَافٍ يَسِيْرٍ مَعَ طُوْلِ الصَّفِّ، بِحَيْثُ يَرَى
نَفْسَهُ مُسَامِتاً لهَاَ ظَنّاً مَعَ الْبُعْدِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يَكْفِي
اسْتِقْبَالِ الْجِهَةِ، أَيْ إِحْدَى الْجِهَاتِ اْلأَرْبَعِ الَّتِي فِيْهَا الْكَعْبَةُ
لِمَنْ بَعُدَ عَنْهَا وَهُوَ قَوِيٌّ، اِخْتَارَهُ الْغَزَالِيّ وَصَحَّحَهُ
الْجُرْجَانِيّ وَابْنُ كَجٍّ وَابْنُ أَبِي عَصْرُوْنَ، وَجَزَمَ بِهِ الْمَحَلِّي
، قَالَ اْلأَذْرَعِيّ: وَذَكَرَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ أَنَّهُ الْجَدِيْدُ وَهُوَ
الْمُخْتَارُ لأَنَّ جِرْمَهَا صَغِيْرٌ يَسْتَحِيْلُ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ أَهْلُ
الدُّنْيَا فَيُكْتَفَى بِالْجِهَةِ، وَلِهَذَا صَحَّتْ صَلاَةُ الصَّفِّ الطَّوِيْلِ
إِذَا بَعُدُوْا عَنِ اْلكَعْبَةِ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ بَعْضَهُمْ خَارِجُوْنَ مِنْ
مُحَاذَاةِ الْعَيْنِ، وَهَذَا الْقَوْلُ يُوَافِقُ الْمَنْقُوْلَ عَنْ أَبِي حَنِيْفَةَ
وَهُوَ أَنَّ الْمَشْرِقَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْمَغْرِبِ وَبِالْعَكْسِ، وَالْجَنُوْبَ
قِبْلَةُ أَهْلِ الشِّمَالِ وَبِالْعَكْسِ، وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ
أَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدَ قِبَلَةُ أَهْلِ مَكَّةَ، وَمَكَّةَ قِبْلَةُ أَهْلِ
الْحَرَمِ، وَالْحَرَمَ قِبْلَةُ أَهْلِ الدُّنْيَا.
احياء علوم الدين للغزالي: 2/288
فَإِذَا فَهِمَ مَعْنَى الْعَيْنِ وَالْجِهَةِ
فَأَقُوْلُ: الَّذِي يَصِحُّ عِنْدَنَا فِي الْفَتْوَى أَنَّ الْمَطْلُوْبَ الْعَيْنُ
إِنْ كَانَتِ الْكَعْبَةُ بِمَا يُمْكِنُ رُؤْيَتُهَا، وَإِنْ كَانَ يَحْتَاجُ
إِلَى اْلاِسْتِدْلاَلِ عَلَيْهَا لِتَعَذُّرِ رُؤْيَتِهَا فَيَكْفِي اسْتِقْباَلِ
الْجِهَةِ. فَأَمَّا طَلَبُ الْعَيْنِ عِنْدَ الْمُشَاهَدَةِ فَمُجْمَعٌ عَلَيْهِ. وَأَمَّا
اْلاِكْتِفَاءُ باِلْجِهَةِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْمُعَايَنَةِ فَيَدُلُّ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ وَالسُّنَةُ وَفِعْلُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَاْلقِيَاسُ…..وَأَمَّا الْقِيَاسُ: فَهُوَ أَنَّ الْحَاجَةَ تَمُسُّ إِلَى الْاِسْتِقْبَالِ
وَبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ في جَمِيْعِ أَقْطَارِ اْلاَرْضِ، وَلاَ يُمْكِنُ مُقَابَلَةُ
اْلعَيْنِ إِلاَّ بِعُلُوْمِ هَنْدَسِيَّةٍ لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ باِلنَّظَرِ فِيْهَا
بَلْ رُبَمَا يُزْجَرُ عَنْ التَعَمُّقِ فِي عِلْمِهَا فَكَيْفَ يُنْبَنىَ أَمْرُ
الشَّرْعِ عَلَيْهَا؟ فَيَجِبُ اْلاِكْتِفَاءُ بِالْجِهَةِ لِلضَّرُوْرَةِ.
SUSUNAN KEPENGURUSAN
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL PWNU
SUMATERA SELATAN
TAHUN 2010-2015
PELINDUNG :
Rois Syuriah PWNU Sumatera Selatan
Ketua
PWNU Sumatera Selatan
PENASEHAT : K.H. Dimyati Dahlan
K.H.
Afandi
Drs.
KH. Sanusi Goloman Nasution, M.H.I
K.H.
Abdul Hadi CA.
K.H.
Mu'atto' Zuhdi
K.H. Junaidi Sanusi
KETUA : Ust. Nur
Salim Habibi, S.Pd.I
WAKIL
KETUA :
K.H. Masluk Arrodhi (OKI)
K. Syukron Makmun (OKU Timur)
K. Imron Abha (MUBA)
K. Marsyidi (Muara
Enim)
SEKRETARIS : Ust. H.M. Ubaidillah Luai
Adm., M.H.I
Ust. Ahmad Khusaini
Ust. Abu Darda’
Ust. Ahmad Jaelani
ANGGOTA : K.H. Thobroni Hanani (OKU Timur)
Ust.
H.M. Syarif Chumas Asy. (Banyuasin)
K.
Tajun Anwari (OKI)
Ust.
Abdullah Yazid Tamimi (Palembang)
Ust.
M. Syahrul Mubarok, S.Th.I (Banyuasin)
K.
Utsman (Musi
Rawas) Ust. Qusyairi Abror (Ogan
Ilir)
K.
Anas Rifa’i (MUBA)
Ust.
Dawam Shohih (OKU
Timur)
Ust.
Hidayat Subroto, S.Pd.I (OKI)
Ust.
Ahmad Al-Rembanie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar